13 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Menulislah

Menulislah

Sangat sukar rasanya berujar: menulis itu gampang. Saya berdiri berseberangan dengan mereka yang memberi judul bukunya: "Menulis Itu Segampang Berbicara." Pramoedya Ananta Toer menulis,
"… orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…" Sejarah, yah sejarah.
Sejarah mengatakan Pram, sebutan akrab Pramoedya Ananta Toer, sastrawan perdana dari Indonesia yang berulang kali dinobatkan peraih nobel sastra. Bagi dia, menulis adalah tugas pribadi dan tugas nasional. Menulis adalah perlawanan. Menulis baginya merupakan terjemahan dari keadaan bahwa kehadirannya masih ada gunanya bagi kehidupan. Pram hidup di jaman tak enak. Dengan demikian menulis dan menjadi penulis tidaklah segampang berbicara.
Ah, menulis. Saya selalu membawa serta Orde Baru dan sistem pendidikannya penyebab jutaan anak bangsa di bangku sekolah kewalahan benar sekadar mencoretkan pena di kertas. Mari saya ceritai.
"Ini Budi," eja bu guru di depan kelas saat-saat awal kita pertama mengenal sekolah. Kita tidak mengenal si Budi. Teman di samping kita bernama Kimura, misalnya. Kenapa tidak diganti saja, "Ini Kimura".
"Ibu memasak di dapur, bapak membaca koran di teras," pelajaran selanjutnya. Pernah kita terpikir membalik kalimat itu? Oh, kaku benar kalimat itu. Demikian selalu. Berulang-ulang. Kita belum menyampaikan keberatan lantaran mematok tugas ibu hanya di dapur saja sementara bapak sembari meneguk kopi asyik dengan bacaannya. Tak adillah ini.
Beranjak naik kelas. Kita bertemu dengan guru yang kupingnya merah kalau dibantah, kalau tidak menjadi marah. Terjadilah model pendidikan gaya bank itu: guru mengajar, murid belajar; guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti; guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri; guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid; guru adalah subjek proses belajar murid objeknya.
Daftar sepanjang itu. Kita lakoni itu di kelas. Setiap hari. Yang terjadi kemudian adalah mengendapnya metode itu lantas menjadi kebiasaan yang dipaksa dibiasakan. Tidak ada interaksi dua arah. Monolog. Kita belum mengikutsertakan kualitas guru yang teramat banyak di bawah rata-rata kompetensi. Belum pulalah menyertakan kurikulum yang dirancang di meja menteri pendidikan tanpa perlu penelitian mendalam tentang situasi setiap daerah.
Sampailah kita di kampus. Apa pula bedanya dengan sekolah-sekolah sebelumnya? Aha, bersua lagi kita dengan pengajar dengan tingkat keparahan yang buat kepala menggeleng. Dosen itu, bukankah mereka pemamah biak diktat-diktat usang? Enak sekali mereka memfotokopi buku orang lain dan menjualnya dengan harga melambung. Bukankah ini praktek yang sangat tidak terpuji? Lantas, kebaikan apa lagi yang kita saksikan dari seorang dosen bertitel banyak itu? Tidak heran kemudian, pengajar bertitel banyak itu menjadi uring-uringan saat mahasiswanya bertanya tajam.
Cukupkah alasan ini membuat kita teramat susah merangkai kata? Saat kita belia, kita tidak dibiasakan membaca karya sastra, terlebih menulis. Saat kita beranjak ke jenjang lebih tinggi, kita dikekang aroma ketidaksenangan dengan keberagaman pikiran. Pelarangan peredaran buku akan bercerita banyak tentang itu. Bukankah Ki Hadjar, Bapak Pendidikan Indonesia, mengatakan bahwa kemajuan bangsa ini bertumpu pada membaca lebih banyak buku, bukan melarang lebih banyak buku, dan pada keyakinan diri dan kemerdekaan berpikir rakyatnya, bukan pada kepatuhan intelektual yang dipaksakan negara?
Kita sudah memiliki begitu banyak perangkat untuk menulis. Buku-buku yang dilarang beredar itu segera akan mengisi rak-rak buku toko buku. Terima kasih Mahkamah Konstitusi karena sudah membuat Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung melarang peredaran buku menjadi usang. Teknologi yang sangat canggih itu pun memungkinkan kita mengakses apa pun yang kita butuhkan. Semestinyalah proses kreatif lebih mudah dihasilkan.
Proses kreatif? Saya mesti meminjam pikiran Pram. Mistikum, ujar Pram. Tidak ada kreatifitas tanpa mistikum. Mistikum itu kebebasan pribadi yang padat, yang melepaskan pribadi dari dunia luarnya, yang membikin pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan waktu. Proses kreatif bersifat individual. Dan hidup kita terdiri dari tiga matra: matra masa lalu, matra masa sekarang, dan matra masa mendatang. Bukankah kreasi tak lain dari wujud baru hasil perpaduan dari data tertentu yang tersimpan dalam masa lalu? Setiap pribadi kaya akan masa lalu asal tidak mengalami kerusakan jaringan syaraf dan otak, maka teoretis setiap orang mempunyai peluang berkreasi. Tinggallah kini faktor pribadi yang menentukan: keberanian, kemauan, disiplin, keyakinan, tanggung jawab, dan kesadaran yang membikinnya berprakarsa tanpa perintah.
Menulis memang tidak gampang-gampang amat. Dan kita tentu tak akan berkata menulis itu tak bisa dipelajari. Sudahlah. Ijinkan saya berujar: bakat menulis lahir dari proses panjang. Menulislah. Kehidupan ini sendiri menjadi sumber ide mahamelimpah. Bersedialah menjadi generasi yang mau bersusah payah. Hanya bangsa unggas saja sesaat dilahirkan langsung bisa berlari, berenang. Apakah Mario Vargas Llosa, peraih Nobel Sastra 2010 itu, tiba-tiba saja mahir menulis lantas meracik novel tebal?***
Penulis adalah Aktif di Komunitas Mata Kata, Medan.

Opini Analisa Daily 13 Desember 2010