Kabinet Indonesia Bersatu II telah terbentuk, dan Profesor Dr Muhammad Nuh ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Dengan latar belakang sebagai mantan Rektor ITS serta Menkominfo, kemampuan manajerial Mendiknas baru diharapkan mampu membawa angin segar bagi arah kebijakan pembangunan pendidikan lima tahun ke depan. Tendensi kebijakan pendidikan lima tahun ke depan harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat, yang dalam bahasa kebijakan SBY disebut sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, memperkuat proses demokratisasi, serta berkeadilan. Penting dan pastilah tidak mudah untuk dirumuskan visi pendidikan yang mengacu pada tiga kebutuhan tersebut, di mana antara fokus dan lokus ketiganya dalam praktik kebijakan pendidikan sering kali kabur dan dikaburkan oleh birokrasi.
Sinyalemen kebijakan yang diterakan SBY perlu secara kreatif dituangkan dalam program-program pendidikan yang propublik, untuk dan dalam rangka menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan modal Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sudah seharusnya pendidikan kita telah sejak lama mampu menetakkan landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem pelayanan pendidikan yang terpadu dan komprehensif bagi masyarakat. Namun hingga lebih dari 60 tahun merdeka, pembangunan pendidikan seperti jalan di tempat, bahkan seperti kehilangan akar dan rohnya. Sebagai sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan budaya di dalamnya, maka sudah sewajarnya jika kritik dan konflik antarnegara dan masyarakat akan terus terjadi (Hill et al 2000). Karena itu sebuah kebijakan pendidikan yang baik dan benar merupakan syarat utama yang harus dikedepankan.
Efektivitas kebijakan
Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan hanya salah satu bukti yang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal sejatinya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.
Hasil riset di beberapa negara menunjukkan bahwa persoalan pendidikan lebih sering dikemas dalam balutan politik secara serampangan. Maka hasilnya adalah tumbuhnya situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut relasi antara sesama birokrat, politisi, dan masyarakat. Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam praktiknya terjadi banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K Clabaugh dan Edward G Rozyki: 2006). Inefektivitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam lima tahun ke depan jika dari sekarang baik para politisi, birokrat, dan masyarakat tidak memiliki konsensus ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan.
Pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan komunitas/masyarakat sekolah tampaknya harus dijadikan prioritas Mendiknas saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan ke depan. Melacak isu dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah konsensus.
Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan di-monitoring secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politikus dan birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Cara lain untuk mengukur tingkat efektivitas kebijakan juga bisa dilihat dari tingkat sekolah. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas bukan hanya aspek kesejahteraannya, tetapi juga kapasitasnya. Karena tanpa kapasitas yang mumpuni para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, di mana guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch, White, & Faigenbaum, 2005).
Relasi kebijakan dan politik pendidikan
Isu lain yang selalu erat kaitannya dengan kebijakan pendidikan adalah politik pendidikan. Sebagai salah satu skema dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan, politik pendidikan biasanya sangat peka terhadap isu-isu yang bersifat normatif dan teknis pendidikan, serta menangani persoalan tersebut pada semua level; sekolah, masyarakat, eksekutif, dan legislatif. Politik pendidikan, dengan demikian, selalu berhubungan dengan kebijakan publik (public policy) yang disusun dan dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan publik. Dalam kesimpulan Norton (1996) dan Sergiovanni (1992), dalam politik pendidikan terdapat paling tidak empat sumber nilai yang dianggap sangat fundamental dan berhubungan dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, yaitu soal pilihan (choice), kualitas (quality), efisiensi (efficiency), dan kesetaraan (equity).
Dengan menggunakan definisi perilaku yang dibuat oleh Marshall (1989) dalam Culture and Education Policy in the American State, pilihan adalah sebuah nilai yang mengandung opsi untuk seperangkat aksi seperti mandat negara untuk menentukan jenis dan sistem pendidikan yang ingin diselenggarakan. Dalam kasus Indonesia, pilihan tentang sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), pilihan tentang ujian nasional sebagai standar kelulusan siswa atau bukan, misalnya, adalah persoalan yang seharusnya didiskusikan secara publik.
Nilai kedua, yaitu kualitas adalah sesuatu yang terbaik (the best) dalam konteks kebijakan publik dan sesuai dengan pandangan dan harapan publik itu sendiri. Dalam kasus Indonesia, jika kualitas pendidikan berarti meningkatkan taraf hidup masyarakat, misalnya, maka proficiency dari kualitas harus sepenuhnya difasilitasi oleh negara dengan cara bagaimana negara menyediakan sumber daya yang bisa mendukung ke arah kualitas tersebut.
Menyangkut efisiensi, nilai ini dapat didefinisikan baik dari sudut pandang ilmu ekonomi maupun akuntabilitas. Dari segi ekonomis, efisiensi berarti bahwa pendidikan harus bernilai efisien dari segi pembiayaan. Dalam kerangka akuntabilitas, efisiensi berarti membutuhkan struktur organisasi birokrasi yang bersih (good governance) dan fleksibel, baik pada tingkat sekolah ataupun masyarakat. Sistem kontrol yang bertanggung jawab harus dibuat sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan secara efisien.
Adapun nilai terakhir yang biasanya terkait dengan isu tentang kebijakan publik di bidang pendidikan adalah kesetaraan, yang berarti bahwa penggunaan sumber daya publik didistribusi berdasarkan perbedaan kebutuhan manusia. Di samping itu, kesetaraan juga biasanya menuntut distribusi program yang didesain untuk kebutuhan pendidikan untuk dan dalam rangka menekan kesenjangan (gap) antara norma-norma kehidupan sosial dan ketersediaan sarana publik yang memadai atau antara norma dan kebutuhan.
Konflik di antara keempat nilai di atas dalam kerangka kebijakan publik di bidang pendidikan memang akan dan selalu terjadi. Karena itu politik pendidikan diharapkan mampu melakukan rekonstruksi dan desain teknis penyelenggaraan pendidikan dalam hubungannya dengan kebijakan publik. Jika selama ini kita melihat bahwa kekuatan pengambilan kebijakan publik lebih banyak ada pada level eksekutif dan legislatif, sudah saatnya kita membuat lembaga-lembaga nonpemerintah yang kuat sebagai pressure group terhadap masalah pendidikan. Dari perspektif politik pendidikan, semakin banyak lembaga dan perorangan terlibat dalam urusan kebijakan publik bidang pendidikan, maka akan semakin baik kualitas pendidikan di Indonesia.
Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Opini Media Indonesia 26 Oktober 2009
25 Oktober 2009
» Home »
Media Indonesia » Membangun Kebijakan Pendidikan Propublik
Membangun Kebijakan Pendidikan Propublik
Thank You!