13 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Krisis Bahasa Indonesia

Krisis Bahasa Indonesia

Oleh : Fredy Wansyah
Ketika saya melihat halaman internet Pusat Bahasa, saya sedikit bingung dengan adanya istilah "Pos-El" yang mengandung arti "Surat Elektronik." Faktanya, istilah itu tidak tersebar luas di masyarakat.
"Email" adalah istilah yang lebih dikenal di masyarakat kita dibandingkan istilah "Pos-El." Dari berbagai kalangan usia, latar sosial, maupun politik lebih akrab menggunakan istilah "email" karena telah terbiasa muncul di ruang-ruang publik, seperti radio, televisi, dan media cetak. Saya juga menduga pemakaian istilah "email" tidak hanya terbiasa pada situasi nonformal, situasi formal pun istilah tersebut mungkin sering digunakan oleh berbagai kalangan.
Beberapa hari yang lalu, dalam kasus TKI kita yang bernama Sumiati, seorang pihak dari pemerintah yang menaungi TKI mengatakan melalui siaran di televisi bahwa pengurusan TKI sekarang sudah menggunakan sistem online. Penggunaan istilah "online" tersebut tidak jauh berbeda dengan fakta istilah "email" di atas. "Online" merupakan suatu istilah yang dimaknai sebagai suatu sistem berjaringan melalui komputerisasi.
Ada banyak penggunaan istilah-istilah asing lainnya yang sudah meluas di masyarakat. Istilah-istilah tersebut pada umumnya merupakan istilah yang berkaitan dengan pola hidup berteknologi. Dari berbagai latar sosial maupun latar ekonomi, masyarakat kita seakan "membutuhkan" hidup dengan teknologi. Anak-anak sekolah dasar, misalnya, berapa banyak yang membawa telepon genggam pribadinya ke sekolah. Karena itu, pola hidup berteknologi bukan lagi menjadi suatu fenomena budaya, melainkan telah menjadi fakta budaya.
Sejak munculnya teknologi informasi yang ditandai dengan penyebaran televisi, barang-barang elektronik di Indonesia begitu mudah tersebar dan (dianggap) menjadi suatu komoditas mewah. Televisi, telepon genggam, sepeda motor, mobil, komputer, Ipad, bahkan terakhir muncul buku elektronik. Kemunculan buku elektronik ini kemungkinan pula akan tersebar dengan cepat di pasar Indonesia seperti pendistribusian telepon genggam di Indonesia yang menjadi salah satu konsumen terbesar di Asia Tenggara. Barang-barang berteknologi tinggi tersebut tersebar meluas, bahkan masyarakat kita menjadi sasaran utama bagi produsen barang elektronik. Media yang berperan atas penyebaran tersebut adalah media elektronik, seperti radio dan televisi.
Pola hidup berteknologi bukan sesuatu yang mutlak salah. Tetapi, bila ditelusuri bagi kehidupan berbahasa kita (bahasa Indonesia), perlahan-lahan bahasa Indonesia akan mengalami ketercerabutan. Dua fakta di atas bukanlah suatu fakta yang "main-main" atas kebiasaan berbahasa di masyarakat kita. Semakin sering digunakan istilah-istilah asing tersebut, maka semakin akrab pula bagi masyarakat untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dapatlah kita maknai, bahwa pola kehidupan berteknologi merupakan salah satu gejala krisis bahasa Indonesia.
Internet Mempercepat Akses Informasi
Salah satu wujud budaya berteknologi saat ini adalah internet. Dengan berbagai sistemnya, internet dapat mempermudah dan mempercepat akses informasi ke berbagai wilayah. Karena asas teknologi seperti itu pula internet menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Perkembangan internet di Indonesia seolah-olah tidak terkontrol lagi. Artinya, berbagai pihak yang berwenang tidak mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari berbagai aspek ke publik. Seperti akses jejaring fesbuk di Indonesia, misalnya. Sejak kemunculan fenomena jejaring tersebut, di Indonesia telah mengalami peningkatan pengguna aktif fesbuk sebesar 645 persen. Dan, terhitung sejak awal 2009, pengguna aktif fesbuk telah mencapai 1 juta lebih.
Pembiasaan dalam penyebutan suatu barang, penamaan suatu rujukan yang berkenaan dengan elektronik, dan penyebutan suatu perilaku yang berkenaan dengan internet merupakan kebiasaan yang secara tidak sadar akan menciptakan bahasa-bahasa asing sebagai bahasa yang biasa hingga menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Padahal, bahasa-bahasa asing tersebut bukan bagian kebahasaan yang tidak dapat distandarkan ke dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, aspek-aspek yang berkenaan dengan bahasa akan terancam. Aspek-aspek tersebut adalah sejarah, budaya tradisional, dan kesastraan Indonesia.
Selain masyarakat, penanggung penuh wewenang dalam membenahi awal ketercerabutan berbahasa kita adalah pemerintah dan lembaga kebahasaan. Pemerintah sebaiknya membentuk suatu kebijakan untuk menjaga keutuhan berbahasa nasional dalam pola-pola kehidupan berteknologi. Pengaturan dilakukan terhadap sistem jual-beli barang-barang elektronik, agar tidak lupa menyertai penggunaan bahasa Indonesia sebagai bagian dari pemakaian barang tersebut. Sementara itu, lembaga kebahasaan melakukan standar baku bahasa-bahasa asing yang masuk ke Indonesia. Nasionalisasi bahasa asing merupakan salah satu pilihannya. Bahkan, hasil-hasil standarisasi tersebut dengan cepat disebarkan ke publik melalui berbagai media publik agar penggunaannya tidak didahului oleh istilah (bahasa) asing. Dengan begitu, bahasa yang tetap terjaga tersebut dapat digunakan oleh penggunanya dengan baik, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.***
Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad, dan penggiat bahasa dan sastra Indonesia.
Opini Analisa Daily 13 Desember 2010