Di luar prediksi banyak orang, ternyata figur KIB II banyak diisi oleh muka-muka baru. Meski begitu harapan masyarakat agar KIB II merupakan the dream team sepertinya jauh panggang dari api. Nuansa akomodasi politik sangat kental terasa.
Salah satu pos kementerian yang diisi oleh muka baru adalah Menteri Pertanian (Mentan) yang dijabat Ir H Suswono, MMA. Sosok pengganti Anton Apriyantono ini bukanlah sosok yang asing di dunia pertanian. Mentan baru ini sebelumnya adalah anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat, komisi yang membidangi masalah pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Kelangkaan Pupuk
Mentan baru ini akan langsung berhadapan dengan berbagai persoalan yang menghadang. Mulai dari permasalahan klasik soal kelangkaan pupuk, mahalnya harga benih impor, terpuruknya harga jual komoditas pangan saat panen raya, rusaknya sarana infrastruktur pertanian, hingga terbatasnya akses permodalan dan pemasaran.
Selain itu, tugas Mentan baru akan semakin berat karena dituntut mampu meningkatkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani yang saat ini masih kurang menggembirakan. Mentan sebelumnya telah berhasil meletakkan fondasi produksi pangan secara meyakinkan. Namun keberhasilan itu tidak diikuti dengan peningkatan tingkat kesejahteraan petani secara signifikan.
Badan Pusat Statistik melaporkan, meskipun produksi beras tahun 2008 naik 5,46 persen dari tahun 2007, namun kenaikan itu tidak diikuti kenaikan nilai tukar petani (NTP). Angka NTP padi Juni 2008 sebesar 93,95, lebih rendah 6,05 poin dibanding NTP pada bulan yang sama tahun 2007. Dengan lain perkataan, ketika produksi beras naik 5,46 persen, tingkat kesejahteraan petani padi justru turun 6,05 poin.
Selain menghadapi persoalan klasik seperti telah penulis sampaikan di depan, Mentan baru juga akan menghadapi empat arus besar yang menjadi tantangan ketahanan pangan bangsa. Pertanyaannya, mampukah prestasi swasembada beras, jagung, dan gula konsumsi, bisa dipertahankan meskipun diterpa empat arus besar itu?.
Keempat arus besar tersebut antara lain, pertama, fenomena baby booming yang menyebabkan jumlah penduduk semakin berlipat. Kondisi ini membawa konsekuensi makin berlipatnya kebutuhan pangan yang harus disediakan pemerintah.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta orang, diprediksi menjadi 247,5 juta orang pada 2015, dan 273 juta orang pada 2025. Sebagai contoh misalnya penyediaan beras, jika tingkat konsumsi beras penduduk masih tetap 139,15 kg/ kapita/ tahun, maka produksi beras pada 2025 minimal 38,85 juta ton, atau meningkat 15% dari sekarang. Nominal yang sangat berat untuk mencapainya.
Kedua, terjadinya fenomena pemanasan global (global warming). Fenomena pemanasan global ini memicu terjadinya perubahan iklim dan berdampak langsung terhadap instabilitas pasokan bahan pangan.
Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan terdapat 80% kemungkinan (high convidence), bahwa perubahan suhu rata-rata yang terjadi akhir-akhir ini telah berdampak pada banyak sistem fisik dan biologis alam. Kondisi itu akan berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan.
Ketiga, kompetisi penggunaan lahan yang semakin ketat. Kondisi ini antara lain ditandai dengan masifnya konversi lahan pertanian subur. Sensus Pertanian Tahun 2003 mendapati bahwa antara tahun 1993-2003 terjadi peningkatan jumlah petani gurem yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar sebanyak 2,9 juta rumah tangga petani, atau meningkat rata-rata 2,6%/tahun.
Badan Pertanahan Nasional juga melaporkan, hingga 2004 telah diajukan permohonan alih fungsi lahan seluas 3,099 juta hektar (BPN, 2007). Secara matematis, jika diasumsikan produktivitas lahan terkonversi itu rata-rata 4 ton/ha gabah kering giling (GKG), indeks panen dua kali per tahun, maka potensi produksi yang hilang dari tanah terkonversi itu lebih dari 24 juta ton GKG/tahun. Masifnya konversi lahan pertanian akan berdampak secara permanen terhadap produksi pangan nasional.
Keempat, mulai saat ini dan ke depan Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global. Konsekuensinya, geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Anomali meroketnya harga gula di tengah musim giling tebu beberapa bulan lalu menjadi contoh kasus paling mudah untuk menjelaskan tesis ini. Harga gula di pasar domestik mbedhal karena pengaruh situasi di pasar global yang tengah mengalami turbulensi.
Ekstrakeras
Mau tidak mau, suka tidak suka, Mentan baru dan semua pemangku kepentingan di republik ini harus bekerja esktrakeras untuk mengantisipasi empat arus besar tersebut.
Berbagai upaya yang harus segera ditempuh antara lain dengan membatasi angka kelahiran dengan jalan merevitalisasi program keluarga berencana (KB). Negeri ini pernah mendapatkan penghargaan internasional atas keberhasilan program KB karena komitmen politik yang luar biasa dari pemerintahan Orde Baru, namun komitmen itu hilang pascareformasi.
Saat ini angka fertilitas nasional pada posisi 2,6 dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,3%/Tahun. Pertumbuhan penduduk seimbang hanya dapat tercapai jika angkanya kurang dari 0,5%. Kondisi tersebut hanya bisa diwujudkan apabila angka fertilitas nasional berhasil diturunkan dari 2,6 menjadi 2,0.
Berkaitan dengan fenomena perubahan iklim, perlu disusun kebijakan yang komprehensif untuk menanggulanginya. Menurut IPCC, peluang untuk mengurangi gas rumah kaca masih terbuka melalui gaya hidup dan konsumsi.
Kebijakan dan instrumen yang direkomendasikan harus mencakup semua sektor kehidupan, mulai dari sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, hingga manajemen limbah.
Selain itu inovasi baru di bidang teknologi pertanian sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi pangan.
Jika sebelumnya pembangunan pertanian tanaman pangan terfokus pada upaya menghasilkan varietas unggul dengan daya hasil tinggi, sekarang harus diinovasikan varietas yang selain berproduksi tinggi juga mampu beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal, utamanya kekeringan dan genangan tinggi.
Upaya berikutnya adalah mencegah terjadinya konversi lahan subur seminimal mungkin. Antara lain dengan pemberian insentif yang memadai bagi kepemilikan sawah berupa keringanan pajak serta jaminan pendapatan melalui penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) yang memadai.
Untuk melindungi pasar domestik, saat ini sangat mendesak diciptakan instrumen yang mampu berperan sebagai isolator terhadap pasar global. Salah satu penyebab gonjang-ganjing harga gula beberapa waktu lalu karena tiadanya instrumen tersebut. Pasar domestik menjadi sangat volatile saat terjadi turbulensi di pasar global. (80)
—Toto Subandriyo, Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten. Tegal, Jateng
Wacana Suara Merdeka 26 Oktober 2009