Kekerasan yang meruyak di tengah masyarakat kita sudah dalam taraf yang  memprihatinkan dan kronis. Padahal, jika menengok masa lalu, negeri ini  terkenal dengan keramahan dan budaya kolektivistik yang kental.
Dari  bangsa yang ramah, perlahan kita bermetamorfosa menjadi bangsa pemarah.  Ruang batin bangsa kita, yang semula damai, terkontaminasi oleh amuk  dan amarah. Peradaban yang dibisik bangun dalam rajutan sentuhan  kemanusiaan pun perlahan di ambang pupus berganti kultur banal  kekerasan. Akal sehat dan nurani ditanggalkan, tergantikan oleh okol,  anarki, dan vandalisme yang primitif. Caci maki, gontok-gontokan berebut  kekuasaan, tawuran, perampokan, pembunuhan, bunuh diri, intimidasi,  serta premanisme jalanan maupun kantoran, tampak kian akrab dengan  masyarakat kita. Untuk mengembalikan kedamaian bangsa ini, seandainya  masih berkehendak, sungguh, kita harus bahu membahu.
Asa yang kita semaikan sama, yakni padamnya bara kekerasan (violence)  yang telanjur menguasai ruang batin masyarakat kita. Salah satu faktor  yang seyogianya tidak kita lupakan ketika membincang tentang kekerasan  adalah kontribusi media. Media massa, televisi khususnya, berperan besar  dalam pengarusutamaan (mainstreaming) kekerasan. Kultur  kekerasan pada akhirnya menular dan menjangkiti peradaban, meluruhkan  jati diri bangsa yang adiluhung. Persis apa yang disebut David Phillips  (1982) sebagai penularan kultural (cultural contagion), sebuah konsekuensi logis ketika tayangan kekerasan sedemikian masif mendominasi media kita.
Media, Pedang Bermata Dua
Adalah Alfin Toffler, yang mengajukan tesis kaitan infosphere- socioshere-psychosphere  (Rakhmat, 2000) dalam kehidupan. Betapa sesungguhnya atmosfer informasi  yang melingkungi kita akan jalin berkelindan memengaruhi atmosfer  sosiologis dan psikologis kita. Di satu sisi, media massa adalah tempat  publik mencari informasi, penghibur diri, penjalin relasi sosial, maupun  sebagai pengawas (surveillance) dalam kehidupan. Sayangnya,  kita acapkali lalai bahwa di sisi lain, hegemoni media, khususnya  televisi, juga berpotensi menebar dampak negatif bagi peradaban.  Seandainya sadar sekalipun, barangkali kondisinya sekadar sebuah  kesadaran semu.
Antonio Gramsci menyebutnya sebagai kesadaran  palsu (false consciousness), sebuah kondisi ketika individu menjadi  tidak sadar dan kehilangan kewaspadaan atas dominansi yang terjadi dalam  kehidupan. ’Khotbah’ audiovisual kotak ajaib bernama televisi dinanti  dan diamini oleh jutaan pasang mata pemirsanya. ’Kurikulumnya’  dipelajari dan diinternalisasi oleh semua lapis usia, dari bayi hingga  lansia. Ia menghegemoni peradaban sehingga nyaris tiada ceruk kehidupan  yang lepas dari infiltrasinya. Kita seakan terhipnotis pesona sihirnya  sehingga tak kuasa berpisah darinya. Kita beranjak menjadi pencandu dan  pemirsa berat (heavy viewers) tayangan televisi, hingga kadang kehilangan rasionalitas untuk memfilter dan mengkritisi tayangannya.
Kekerasan yang Menginspirasi
Amerika  Serikat, negeri yang memiliki pengalaman panjang bermedia televisi,  menyadari betul betapa media memiliki kekuatan dan pengaruh yang sangat  besar. Televisi, dengan stimulus yang gampang dipahami siapa saja, tanpa  menuntut kemampuan literasi tinggi, diyakini memberi kontribusi besar  bagi lahirnya kekerasan.
