13 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Menyoal Legalitas Kuliah Kelas Jauh

Menyoal Legalitas Kuliah Kelas Jauh

Oleh : Drs. Indra Muda Hutasuhut, MAP
Tingginya minat masyarakat untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi hampir terjadi di seluruh pelosok Nusantara, hal ini tentu merupakan pertanda kian besarnya kepedulian masyarakat untuk memajukan diri meraih cita-cita atau karier yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Seperti kata pepatah dimana ada gula di situ ada semut, justru itu untuk menampung animo pendidikan masyarakat yang semakin besar telah mendorong pengelola Lembaga Perguruan Tinggi mengembangkan sayap pendidikannya hingga ke wilayah Kecamatan.
Berhubung penyebaran institusi Perguruan Tinggi yang tidak merata baik antar daerah, antar kota maupun di dalam kota telah mendorong lahirnya sistem perkuliahan kelas jauh yang membawa nama almamater induknya. Dengan penyelenggaraan kuliah kelas jauh ini menimbulkan kontradiktif karena adanya larangan dari pemerintah, sementara tidak melakukan pengawasan atas larangan tersebut.
Pada dasarnya kuliah kelas jauh adalah merupakan pembukaan kelas tertentu yang dikelola oleh Perguruan Tinggi yang memiliki kampus induk misalnya di Jakarta, kemudian membuka Fakultas atau Prodi tertentu di beberapa Kota di Indonesia seperti, Medan, Bandung, Ujung Pandang, Surabaya dan lain-lain. Proses perkuliahan ada yang dilakukan dengan menyewa gedung di daerah yang bersangkutan sedangkan tenaga dosen sebagian di isi dari Perguruan Tinggi induk, sebagian lagi di isi oleh tenaga dosen yang direkrut dari daerah yang bersangkutan.
Fenomena lain dari kuliah kelas jauh misalnya Perguruan Tinggi Induk berada di Kota Medan kemudian membuka kelas jauh di Kota Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, Kota Padang Sidempuan, Kota Tarutung, Kota Stabat dan lain-lain. Gedung tempat perkuliahan ada yang menyewa pada Rumah Toko (Ruko), menyewa gedung-gedung sekolah bahkan ada yang mengikat kerja sama dengan Pemda setempat sehingga sistem perkuliahan dapat dilakukan pada salah satu Gedung Aula pada instansi yang bersangkutan.
Apabila mencermati sistem perkuliahan kelas jauh baik yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta dengan jarak antar Provinsi, antar Kabupaten/Kota maupun lintas Kecamatan, sebenarnya sangat positif untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat mengikuti pendidikan tinggi terutama pada tempat-tempat tertentu yang belum memiliki institusi perguruan tinggi. Hal ini tentu sangat relevan dengan amanah yang terkandung dalam pasal 31 ayat (a) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu, "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
Namun secara perlahan tapi pasti, kuliah kelas jauh yang dikelola Perguruan Tinggi Swasta yang sebelumnya mendapat legalitas dari pemerintah RI di bawah pengawasan Pendidikan Tinggi (Dikti) kini telah dihapus. Seiring dengan pencabutan legalitas ini berarti juga akan membatasi kesempatan bagi calon mahasiswa yang berdomisili di daerah untuk mengecap pendidikan tinggi, meraih gelar sarjana atau untuk meningkatkan kualitas keilmuannya.
Sekarang timbul pertanyaan, apa yang menjadi alasan pemerintah menutup legalitas kuliah kelas jauh...?.
Alasan yang sering yang dilontarkan pemerintah melalui Dikti akan kelemahan kuliah kelas jauh terutama menyangkut dengan sistem perkuliahan yang terbatas yaitu 2 kali dalam seminggu, hari Sabtu dan Minggu. Alasan lainnya berupa jauhnya transportasi yang harus ditempuh oleh para dosen yang akan mengajar dari kampus induk ke beberapa daerah tempat diselenggarakannya kuliah kelas jauh sehingga dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Kekhawatiran pemerintah juga dipicu oleh rumor yang berkembang di masyarakat yang menyatakan, adanya pemberian izajah kesarjanaan oleh lembaga Perguruan Tinggi kepada orang- orang tertentu tanpa mengikuti perkuliahan, maraknya peredaran Izajah aspal dan lain-lain.
