01 Maret 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Kearifan Lokal Konservasi Air

Kearifan Lokal Konservasi Air

KETIKA Belanda merasa bangga bisa mengatur dan berhubungan dengan alam meski dengan lahan relatif sempit maka kalau boleh disandingkan, masyarakat grumbul Kali Bening Dawuhan Kulon Kabupaten Banyumas juga bangga dengan wewarah para leluhur yang mengatur dan berhubungan dengan alam sehingga warga dapat mempertahankan konservasi air sampai sekarang.

Dengan ka­rakter cablaka (jujur) dan tanggon (memegang prinsip) maka iktikad memelihara hubungan dengan alam yang terbingkai mitologi ’’Pasucen Te­lung lapis’’ terbukti bisa menjaga kejernihan sumber mata air Kali Bening di bukit Dawuhan. Bahkan pada musim kemarau pun mata air tidak pernah kering.

Ketajaman daya persepsual masyarakat grumbul Kali Bening terhadap lingkungannya, baik lingkungan geografis-biosferik, kognitif-perseptual, maupun lingkungan simbolis-transendental, didukung oleh sistem sosial dan sistem budaya Banyumas yang melingkupinya.

Berdasarkan observasi penulis dengan juru kunci Pesangrahan Mbah Kali Bening di grumbul Kali Bening Desa Dawuhan Kulon, Ardja Semita, bisa disimpulkan bahwa pemaknaan terhadap sumber mata air yang dikeramatkan berdasarkan mitologi Pasucen Telung Lapis memang benar adanya.

Deskripsi mitologi itu adalah sebuah konsep hubungan manusia dengan alam yang dibingkai keyakinan akan batas tegas teritorial pemanfaatan sumber daya air yang terbagi tiga tingkatan. Pertama; sumber mata air lapisan tertinggi atau lapisan pertama yang paling jernih. Peruntukannya hanya untuk menyucikan benda pusaka atau menjamas pusaka Kali Bening pada 12 Maulud.

Pada hari itu diadakan ritual penyucian pusaka dan gegaman yang diyakini memiliki keterkaitan dengan para leluhur yang pernah memerintah di Banyumas waktu  dulu. Pada perayaan hari jadi Kabupaten Banyumas pun dilakukan penyucian pusaka lewat ritual yang dipimpin para sesepuh dan juru kunci Pesangrahan Mbah Kali Bening Dawuhan Kulon.

Saling Menyesuaikan

Bagi peziarah wisata ritual yang ingin sekadar minum air sumur lapisan pertama ini untuk kesembuhan atau  berwudu, terlebih dahulu harus ’’meminta izin’’ dan masuk bersama juru kunci ke wilayah sumur yang berdiameter kurang lebih 3 meter dengan kedalaman kurang lebih 4 meter yang karena jernihnya sehingga terlihat dasar dan dinding-dinding sumurnya.

Kedua; sumber mata air lapisan kedua yang diperuntukan hanya bagi kaum wanita.  Wilayah sumber mata air ini relatif tertutup karena biasa digunakan oleh ibu-ibu atau remaja putri untuk mandi. Airnya tidak sejernih tingkat pertama. Ketiga; teritorial sumber mata air pada lapisan ketiga yang peruntukannya hanya untuk pria. Jarak antara lapisan pertama, kedua, dan ketiga relatif dekat, bisa dicapai lewat jalan bebatuan yang menurun. Ketiga sumber mata air dari semua lapisan itu bersumber dari mata air yang sama, namun dilihat tingkat kejernihannya, lapisan pertamalah yang paling jernih.

Terkait gagasan hubungan manusia dengan lingkungannya, Gumpf (1951) menawarkan konsep yang lebih pas yakni synomorphousfit atau hubungan antara manusia dan lingkungannya yang bersifat saling menyesuaikan. Konsep ini mengarah pada limitasi atau pembentukan perilaku alternatif sebagaimana ditegaskan Michelson (1977) yang menyebutkan bahwa jalinan hubungan antara manusia dan lingkungan menumbuhkan congruence behavior atau kesesuaian perilaku.

Hubungan saling ketergantungan yang dibangun antarindividu dalam kelompok masyarakat dan hubungannya dengan lingkungan pada grumbul Kali Bening, menciptakan hubungan synomorphousfit (saling menyesuaikan) yang mengarah pada pembentukan perilaku alternatif lingkungan geografis-biosferik, kognitif-perseptual, ataupun lingkungan simbolis-transendental.

Jadi, kebutuhan vital masyarakat Kali Bening pada air selalu tercukupi karena masyarakat bisa menjaga kelestarian lingkungannya, mempertahankan konsep Pasucen Telung Lapis sebagai kearifan lokal, serta merawat Pesanggrahan Mbah Kali Bening sebagai simbol wujud syukur dan selalu ingat pada leluhurnya. (10)

— Agoeng Noegroho, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed Purwokerto, mahasiswa program doktoral UGM Yogya­karta
Wacana Suara Merdeka 2 Maret 2011