01 Maret 2011

» Home » Okezone » Opini » Pemerintahan Godal Gadul

Pemerintahan Godal Gadul

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968-1990) Kiai Haji AR Fachruddin pernah mengingatkan Muhammadiyah agar tidak menjadi organisasi dan gerakan yang godal-gadul.

Di dalam tata bahasa Jawa, godal-gadul adalah kata dasar yang diulang dengan perubahan bunyi (dwi lingga salin swara). Tanpa bermaksud melakukan “Jawanisasi”, penggunaan istilah godal-gadul sengaja dipilih karena tidak ada ekspresi yang pas dalam Bahasa Indonesia. Pengertian yang tepat dalam bahasa Jawa pun tidak dapat dikemukakan secara pasti. Pengertian godal-gadul hanya dapat ditafsirkan dari konteks (siyahu al kalam) dan setting pada saat Pak AR–nama populer KH AR Fakhruddin– menggunakannya di lingkungan Muhammadiyah. Godal-gadul berarti tidak bersungguh-sungguh, amanah, dan profesional. Suatu ketika ada seorang kader Muhammadiyah di Jawa Tengah yang menamatkan studinya di Institut Pertanian Bogor.

Dengan semangat berapi-api lazimnya seorang fresh graduate, dia memaparkan gagasan pembaharuan pertanian (tajdidu al-falahiyyah) di depan pimpinan Persyarikatan. Walhasil, gagasan pembaharuannya diterima dengan baik. Setelah ditunggu sekian lama, tidak satu pun gagasan pembaharuan yang terwujud. Dia tidak mengingkari janji. Hanya saja, dia tidak segera melaksanakan. Sang kader tidak melaksanakan prinsip fastabiqu al-khairat: berlomba-lomba berbuat kebajikan. Sesuai konteks ini, godal-gadul hampir sama pengertiannya dengan gobal-gabul. Anak muda sekarang menyebutnya “Omdo” (omong doang) atau “NATO”(no action, talk only). Godal-gadul serupa dengan ”gedebus” yang dipopulerkan Gepeng, komedian Srimulat 1980-an.

Pengertian lain godal-gadul adalah ”pepesan kosong” sebagaimana pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan rapat kerja pemerintahan yang membahas Program Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (P3EI) di Bogor (21/2/2011). Presiden SBY mengkritik pemerintah daerah (pemda) yang banyak menyampaikan komitmen pembangunan, tetapi miskin realisasi karena tidak realistis dan terencana dengan baik dan terukur.

Pemerintahan Godal-Gadul

Suatu lembaga, organisasi bisa menjadi godal-gadul kalau tidak memenuhi tiga “T”. Pertama, temen: bersungguh-sungguh, konsisten, istiqamah. Kedua, teges: kompeten, mumpuni, profesional. Ketiga, trengginas: proaktif, progresif, berkemajuan, dan kreatif. Akibat tidak terpenuhinya tiga persyaratan tersebut, pemerintah sekarang ini terlihat mulai godal-gadul. Gejala ini dikemukakan sendiri oleh Presiden SBY, yang menyatakan ada fenomena “pepesan kosong” dalam pembangunan ekonomi. Presiden SBY menyebutkan fenomena “pepesan kosong” disebabkan oleh berjangkitnya lima penyakit (Republika, 22 Februari 2011).

Pertama, penyakit birokrasi. Presiden menyebut birokrasi pemerintah pusat yang lambat di tingkat kementerian menyebabkan banyak program pembangunan yang tidak terlaksana. Banyak keputusan dalam sidang kabinet yang terhenti di kementerian sehingga tidak dapat dilaksanakan sesuai rencana. Penyakit yang kedua terjadi di tingkat pemda. Terdapat banyak jajaran pemda yang sengaja menghambat pembangunan demi membela kepentingan pribadi. Masalah ketiga terjadi di kalangan investor. Banyak investor yang telah mengingkari janji sehingga gagal memenuhi komitmen dan kontrak kerja yang direncanakan. Keempat, banyaknya masalah regulasi yang tidak segera diperbaiki.

Akibatnya, agenda-agenda pembangunan ekonomi terkunci. Masalah kelima adalah proses politik tidak sehat yang terjadi di lini pemerintahan pusat dan daerah. Kritik yang disampaikan Presiden SBY di depan peserta rapat P3EI tersebut memiliki dua makna penting. Pertama, ada pemahaman dan kesadaran tentang masalah-masalah pembangunan dan akar-akarnya. Di dalam teori problem solving, pemahaman atas masalah (problem definition) merupakan kunci keberhasilan pemecahan (problem solution). Kedua, walaupun lebih ditujukan kepada pihak lain (kabinet, pemda, investor, regulasi, dan iklim politik), penjelasan Presiden tentang hambatan, masalah, dan penyakit pembangunan menunjukkan bahwa pemerintahan tidak berjalan sebagaimana idealnya.

Kritik Presiden kepada aparatur kementerian dan pemda adalah wujud keterbukaan di mana Presiden “mengakui” kekurangannya sendiri (self-criticism). Pengakuan atas kekurangan sendiri adalah sikap mulia yang dimiliki mayoritas pemimpin besar dunia. Ibarat kapal, Presiden adalah nakhoda tunggal yang menentukan arah perjalanan. Para menteri adalah anak buah kapal (ABK) yang secara sistemik harus tunduk sepenuhnya kepada kepemimpinan nakhodanya. Kementerian bukanlah lembaga mandiri yang terlepas dari pemerintahan. Meskipun berasal dari partai politik yang berbeda, para menteri tidak boleh berseberangan dengan presiden baik dalam kebijakan maupun visi pemerintahan.

