13 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » AIDS dan “Fikih Prostitusi”

AIDS dan “Fikih Prostitusi”

Stasiun televisi TransTV pada 27 November 2010 silam, dalam program “Insert Investigasi”, menayangkan sebuah liputan intensif tentang HIV/AIDS, demi menyongsong Hari AIDS 1 Desember lalu.

Dipaparkan dalam tayangan itu, bahwa belakangan virus/penyakit mematikan ini memasuki babak baru. Kalau dulu kita tahu bahwa pengidap terbesarnya adalah dari kalangan PSK (pekerja seks komersial) dan sejenisnya, kini label pengidap terbesar itu justru merujuk pada kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Awal berita heboh ini behembus dari Kota Surabaya. Menurut situs berita Antara pada akhir November 2010 mengabarkan bahwa di kota tersebut, tahun 2010 ini (per September), jumlah pengidap HIV/AIDS terbanyak justru dari kalangan ibu rumah tangga, yakni 70 orang,  disusul kemudian PSK sebanyak 63 orang.
Pun, angka 70 itu sendiri merupakan peningkatan, karena tahun 2009, pengidap HIV/AIDS ibu rumah tangga hanya 63 orang. Hal yang sama terjadi di Ungaran, di mana dari 30-an pengidap HIV/AIDS, yang terbanyak justru para ibu rumah tangga dan buruh pabrik (Kedaulatan Rakyat, 3 Desember 2010).
Dari data ini, ada hal positif dan negatifnya. Positifnya, dari jumlah angka yang signifikan itu, menunjukkan bah­wa kesadaran masyarakat se­ma­kin meningkat untuk me­meriksakan diri (ke rumah sa­kit, puskesmas, atau lainnya). Negatifnya, ini merupa­kan fenomena yang pantas diwaspadai, karena jika pengidap HIV/AIDS terbesar adalah ibu rumah tangga, taruhannya bu­kan saja kesehatan dan nyawa yang bersangkutan (si ibu), tetapi masa depan ge­nerasi yang mereka lahirkan (jika kebetulan usia reproduktif).
Yang mengkhawatirkan, dan ini sisi negatif yang lain, data ini sesungguhnya adalah fenomena gunung es. Di kota atau kabupaten lainnya bisa jadi tidak jauh berbeda, atau malah lebih besar, hanya saja belum terungkap secara resmi. Artinya, Surabaya adalah po­tret nasional angka pasien HIV/AIDS yang didominasi oleh para ibu rumah tangga itu.

PSK “Informal”
Dalam tayangan televisi itu, tersebutlah seorang PSK bernama Angel (nama samaran), yang menjalani profe­si­nya secara mandiri (non-lo­ka­lisasi). Usianya sekitar 30-an, janda dua anak, juga punya orang tua yang sakit-sakitan. Untuk mencukupi kebutuhannya, dia menjual diri. Setiap hari, dia melayani setidaknya 3-5 lelaki hidung belang.
Celakanya, si Angel adalah seorang ODHA. Tentu saja ia tak pernah berterus terang dengan pengguna jasanya bahwa ia ODHA. Ia hanya menganjurkan agar kliennya memakai kondom. Mau pakai syukur, tidak memakai ya silakan saja, tetapi ya tahu akibatnya.
Anjuran Angel ini terkesan hanya formalitas. Artinya, se­cara moral dia sudah meng­ingatkan, secara diam-diam (karena hanya dia yang tahu), bahwa dia punya penyakit me­nular nan mematikan: AIDS. Kalau ditotal, kata Angel, hanya 60 persen kliennya yang mau memakai kondom.
Saya lebih sreg menyebut sosok seperti Angel ini sebagai PSK “informal”. Disebut begitu, karena ia beroperasi di bukan tempat “resmi”, yakni lokalisasi. Para PSK jenis inilah yang menjadi penyumbang terbesar dan signifikan dalam penyebaran HIV/AIDS, dan terutama terhadap para ibu rumah tangga itu.
Jika ia di lokalisasi, jelas akan terdeteksi, dan terpantau, perihal status ODHA-nya, sehingga para klien yang akan bertransaksi mau tidak mau mesti memakai kondom jika tak mau tertular. Tetapi karena beroperasi secara “swasta”, kelas “pinggir jalan”, maka itu tidak terdeteksi.
Para pengguna jasanya pun tak tahu, atau malah tak ambil peduli perihal status ODHA-nya. Sudah bisa ditebak, para kliennya itu tertulari HIV/AIDS. Nah, ketika pulang ke rumah, dengan tanpa merasa berdosa mereka berhubungan seks dengan istrinya yang setia dan tak tahu apa-apa.

