13 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » WikiLeaks dan Rezim Informasi

WikiLeaks dan Rezim Informasi

Dokumen-dokumen yang dipublikasikan WikiLeaks merupakan tantangan serius bagi rezim informasi, jauh lebih besar dibandingkan dengan sekadar implikasinya atas ketegangan baru di beberapa kawasan. Rezim keterbukaan informasi dihadapkan pada sejumlah persoalan etis.
Rezim perlindungan informasi dihadapkan pada tuntutan perubahan yang lebih mendasar, termasuk pada tataran strategis dan paradigmatik. Arcana imperii atau kerahasiaan negara harus berakhir. Namun, negara tetap menggenggam kewajiban melindungi beberapa jenis informasi.
Ancaman WikiLeaks
WikiLeaks telah menyebarkan melalui situsnya berbagai dokumen penting. Afghan War Diary (April) dan Iraq War Logs (Oktober) mengungkap banyak hal, termasuk kekejaman tentara Amerika Serikat di negara-negara itu. Cablegates (Desember) menyingkap berbagai catatan diplomatik.
”Permintaan Raja Fahd (Arab Saudi) agar Amerika menyerang Iran”, ”perubahan sikap Beijing atas konflik di Semenanjung Korea”, dan ”dukungan Pakistan kepada Taliban” hanya sebagian dari informasi yang dapat membawa persoalan baru dalam hubungan internasional.
Perintah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton agar diplomat-diplomat AS mencatat jati diri para diplomat asing di suatu negara bisa dipastikan menimbulkan konundrum bagi hubungan luar negeri AS, termasuk dengan rekan aliansinya. Hal serupa berlaku bagi laporan dan analisis situasi sejumlah kantor perwakilan AS yang dikirim ke Washington. Karena yang disebut belakangan ini saja, nasib para pegiat demokrasi, pejuang hak asasi manusia, dan pelantun antikorupsi dipertaruhkan.
Tak seorang pun meragukan pentingnya transparansi dalam membangun pemerintahan demokratis. Kalau pengambilan keputusan dibicarakan lebih dulu di ruang publik, Perang Vietnam mungkin tidak perlu berlangsung terlalu lama atau memperoleh dukungan publik.
Washington mungkin juga memperoleh dukungan publik atas operasi militernya untuk menumbangkan rezim Taliban di Afganistan dan Saddam Hussein di Irak, kecuali sejauh mengenai operasi-operasi yang nyata-nyata melanggar hukum perang dan norma kemanusiaan.
Kalau seandainya Joseph Stalin mengetahui rencana pengkhianatan Hitler terhadap Pakta Molotov-Ribbentrop (1939), Operasi Barbarossa (1941) pasukan-pasukan Jerman tidak meninggalkan bekas traumatis bagi Rusia setelah Perang Dunia II. Kalau Teheran dan Pyongyang patuh pada ketentuan keselamatan nuklir, reaktor Iran dan Korea juga tidak perlu mengundang nuklirisasi Timur Tengah atau Semenanjung Korea.
Transparansi radikal
Legitimasi transparansi memerlukan sumber yang dapat dipercaya, tujuan (politik) yang jelas, maupun kendali atas risiko buruk yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika anonimitas sumber yang selama ini memasok informasi kepada WikiLeaks menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi ideologi transparansi radikal yang selama ini diperjuangkan Julian Assange, pemimpin WikiLeaks.
Tanpa sumber yang dapat diverifikasi, transparansi dapat juga digunakan untuk sekadar politik kekuasaan.
Dapat dipersoalkan pula apakah Assange tidak melanggar moralitas demokrasi dengan menyebut nama-nama pejuang demokrasi. Mereka dapat menjadi sasaran operasi intelijen aparat keamanan di negara-negara otoriter, seperti China, Kuba, dan Rusia.
Entah berapa banyak lagi aktivis Rusia akan menjadi korban mengikuti jejak Anna Palitkovskaya (2006) atau Natalia Estemirova (2009). Tak kurang dari 100 ”informan” Amerika Serikat berkebangsaan Afganistan kini menjadi sasaran tembak Taliban. Kalau itu terjadi, WikiLeaks bukannya tidak harus memikul tanggung jawab.
Strategi penyebaran informasi yang dipilih Assange mengaburkan apakah tujuannya murni untuk membuka ruang keterbukaan atau sekadar ”holiganisme informasi”. Beberapa orang menyebut WikiLeaks menjalankan machiavelisme transparansi. Persoalan ini saja konon telah menimbulkan perpecahan di kalangan WikiLeaks. Herbert Sorrensen (dan Daniel Domscheit-Berg) mengundurkan diri dan akan membangun situs baru di Reykjavik (Eslandia).
Tiadanya legitimasi dan strategis yang arif itu mendorong kembali rezim ketertutupan di beberapa negara. Biro Keamanan Khusus China konon telah menangkap ratusan peretas komputer. Di Amerika Serikat, Senator Joseph Lieberman (Connecticut) memprakarsai legislasi untuk mempermudah pemidanaan bagi mereka yang dianggap membocorkan rahasia negara. Pentagon dan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat juga melarang tentara, mahasiswa, dan warga negara membicarakan kasus WikiLeaks.
Rezim informasi
Padang Kurusetra baru sedang berlangsung, kali ini antara ”negara siber” dan ”pemerintahan negara”. Perang asimetris antara, menggunakan istilah Daniel Perry Barlow (proklamator negara siber satu setengah dasawarsa silam), ”kekuatan daging dan tulang baja negara industri modern” melawan ”kekuatan nalar budi dari atas angin”.
Serangan Wiki baru melakukan sebagian saja dari apa yang dapat dilakukan negara siber. Tidak tertutup kemungkinan eskalasi ke arah yang lebih gawat, misalnya sabotase sasaran-sasaran strategis milik negara maupun perusahaan-perusahaan besar.
Tantangan serius untuk menuangkan gagasan transparansi ke dalam rezim informasi. Istilah ”informasi publik” dengan sendirinya mengakui adanya informasi nonpublik, yaitu informasi yang tidak secara langsung memengaruhi keselamatan sebagian besar warga masyarakat, tetapi diperlukan untuk penyelenggaraan fungsi negara.
Transparansi juga bukan sesuatu yang tanpa diferensiasi. Dengan persyaratan tertentu, dan kecuali menyangkut impunitas negara, misalnya, di bidang pelanggaran hak-hak asasi manusia dan korupsi, sistem demokratis membenarkan ”transparansi sebagian”.
Karena itu, bukan tidak mungkin menempatkan rezim keterbukaan informasi (publik) berdampingan dengan rezim perlindungan informasi nonpublik yang oleh Pacivis (Universitas Indonesia) disebut sebagai ”informasi strategis tertutup”.
Diskusi tentang RUU Rahasia Negara perlu mendengarkan kebijaksanaan Gandalf. ”Keep it secret. Keep it safe,” kata Gandalf kepada Frodo dalam The Lord of the Rings karya Peter Jackson.
Kusnanto Anggoro Alumnus Universitas Indonesia dan Universitas Glasgow, Skotlandia; Pengajar pada Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta

Opini KOmpas 14 Desember 2010