Presiden Lyndon Johnson pada 1967  membentuk National Comission on the Causes and Prevention of Violence  yang diiringi dengan Scientific Advisory Committee on Television and  Social Behavior. Tugas utamanya adalah mempelajari media dan dampaknya  terhadap agresi dan kekerasan (West dan Turner, 2008). Sayangnya, di  Indonesia, negara seakan tidak hadir dan mandul dalam meregulasi dunia  kepenyiaran di tengah menguatnya arus kebebasan. Sebuah realitas yang  memprihatinkan mengingat tidak semua penikmat televisi cerdas dan bijak  dalam menyaring informasi. Situasinya lantas bertambah runyam ketika  para awak media tidak segera terjaga betapa besarnya kuasa mereka dalam  mewarnai ruang batin masyarakat dan abai terhadap efek jangka panjang  materi tayangan mereka.
Terlebih, media yang kehilangan  kecerdasan dan kreativitasnya karena tunduk terkooptasi oleh kuasa modal  sehingga mengabdi pada kepentingan kapital dan statistika ‘rating’.  Alih-alih mencerdaskan, yang terjadi sesungguhnya adalah pembodohan  massal. Jika kita mau jujur mengkaji, indeks kekerasan (violence index)  di media massa kita, televisi khususnya, sungguh sudah sedemikian  kelewatan. Mulai dari film kartun, sinetron kejar tayang yang sarat  dengan intrik, film fiksi bahkan hingga berita harian (daily news),  kekerasan menjadi tema sentral tayangan. Berita kriminal, konflik,  cekcok rumah tangga, tawuran, pembunuhan, bunuh diri, hingga mutilasi  diekspos dengan vulgar, melengkapi berita gaduh penyelenggaraan negara  dan ulah para politisi yang gemar bertikai.
Nyaris 24 jam, kita  dicekoki dengan kurikulum kekerasan oleh televisi, mulai dari bangun  tidur hingga tidur lagi. Bayi, anak, hingga orang tua tak luput dari  asuhan kekerasannya sehingga perlahan namun pasti, kekerasan menjadi  kultur yang bersemayam dalam ruang batin masyarakat. Jauh-jauh hari,  Gerbner (1969) telah mengajarkan kita tentang analisis kultivasi (cultivation analysis).  Paparan kekerasan di televisi sungguh berdampak sangat besar dalam  membentuk persepsi publik tentang dunia dan realitas sosial. Kekerasan  awalnya barangkali sekadar perilaku sebagian kecil anggota masyarakat.  Namun, ketika diekspose berlebihan, menjadi arus utama yang mendominasi  wajah media, realitas ini beresonansi, seolah-olah adalah sebuah  kelaziman yang biasa.
Tayangan kekerasan setidaknya akan  diinternalisasi publik melalui tiga cara. Pertama, pemirsa akan  mempelajari metode agresi dengan melihat contoh nyata di media (observational learning). Kedua, kemampuan pengendalian diri menjadi berkurang (disinhibition). Ketiga, publik tidak lagi ‘tersentuh’ dan kehilangan kepekaan terhadap kekerasan di sekitarnya (desensitization)  (Rakhmat, 2000). Bahasa kekerasan yang tersaji secara masif itu lantas  menular secara kultural, bersemayam di ruang batin masyarakat. Ia  menginspirasi publik sehingga menjadikannya sebagai modus utama perilaku  dan solusi problema kehidupan. Dalam kondisi inilah, negara harus turut  hadir memadamkannya, dengan lebih serius meregulasi media dan  kepenyiaran. Tidak untuk mengebiri kebebasan pers atau merampas hak atas  informasi, namun untuk membuatnya lebih cerdas, santun, dan beradab.
Selain  itu, edukasi agar masyarakat kita melek literasi media juga mesti tidak  henti dilakukan oleh segenap pemangku kebijakan, khususnya pemerintah.  Negeri ini sungguh membutuhkan anak bangsa yang cerdas dan bijak dalam  memilah serta memilih materi tayang media yang berkualitas untuk  memperindah peradaban.(*)
Achmad M Akung
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Opini Okezone 22 Februari 2011 
01 Maret 2011
Media dan Pengarusutamaan Kekerasan
Thank You!