Anak-anak sebagai Korban
Itulah yang terjadi. Kini AIDS bukan monopoli PSK. Perempuan baik-baik, yang lugu dan salehah, sangat berpotensi terjangkiti HIV/AIDS jika kebetulan suaminya bermoral bejat. Yang ironis lagi, jika si istri masih perempuan usia subur, dalam usia reproduksi, sehingga masih berpotensi hamil. Jika ini terjadi, secara otomatis janin atau anak yang dilahirkannya tertulari, bahkan semenjak masih dalam kandungan.
Untuk itu, dari fenomena ini, korbannya bukan hanya para ibu rumah tangga, tetapi juga anak-anak yang mereka lahirkan. Mereka menjadi ge­nerasi yang ringkih dan lemah (dzurriyyah dli’af), yang gampang terkena penyakit, ke­lainan fisik dan mental, bah­kan berumur pendek.
Tepat sekali apa yang di­gambarkan oleh QS al-Takwir, ayat 8-9: “Ketika bayi-bayi itu ditanya, atas dosa apa mereka dibunuh?” Anak-anak itu sesungguhnya dibunuh secara pelan-pelan, semenjak masih dalam kandungan, sebagai akibat perilaku bejat orang tuanya. Padahal mereka jelas tidak tahu apa-apa, tidak berdosa apa pun.
Apakah kita menyalahkan Tuhan saja? Allah berfirman dalam QS al-Thin: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.” Jika Tuhan memang menggenapi firman-Nya, mestinya tidak ada bayi yang lahir cacat fisik, cacat mental, terjangkit penyakit, berdaya tahan rendah, dan sebagainya. Tetapi kenapa justru yang terjadi sebaliknya?
Pakar tafsir Quraish Shi­hab, dalam buku Membu­mi­kan Al-Qur’an (1996) menga­ta­kan, di dalam ayat tersebut Allah menggunakan subjek “Kami” (nahnu), yang mengandung arti bahwa Dia tidak ber­tindak sendirian dalam proses penciptaan ma­nusia (janin dan bayi), tetapi melibatkan peran manusia dan sistem.  Kehendak alamiah Tuhan sebagai Sang Pencipta, bersi­nergi dengan tingkah laku manusia yang bejat (baca: gonta-ganti pasangan, melacur, dan lainnya), budaya prostitusi, ataupun pranata sosial, hukum, yang justru memberi ruang bagi para PSK ODHA un­tuk berpraktik secara “in­for­mal”, maka lahirlah “gene­rasi-generasi yang lemah” (dzurriyyah dli’af), bahkan berumur pendek.

Ikut Bertanggung  Jawab
Jika dicermati dengan saksama, sesungguhnya umat (kaum muslim) juga punya andil yang signifikan atas fenomena kronis ini. Jika salah satu pangkal masalahnya, seperti diungkapkan di atas, adalah berkeliarannya PSK-PSK secara “informal”, maka pertanyaannya, mengapa mereka berkeliaran? Itu terjadi, terutama, karena banyak lokalisasi yang dibubarkan. Karena lokalisasi bubar, otomatis mereka beroperasi secara mandiri.
Memang yang membubarkannya adalah pemerintah, tetapi kebijakan seperti itu umumnya karena desakan dari masyarakat. Siapa masyarakat itu? Terutama adalah umat Islam, yang demi dan atas na­ma moralitas keagamaan sa­ngat menentang praktik-praktik pelacuran, perzinahan, per­selingkuhan, dan semacamnya.
Di satu segi memang tuntutan semacam itu positif, karena dengan penutupan lokalisasi pelacuran secara riil dapat menjaga moral masyarakat agar berperilaku baik, menjauhi larangan agama (berzina atau melacur). Namun, di sisi lain, dam­pak­nya justru lebih buruk, yakni secara tidak langsung mempercepat penyebaran HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga, yang kemudian mereka tularkan ke janin-janin yang mereka kandung.

