NOBLESSE oblige adalah frasa bahasa Prancis yang maknanya secara umum  berarti kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan mendatangkan tanggung jawab.  Lantas, apa kaitannya dengan kemiskinan, khususnya bagi Indonesia, yang  jumlahnya bila diukur dari batas garis kemiskinan saat ini masih  sekitar 31,02 juta orang atau sekitar 13,33% sebagaimana dilansir BPS  belum lama ini?
Jadi noblesse oblige dapat digambarkan sebagai semangat seorang Samurai,  yang menyadari posisinya sebagai satria  perkasa yang punya integritas  tinggi dan dengan kekuasaannya mengabdikan hidupnya untuk kebenaran. Hal  itu berkebalikan dengan semangat feodal yang justru memanfaatkan  kekuasaannya untuk menindas demi kemegahan dirinya dan membuat orang  lain tidak berdaya. Kemiskinan adalah bentuk ketidakberdayaan itu, dan  ia juga produk dari sistem yang menindas.
Dalam praksis, feodalisme sering terjadi karena personifikasi lembaga.  Eksistensi lembaga sering diidentikkan dengan diri orang yang memimpin  lembaga tersebut. Kadang dianggap suatu kewajaran jika segala fasilitas  yang melekat pada jabatan itu, yang seharusnya merupakan bentuk  kepemilikan publik, didentikkan sebagai kepemilikan privat. Lebih aneh  lagi, banyak orang yang justru bangga dengan perilaku, yang secara sadar  atau tidak, menyatukan kepemilikan publik dengan kepemilikan dirinya.  Contoh paling sederhana dan banyak kita temui misalnya penggunaan mobil  dinas di luar acara kedinasan, atau untuk keperluan keluarga yang tidak  ada kaitannya dengan keperluan dinas. 
Pengalokasian Anggaran
Apakah hal itu merupakan perilaku koruptif? Jawabnya: ya. Bukan hanya  secara moral, melainkan juga secara administratif dan ekonomis. Secara  ekonomis, bisa diilustrasikan penggunaan mobil dinas untuk kepentingan  pribadi, juga menggunaan BBM atas biaya dinas pula. Kalau biaya itu  bersumber dari APBN/ APBD maka biaya itu akan dibebankan pada belanja  operasional, yang seharusnya bisa dihemat. Seandainya BBM ditanggung  sendiri, harus juga dihitung sewa yang harus dibayar jika mobil dinas  tersebut harus disewa. 
Dalam perspektif perilaku koruptif, rencana Gubernur Bibit Waluyo untuk  menggunakan mobil sewa dalam operasional pemerintahan perlu diapresiasi  tinggi. Apabila gagasan itu direalisasikan, pasti menghemat banyak  belanja pemerintah. Langkah itu seharusnya lembaga-lembaga pemerintah  lainnya, termasuk di perguruan tinggi negeri yang juga menggunakan dana  APBN. Perilaku feodalistik yang koruptif juga sering terjadi pada  pengalokasian anggaran, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. 
Adakah hubungan antara korupsi dan kemiskinan? Betulkah korupsi  memiskinkan? Hati-hati dengan pertanyaan menjebak ini karena Anda akan  ditunjukkan fakta-fakta yang yang seolah-olah korupsi tak akan  menyebabkan proses pemiskinan. Pada zaman Soeharto berkuasa, pertumbuhan  ekonomi selalu tinggi, sementara korupsi dan sistem yang tidak legal  juga tinggi. Tentu yang jauh lebih berbahaya adalah cara pandang  yang  melihat bahwa korupsi justru menjadikan biaya untuk berbagai aktivitas  lebih murah. 
Pandangan ini tentu harus di-counter dengan fakta lain dan perspektif  bahwa korupsi adalah tindakan yang merugikan, memiskinkan, sekaligus  dan membusukkan. Studi yang dilakukan UNDP menunjukkan fakta-fakta  berikut. Korupsi berkorelasi positif  dengan tingginya kesenjangan  ekonomi, administrasi publik yang tidak legal, ketidakpercayaan publik,  dan buruknya kinerja pemerintah. Tetapi, bagaimana dapat dibuktikan  bahwa korupsi menjadi penyebab kemiskinan?
Pembuktian harus dilakukan secara tidak langsung,karena pengaruh korupsi  terhadap kemiskinan memang tidak selalu langsung, yakni melalui proses  pemiskinan. Seandainya korupsi bisa dihapuskan dan dana yang dikorupsi  bisa diselamatkan maka berapa kemiskinan yang bisa diatasi dengan  mengalokasikan dana yang bisa diselamatkan itu. Saat ini adalah memang  ada anggaran untuk mengurangi kemiskinan, tetapi juga sangat banyak dana  itu yang justru dikorupsi. 
Korupsi adalah proses pembusukan sistem. Ketika kita melakukan tindakan  koruptif, dan kita tidak menyadarinya, atau bahkan menganggap hal itu  sebagai kewajaran maka sesungguhnya pembusukan sistem sedang terjadi.  Jangan lupa, proses itu saat ini sedang berlangsung, bersifat masif, dan  hampir di semua bidang. (10)  
— FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi, Kepala Pusat Penelitian  Kajian Pembangunan (Research Centre for Development Studies) Undip
Opini Suara Merdeka 2 Maret 2011
01 Maret 2011
''Noblesse Oblige'' dan Korupsi
Thank You!