Demikian halnya dengan jajaran pemda. Walaupun secara politik para kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada presiden, secara hukum dan kenegaraan mereka wajib taat kepada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden bisa menggunakan hak konstitusional dan politiknya untuk mengarahkan dan membina gubernur, bupati/wali kota, camat, kepala desa, dan seluruh jajaran aparatur negara. Dengan logika ini, lambatnya birokrasi dan buruknya kinerja kementerian tidak bisa dialamatkan sepenuhnya kepada para menteri dan jajaran pejabatnya. “Pembangkangan” jajaran pemda memiliki tali-temali dengan hierarki pemerintahan di atasnya. Secara langsung atau tidak langsung, pemerintahan yang godal-gadul dan pemda “pepesan kosong” bertaut erat dengan karakter kepemimpinan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Lebih Otoritatif

Agar pemerintahan lebih progresif dan tidak godal-gadul, Presiden sudah seharusnya menggunakan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan. Walaupun kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, secara konstitusional dan politik kedudukan dan kewenangan Presiden sungguh luar biasa. Sudah waktunya Presiden mengakhiri gaya kepemimpinan persuasif. Sebagai nakhoda pemerintahan, Presiden adalah pemegang jabatan eksekutif tertinggi. Presiden adalah pembuat kebijakan sekaligus pelaksana dan pemimpin. Presiden bukanlah konsultan pemerintah, analis politik, atau pakar ketatanegaraan yang berperan sebagai outsider. Analog dengan kepemimpinan agama, Presiden adalah seorang imam, bukan seorang muazin.

Lebih dari 60% rakyat yang memilih Presiden SBY dalam Pemilu 2009 mendambakan kepemimpinan yang otoritatif dan transformatif. Kepemimpinan otoritatif bukanlah kepemimpinan otoriter, dictatorship, atau tirani. Pemimpin yang otoritatif adalah pemimpin yang memangku mandat secara konstitusional dan melaksanakan hak, wewenang, dan kewajiban sesuai hukum yang berlaku. Jika terdapat kementerian yang menghambat program pemerintah, tidak sejalan dengan kebijakan negara atau kinerjanya buruk, Presiden bisa menggunakan otoritasnya dengan memberhentikan menteri yang bersangkutan. Kepentingan bangsa dan negara harus lebih diutamakan di atas usaha mempertahankan harmoni personal dan partai koalisi.

Kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang visioner, kuat, dan tegas sehingga mampu membawa perubahan dan kemajuan. Laksana kepemimpinan profetik, kepemimpinan transformatif memerlukan sosok pemimpin yang mampu meneruskan peran kenabian. Selain jujur, dapat dipercaya, komunikatif, dan cerdas, kepemimpinan transformatif juga meniscayakan sosok pemimpin yang berani mengambil risiko (risk taker) demi membela kebenaran. Dalam literatur Islam, pemimpin risk taker disebut sebagai ulul azm sebagaimana Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Pemimpin transformatif senantiasa hadir di tengah problematika hidup, memandu, mendampingi, dan memberikan contoh penyelesaiannya.

Kewibawaan seorang pemimpin akan hilang bersamaan dengan hilangnya keteladanan dan ketidakhadiran. Beberapa survei menunjukkan turunnya popularitas Presiden SBY. Walau demikian, Presiden SBY tetap merupakan figur terpopuler. Selain karena kepemimpinannya yang terlalu persuasif dan agak melankolis, berkurangnya dukungan terhadap Presiden SBY antara lain disebabkan oleh pemerintahan yang godal-gadul. Rakyat masih setia mendukung presidennya yang mahir berpidato dengan untaian kata indah dan janji-janji baru penuh asa. Tetapi, rakyat akan lebih berbahagia jika Presiden memimpin langsung pemberantasan korupsi yang pernah dijanjikannya dengan penuh bersahaja.

Selain memberikan kabar gembira pertumbuhan ekonomi, rakyat sesungguhnya lebih mendambakan kehadiran Presiden sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari kepungan kesulitan ekonomi. Di tengah rasa aman yang semakin mahal, rakyat merindukan Presiden yang menjelma layaknya Superman, sang pembasmi kejahatan. Presiden memiliki kesaktian hukum dan politik yang memungkinkannya menjadi Superhero bagi rakyat jelata di negeri Indonesia yang penuh misteri. Sudah banyak aktivis yang hilang. Karena itu, jangan lagi ditambah dengan kasus-kasus yang hilang. Sesungguhnya rakyat prihatin dengan Presiden yang tidak dipatuhi oleh para pembantunya.

Rakyat sedih jika 12 Instruksi Presiden tentang Gayus tidak terlaksana. Rakyat akan semakin lantang menjerit jika perintah sang Jenderal agar ormas anarkistis justru ditentang oleh prajuritnya. Masyarakat sesungguhnya tidak tega menyaksikan Presiden pilihannya dirusak citranya oleh birokrat yang sibuk menjilat-jilat. Demokratis tidak berarti menoleransi pelaku dan pengancam gerakan makar. Tetapi, semuanya terserah pada Presiden. Rakyat menyaksikan Presiden berhenti mengeluh dan prihatin terhadap keadaan dan tabiat punggawa pemerintahan yang cenderung autis, apologetik, dan defensif terhadap kritik.

Rakyat mendukung jika Presiden menjewer aparatnya yang arogan, feodalistik, dan suka mengadu domba. Jika pemerintahan tetap godalgadul, negeri ini akan semakin amburadul.(*)

Abdul Mu’ti
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Opini Okezone 25 Februari 2011