Perubahan Hukum karena Darurat
Moralitas ataupun hukum ditegakkan demi mewujudkan kemaslahatan. Tetapi, kemaslahatan itu bertingkat-tingkat. Betul bahwa dengan ditutupnya lokalisasi, suatu kemaslahatan akan terjamin, yakni umat terhindar dari zina, se­lingkuh, dan sebagainya. Tetapi, di balik itu ada kemaslahatan lebih besar yang terabaikan, yakni perlindung­an umat (terutama kaum ibu dan anak) dari ancaman virus dan penyakit mematikan: HIV/AIDS. Padahal, seperti sudah dimaklumi bersama, ketika virus HIV/AIDS menjangkiti seseorang, itu sama saja sebuah vonis mati. Dengan demikian, di balik penutupan lokalisasi, sesungguhnya ada pembunuhan secara tidak langsung. Kalau dibuat perbandingan, besar yang mana antara dosa pembunuhan dengan perzinaan?
Kondisi seperti ini sejatinya masuk kategori darurat, yang memungkinkan kita untuk mengabaikan suatu hukum (aturan) tertentu dan berpaling pada hukum (aturan) lain—meskipun berlawanan secara kontras—yang lebih menjamin kemaslahatan. Kasusnya mirip dengan soal halal-haram makanan.
Darah atau bangkai, misalnya, dalam kondisi normal adalah haram mutlak. Tetapi, dalam situasi darurat, misalnya tidak ada makanan halal yang bisa dimakan, keduanya menjadi halal. Tujuannya sama, yakni demi menjamin kemaslahatan yang lebih besar. Membiarkan diri kita mati kelaparan sama saja bunuh diri, dan dosa bunuh diri lebih besar daripada sekadar memakan barang haram.
Oleh karena itulah, dalam fikih (hukum Islam) kita menge­nal kaidah: al-dlaruratu tubih al-mahdzurat, bahwa kondisi darurat membolehkan kita untuk melakukan hal-hal yang terlarang (haram), asal dengan tujuan untuk menjaga kemaslahatan yang lebih besar.
Penyebaran HIV/AIDS adalah kondisi darurat. Meski pelacuran (prostitusi) secara normatif adalah haram, tetapi ketentuan ini bisa diabaikan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni kelangsungan hidup para ibu dan masa depan generasi umat.
Fikih juga mengenal kaidah syadz al-dzara’i, yakni prinsip untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk, yang akan menimbulkan ke-mafsadat-an bagi umat. Lokalisasi adalah cara yang urgens dan terbaik—dari yang buruk—untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS terhadap para ibu rumah tangga dan anak-anak yang mereka kandung.
Terakhir, fikih juga mengenal kaidah—yang dijumput dari perkataan Nabi SAW sendiri: la dlarara wala dlirar, bahwa sesuatu dikatakan me­ngandung kemaslahatan jika tidak bersifat buruk, artinya: baik, serta tidak melahirkan keburukan sesudahnya.
Penutupan lokalisasi memang baik, tidak mengandung keburukan (la dlarar), tetapi pada tataran lanjutnya akan mendampakkan keburukan (dlirar) secara masif, yakni penyebaran HIV/AIDS secara lebih cepat.
Prostitusi (pelacuran) adalah budaya yang sangat tua, setua peradaban manusia. Kita tak bisa melenyapkannya sama sekali, secanggih apa pun cara kita. Yang paling mungkin adalah meminimalkannya saja, baik dari segi volume maupun dampak yang ditimbulkan.
Bicara moral-agama, semua orang tahu, pelacuran itu terlarang dan dosa. Tetapi, dalam praktiknya, tetap saja banyak orang yang tidak takut akan dosa, apalagi aturan duniawi. Kalau sudah ada niat, seseorang akan mencari jalan dan kesempatan.
Hanya saja, penting di­sadari, bahwa jika seseorang tetap berbuat, berarti dia siap bertanggung jawab di hadapan Tuhan (jika dia mukmin). Atau, jika akibatnya tertulari penyakit kelamin, ia siap de­ngan risiko itu. Selanjutnya, yang perlu disadari, jangan sampai dari kejahatan asusila yang dia lakukan itu, orang lain yang tidak tahu apa-apa (pasangan sahnya, anak-anak­nya) terkena dampaknya pula. Atau jika dia seorang yang beriman, perlu menya­dari, jangan sampai dari dosa (zina) itu dilanjutkan lagi dengan dosa lain, yakni menulari penyakit ke pasangannya di rumah, atau anak keturun­annya kelak. Wallahu a’lam.

OLEH: SABRUR R SOENARDI, Penulis adalah alumnus PPs UIN Sunan Kalijaga, ustaz PP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul, dan dosen Ilmu Fikih STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta.

Opini Sinar Harapan 13 Desember 2010