01 Maret 2011

» Home » Okezone » Opini » Seabad Sjafruddin Prawiranegara

Seabad Sjafruddin Prawiranegara

Memori sejarah Indonesia harus kembali membuka file lama untuk menemukan tokoh besarnya. Satu abad silam, 28 Februari 1911, Kabupaten Serang, Banten, mencatat sejarah penting bagi keberlangsungan bangsa ini dengan kelahiran Sjafruddin Prawiranegara.

Di antara peran pentingnya adalah membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Belanda melakukan Agresi Militer II dan merebut Ibu Kota RI, serta menawan Presiden, Wapres, dan pejabat pemerintah RI lainnya pada 19 Desember 1948. Dalam kondisi genting ini para pemimpin RI di Sumatera yang dikoordinir Sjafruddin Prawiranegara mengadakan rapat membahas konsekuensi Agresi Militer Belanda. Sambil menunggu kepastian kabar pemimpin RI di Yogyakarta, mereka bergerak dan berkumpul hingga terbentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948.

Keesokan harinya, 23 Desember 1948, Sjafruddin berpidato mengecam Belanda serta menegaskan bahwa RI tidak bergantung kepada Soekarno-Hatta sekalipun keduanya sangat berharga. Tidak ketinggalan, dia menyeru semua Angkatan Perang Negara RI untuk terus bertempur dan menggempur Belanda di mana saja dan dengan apa saja. Sejak saat itu PDRI muncul sebagai musuh nomor satu yang selalu dicari Belanda. Tidak heran jika tokoh-tokoh PDRI terus bergerak sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.

Mereka tidak jarang harus tidur di hutan belukar, pinggiran sungai, serta kekurangan bahan makanan. Tidak hanya itu, mereka juga menggotong radio dan berbagai perlengkapan propaganda lain untuk memberitahukan dunia tentang eksistensi RI. Kondisi PDRI yang keluar masuk hutan itu mendorong Belanda memplesetkannya PDRI dengan Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Namun, eksistensi PDRI yang berlokasi somewhere in the jungle di Sumatera ini justru mampu mematahkan klaim Belanda yang menyatakan Indonesia sudah hancur menyusul serangannya ke Yogyakarta.

PDRI mampu mengendalikan negara meski dilakukan dengan bergerilya dari satu tempat ke tempat lain. Berbagai perlawanan dan diplomasi yang dilakukan PDRI inilah yang membuat Belanda semakin terjepit kedudukannya dalam pergaulan mondial. Menjelang pertengahan 1949, propaganda PDRI mulai berhasil dengan munculnya sikap dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedangkan di wilayah Indonesia, Belanda juga tidak pernah berhasil berkuasa secara penuh.

Kondisi ini memaksa Belanda menghadapi RI di meja perundingan dengan memilih utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu berstatus tawanan. Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem- Royen. Inisiatif pemimpin RI yang dalam pengawasan Belanda itu tentu membuat para tokoh PDRI dan pejuang di lapangan kurang senang. Jenderal Sudirman misalnya, dia mengirimkan radiogram kepada Sjafruddin mempertanyakan kelayakan tahanan maju ke meja perundingan.

Panglima termuda yang pernah dimiliki republik itu menumpahkan kejengkelannya dengan inkonsistensi para pemimpin RI di Bangka. Menurutnya, di pihak RI sudah ada PDRI yang diresmikan sendiri oleh Soekarno-Hatta ke seluruh dunia. Hasil perjanjian Roem-Royen terbukti kurang menguntungkan RI karena hanya mampu membebaskan Yogyakarta dari cengkeraman Belanda. Teritorial ini bertahan sampai 15 Agustus 1950, ketika Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan yang diarsiteki oleh Moh Natsir.

Hasil ini tentu jauh dari harapan PDRI yang menginginkan Belanda kembali kepada Persetujuan Linggarjati “plus”, dengan mengakui Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya sebagai wilayah RI dengan tambahan beberapa wilayah. Menurut Ketua PDRI Sjafruddin, mungkin akan lain ceritanya jika PDRI yang melakukan perundingan sebab para pemimpin RI yang ditawan Belanda tidak tahu kondisi riil di lapangan dan sangat mungkin perhitungan mereka tentang kekuatan RI maupun Belanda melenceng. Sedangkan PDRI mengetahui detail kekuatan RI serta paham jika Belanda sudah rapuh dan tidak mungkin melanjutkan peperangan lebih lama (Ajip Rosidi, 1986).

Setelah perjanjian Roem-Royen diteken 7 Mei 1949, Soekarno-Hatta sebagai penanggung jawabnya mulai “turun gunung” melobi elemen PDRI dan tentara RI untuk menerimanya. Namun, PDRI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan mengeluarkan pernyataan tentang syarat penyokongan Roem-Royen, 14 Juni. Pertama, TNI harus tetap tinggal pada posisi yang diduduki pada masa itu. Kedua, tentara Belanda harus ditarik kembali dari kedudukan-kedudukannya. Ketiga, pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta setelah daerah itu dikosongkan Belanda.

Keempat, Belanda harus mengakui kedaulatan RI sesuai Persetujuan Linggarjati. Kelima, pembentukan pemerintahan di Indonesia yang demokratis dan merdeka tidak dengan perantaraan Belanda. Seiring dengan bergulirnya waktu, Sjafruddin mulai “melunak” dengan inisiatif pemimpin RI di Bangka, bahkan dia “mendinginkan” mayoritas pimpinan PDRI dan tentara yang menolak Roem-Royen. Meski merasa “dikhianati”, dia menjelaskan bahwa PDRI berpegang pada pendiriannya akan membahayakan keutuhan negara dan bangsa.

Untuk mencegah perpecahan serta menjaga persatuan RI, dia menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno-Hatta. Kenegarawanan inilah yang menyelamatkan RI dari devide et impera Belanda, sekaligus menunjukkan kebesaran jiwa dan amanatnya sebagai seorang pemimpin. Puncaknya, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI, Soekarno, Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang itu, Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948 terkait alasan tidak menggabungkan diri dengan kaum gerilya, hubungan Bangka-luar negeri, serta Persetujuan Roem-Royen.

Dalam sidang inilah Sjafruddin secara formal menyerahkan kembali mandatnya serta mengakhiri catatan heroik PDRI selama enam bulan 21 hari. Tidak satu pun elemen bangsa yang memungkiri kesuksesan PDRI dalam menyambung kontinuitas RI. Namun, heroisme PDRI itu dalam beberapa rezim terlihat seperti hendak dikecilkan, bahkan dilupakan.

Dalam pembelajaran sejarah formal di Indonesia, PDRI hampir tidak pernah disinggung kecuali hanya dalam beberapa kalimat sehingga sudah saatnya pemerintah memunculkan political will untuk meletakkan sesuatu pada konteksnya, termasuk masalah PDRI. Kata pepatah bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya.(*)

Muh Kholid AS
Redaktur Pelaksana Majalah Matan PW Muhammadiyah Jawa Timur

Opini Okezone 28 Februari 2011