Tragedi ngeri “kekerasan yang mengatasnamakan agama” merobek luka lama  yang ternyata masih menganga. Dalam lima bulan terakhir terjadi lima  kasus. Anggota jamaah Ahmadiyah menjadi korban.
Pada peristiwa di  Cikeusik, Pandeglang, Jawa barat, tercatat tiga korban tewas, lima  luka, sebuah rumah dihancurkan dan dua mobil—satu dibuang ke jurang.  Demikian head line koran ini (Seputar Indonesia, 7/2/2011), yang  mengontraskan dengan berita para pemuka lintas agama menjaga kerukunan  dalam hajatan keren bertajuk The World Interfaith Harmony di Istora  Senayan Jakarta. Ada dua realitas yang bertolak belakang dengan jelas.  Di daerah, masyarakat bawah masih berlangsung bentrokan dengan pedang  dan parang serta kebencian, sementara di pusat para pemuka agama dengan  gagah dan agak megah merayakan pekan keharmonisan. Bukan suatu kebetulan  kalau dua kejadian berbeda terjadi pada hari-hari yang bersamaan. Bukan  mustahil memang masih ada pemahaman arti kerumunan dengan kerukunan  dalam ucapan, ungkapan, maupun perbuatan.
Kerukunan, Bukan Kerumunan
Dalam  perbendaharaan bahasa, kata dasar rukun dipahami dengan lugas sebagai  sesuatu yang baik, yang damai. Bahkan juga berarti sesuatu yang harus  dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Pengertian itu meluas di  masyarakat dengan mengenal idiom rukun Islam, rukun iman, atau dalam  bentuk profan berupa hiasan di dinding rumah bertuliskan rukun agawe  sentosa, rukun menjadi dasar kekuatan, atau kebersamaan. Atau tercermin  dalam idiom rukun tetangga, rukun warga, rukun kampung. Tak ada kata  yang begitu indah untuk menyatukan atau menjembatani persatuan, untuk  masyarakat kita yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Maka segala upaya  menciptakan kerukunan adalah upaya emas, upaya mulia, yang menjadi  tujuan bersama. Yang tidak sederhana, karena menyangkut sikap,  menyangkut peri laku, menyangkut toleransi, menyangkut tata nilai dan  tata krama pergaulan, yang justru selama ini berbeda satu dengan yang  lain. Yang membuatnya berbeda, dan tetap tak bisa disamaratakan. Dan  akan selalu begitu dan karenanya merupakan upaya terus-menerus saling  mengingatkan dan pengupayaan secara serius. Berbeda dengan kerumunan,  atau perhimpunan atau juga kumpulan yang tidak teratur dan bersifat  sementara. Kebersamaan yang ada bersifat sementara, sebagaimana  terlihat, misalnya, pada kerumunan melihat kebakaran.
Atau  kerumunan bersama di terminal bus dengan tujuan yang berbeda. Atau tetap  bersama dalam bus dengan tujuan sama. Setelah itu akan bubar dengan  sendirinya ketika masing-masing telah mencapai tujuannya. Kesementaraan  damai dalam bus hanya selama perjalanan, yang bila mogok akan bersama  menyalahkan pengemudi. Dan tidak rukun dalam meneruskan perjalanan,  apakah menunggu bus bisa jalan kembali, dan atau mencari tumpangan lain.  Masing-masing anggota—atau yang kelihatan seperti sesama nasib—tidak  terikat untuk menjaga kebersamaan selamanya. Di sinilah peran besar dan  mulia para pemuka agama dalam kasus kekerasan atas nama agama menemukan  bentuknya. Keberhasilannya adalah meniupkan roh kerukunan secara nyaman,  dan bukan misalnya menganggap kerumunan adalah bagian dari kebersamaan.  Kegagalannya adalah membiarkan dan atau mengaburkan tragedi yang  terjadi.
Ketegasan bukan Kekerasan
Ketika  bentrokan itu terjadi antarumat beragama, persoalannya menjadi peka  sehingga tindakan mahahati-hati diperlukan. Namun, tak bisa tidak  tindakan itu harus disertai ketegasan, kejelasan, dan pastilah bukan  disertai kekerasan agar kita belajar dan tid`ak mengulang kasus yang  sama. Dalam kasus bentrokan pengikut Ahmadiyah, kita melihat ada  kemungkinan pengulangan seperti yang selama ini terjadi. Boleh dikatakan  semua menyesalkan bentrokan itu terjadi.
Dengan segala macam  dalil, dengan segala macam fatwa yang ada. Termasuk tokoh-tokoh di  pemerintahan, pemuka agama, tokoh masyarakat menyuarakan dan  mengharapkan penyelesaian yang sama. Padahal kalau diperhatikan secara  sederhana, apa yang terjadi di lapangan adalah akibat, bukan sebab.  Dengan kata lain, mereka yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab  inilah yang bisa menciptakan kerukunan dari awalnya. Penciptaan dengan  rumusan-rumusan yang sederhana, yang mudah dipahami masyarakat luas.  Keraguan atau perbedaan tafsiran akan peraturan hanya akan makin ramai  menyemai kebencian atau permusuhan, yang seolah hanya bisa selesai  dengan hidup atau mati. Pertanyaan ini menggoda dilontarkan, apakah  sebenarnya pemerintah melalui para menteri serta pada pemuka agama yang  bijak mampu merumuskan secara tegas ataukah justru memperluas terjadi  kekerasan.
Apakah kita— kadang rancu juga, siapakah kita  ini—benar-benar menginginkan kerukunan bersama, atau sesaat saja, karena  agenda lain sebagaimana penumpang dalam bus. Pertanyaan ini makin  menggoda menemukan jawaban, mana kala keributan wacana mengemuka dan  bertubi-tubi, dan kemudian lenyap dengan sendirinya. Sampai kemudian  kejadian yang kurang lebih sama terulang kembali. Dengan reaksi yang  sama. Dan atau menambah jumlah batin yang terluka, atau bahkan dendam  sebagai korban—kelompok mana saja merasakan itu—karena diperlakukan  tidak adil, dihilangkan niat baik dan keyakinannya.
Dan kalau  bentrokan berdarah yang memakan korban di Pandeglang tidak juga  menghasilkan rumusan tegas dan gemilang, kekerasan masih terus terulang.  Upacara seremonial pun hanya berupa kerumunan belaka, hanya kali ini  oleh tokoh-tokoh terkemuka. Sebelum kata rukun dihapus dari kamus, kita  harus mengupayakan terus rumusan kesepakatan yang bisa diterima secara  bersama untuk dijadikan pedoman sementara atau seterusnya.(*)
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
Opini Okezone 23 Februari 2011 
01 Maret 2011
Kerukunan atau Kerumunan Umat Beragama?
Thank You!