Alasan ini tentu tidak begitu saja dapat diterima oleh berbagai pihak, karena terkesan hanya berlaku bagi Perguruan Tinggi Swasta sedangkan untuk Perguruan Tinggi Negeri tetap saja dapat melakukan kegiatan operasionalnya. Dengan pembedaan perlakuan oleh pemerintah terhadap Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah menimbulkan ketidak puasan sehingga beberapa PTS tetap menjalankan praktek kuliah kelas jauh walaupun legalitasnya sudah dihentikan.
Perlakuan Tidak Adil Terhadap Kelas Jauh
Seiring dengan penghentian legalitas kelas jauh, nada protes tidak saja disampaikan oleh institusi Perguruan Tinggi Swasta akan tetapi juga oleh calon mahasiswa di daerah-daerah tertentu yang ingin mengikuti perkuliahan melalui kelas jauh. Betapa tidak...!!!, pada saat Pemerintah RI melalui Dikti mencabut legalitas Kelas Jauh oleh Perguruan Tinggi Swasta pada sisi lain Pemerintah kian genc ar melakukan publikasi perkuliahan melalui Universitas Terbuka (UT) yang mana sistem perkuliahannya juga dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu.
Dengan demikian sistem perkuliahan pada Universitas Terbuka (UT) pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem perkuliahan yang dilakukan melalui kelas jauh oleh lembaga-lembaga Perguruan Tinggi Swasta.
Beberapa Perguruan Tinggi Negeri baik yang memiliki kampus induk di Jakarta maupun di beberapa daerah juga tetap aman menyelenggarakan perkuliahan kelas jauh sedangkan bagi PTS tidak demikian, konon dengan pemberlakuan Badan Hukum Pendidikan, Perguruan Tinggi Negeri semakin rakus merekrut calon mahasiswa dengan membuka kelas-kelas perkuliahan baru seperti, kelas ekstensi, kelas khusus, kelas internasional. Dengan praktek legalitas yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Negeri ini secara langsung dan secara tidak langsung membatasi ruang gerak Perguruan Tinggi Swasta bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan mematikan operasionalnya. Apabila dilihat dari segi kualitas lulusannya dapat dikatakan tidak jauh berbeda, para alumninya baik PTS maupun PTN cenderung menganggur dan orientasi pekerjaan favoritnya masih mengarah kepada sektor formal dan bukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Sebagai sikap protes atas kebijaksanaan Pemerintah RI yang dinilai tidak adil tersebut, sebagian diantara Perguruan Tinggi Swasta tetap melaksanakan operasional perkuliahan kelas jauh. Penyelenggaraan kuliah kelas jauh biasanya hanya dalam proses belajar mengajar sedangkan untuk kegiatan ujian dan sidang skripsi atau yang lebih akrab disebut dengan nama sidang meja hijau biasanya dilaksanakan pada kampus induk Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Sikap membandel beberapa Perguruan Tinggi Swasta yang tetap melakukan perkuliahan kelas jauh hampir merata dapat kita temukan di seluruh Indonesia tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah RI. Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang seharusnya bertugas untuk memantau atau mengkoordinir operasional Perguruan Tinggi Swasta yang ada di wilayah kerjanya terkesan mendiamkan pelanggaran tersebut dan gamang mengambil tindakan.
Pihak Kopertis memberi alasan, tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin operasional Perguruan Tinggi Swasta, kewenangan itu berada pada Dikti, Kopertis hanya memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi kemudian melaporkannya kepada Dikti sebagai pihak yang berwenang.
Untuk menghilangkan polemik tersebut perlu ada ketegasan, apabila Pemerintah via Dikti, Kopertis beserta jajarannya tidak mampu menertibkannya ada baiknya dilegalkan saja tapi dengan sistem pengawasan yang lebih ketat, dan apabila tetap melarang praktek kuliah kelas jauh, maka tindakan tegas harus dapat ditegakkan atas setiap pelanggaran baik oleh PTN maupun PTS.***
Penulis adalah Sekum IKAPSI dan dosen Fisip UMA.

Opini AnalisaDaily 13 Desember 2010