01 Maret 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » ''Noblesse Oblige'' dan Korupsi

''Noblesse Oblige'' dan Korupsi

NOBLESSE oblige adalah frasa bahasa Prancis yang maknanya secara umum berarti kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan mendatangkan tanggung jawab. Lantas, apa kaitannya dengan kemiskinan, khususnya bagi Indonesia, yang jumlahnya bila diukur dari batas garis kemiskinan saat ini masih sekitar 31,02 juta orang atau sekitar 13,33% sebagaimana dilansir BPS belum lama ini?

Jadi noblesse oblige dapat digambarkan sebagai semangat seorang Samurai, yang menyadari posisinya sebagai satria  perkasa yang punya integritas tinggi dan dengan kekuasaannya mengabdikan hidupnya untuk kebenaran. Hal itu berkebalikan dengan semangat feodal yang justru memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas demi kemegahan dirinya dan membuat orang lain tidak berdaya. Kemiskinan adalah bentuk ketidakberdayaan itu, dan ia juga produk dari sistem yang menindas.

Dalam praksis, feodalisme sering terjadi karena personifikasi lembaga. Eksistensi lembaga sering diidentikkan dengan diri orang yang memimpin lembaga tersebut. Kadang dianggap suatu kewajaran jika segala fasilitas yang melekat pada jabatan itu, yang seharusnya merupakan bentuk kepemilikan publik, didentikkan sebagai kepemilikan privat. Lebih aneh lagi, banyak orang yang justru bangga dengan perilaku, yang secara sadar atau tidak, menyatukan kepemilikan publik dengan kepemilikan dirinya. Contoh paling sederhana dan banyak kita temui misalnya penggunaan mobil dinas di luar acara kedinasan, atau untuk keperluan keluarga yang tidak ada kaitannya dengan keperluan dinas.

Pengalokasian Anggaran

Apakah hal itu merupakan perilaku koruptif? Jawabnya: ya. Bukan hanya secara moral, melainkan juga secara administratif dan ekonomis. Secara ekonomis, bisa diilustrasikan penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi, juga menggunaan BBM atas biaya dinas pula. Kalau biaya itu bersumber dari APBN/ APBD maka biaya itu akan dibebankan pada belanja operasional, yang seharusnya bisa dihemat. Seandainya BBM ditanggung sendiri, harus juga dihitung sewa yang harus dibayar jika mobil dinas tersebut harus disewa.

Dalam perspektif perilaku koruptif, rencana Gubernur Bibit Waluyo untuk menggunakan mobil sewa dalam operasional pemerintahan perlu diapresiasi tinggi. Apabila gagasan itu direalisasikan, pasti menghemat banyak belanja pemerintah. Langkah itu seharusnya lembaga-lembaga pemerintah lainnya, termasuk di perguruan tinggi negeri yang juga menggunakan dana APBN. Perilaku feodalistik yang koruptif juga sering terjadi pada pengalokasian anggaran, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.

Adakah hubungan antara korupsi dan kemiskinan? Betulkah korupsi memis­kinkan? Hati-hati dengan pertanyaan menjebak ini karena Anda akan ditunjukkan fakta-fakta yang yang seolah-olah korupsi tak akan menyebabkan proses pemiskinan. Pada zaman Soeharto berkuasa, pertumbuhan ekonomi selalu tinggi, sementara korupsi dan sistem yang tidak legal juga tinggi. Tentu yang jauh lebih berbahaya adalah cara pandang  yang melihat bahwa korupsi justru menjadikan biaya untuk berbagai aktivitas lebih murah.

Pandangan ini tentu harus di-counter dengan fakta lain dan perspektif bahwa korupsi adalah tindakan yang merugikan, memis­kinkan, sekaligus dan membu­sukkan. Studi yang dilakukan UNDP menunjukkan fakta-fakta berikut. Korupsi berkorelasi positif  dengan tingginya kesenjangan ekonomi, administrasi publik yang tidak legal, ketidakpercayaan publik, dan buruknya kinerja pemerintah. Tetapi, bagaimana dapat dibuktikan bahwa korupsi menjadi penyebab kemiskinan?

Pembuktian harus dilakukan secara tidak langsung,karena pengaruh korupsi terhadap kemiskinan memang tidak selalu langsung, yakni melalui proses pemiskinan. Seandainya korupsi bisa dihapuskan dan dana yang dikorupsi bisa diselamatkan maka berapa kemiskinan yang bisa diatasi dengan mengalokasikan dana yang bisa diselamatkan itu. Saat ini adalah memang ada anggaran untuk mengurangi kemiskinan, tetapi juga sangat banyak dana itu yang justru dikorupsi.

Korupsi adalah proses pembusukan sistem. Ketika kita me­lakukan tindakan koruptif, dan kita tidak menyadarinya, atau bahkan menganggap hal itu sebagai kewajaran maka sesungguhnya pembusukan sistem sedang terjadi. Jangan lupa, proses itu saat ini sedang berlangsung, bersifat masif, dan hampir di semua bidang. (10) 

— FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi, Kepala Pusat Penelitian Kajian Pembangunan (Research Centre for Development Studies) Undip
Opini Suara Merdeka 2 Maret 2011