13 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Keringat Buruh Migran dan Kerdilnya Peran Pemda

Keringat Buruh Migran dan Kerdilnya Peran Pemda

Kisah tragis dan pilu yang sering dialami buruh migran Indonesia menimbulkan paradoks yang sangat memalukan.
Paradoks itu terkait dengan buruknya kinerja pemerintah daerah (pemda) dalam hal layanan dan perlindungan buruh migran yang berasal dari wilayahnya. Sungguh kerdil peran Pemda dalam mengurusi buruh migran. Padahal, pihak daerah sangat menikmati cucuran keringat buruh  migran. Hal itu antara lain terlihat dari jumlah remiten yang terkirim ke daerah tersebut. Ekonomi perdesaan pun berdenyut karena keringat buruh migran.
Di lain pihak, peran pemda sangat minim dalam hal layanan dan pemberdayaan terhadap buruh migran yang berasal dari daerahnya. Pemda seolah menutup mata pada persoalan dan penderitaan buruh migran.
Untuk menghapus dosa-dosa di atas, pemda beserta DPRD harus membuat kebijakan yang pro buruh migran, antara lain dengan  membuat peraturan daerah (perda) yang terkait dengan kebijakan daerah yang melayani buruh migran sebaik-baiknya. Perda perlindungan buruh migran sangat  dibutuhkan untuk memastikan buruh migran mempunyai payung hukum dan jaminan kesejahteraan sejak dari daerah asalnya.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa masalah pelayanan ketenagakerjaan berskala kabupaten/kota merupakan salah satu dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ketentuan tersebut  sesuai dan terakselerasi dengan Undang-undang Republik Indonesa No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenga Kerja Indonesia di Luar Negeri  (UU-PPTKLN). UU tersebut juga menegaskan bahwa ada pelimpahan wewenang antara pemerintah kepada pemda dalam mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI.
Daerah, dalam hal ini  pemerintah provinsi, yang memiliki lembaga keuangan berupa bank daerah, mestinya  turut aktif dalam melayani kebutuhan pahlawan devisa. Ini dilakukan antara lain dengan pemberian kredit usaha rakyat bagi calon buruh migran. Sudah selayaknya bank milik daerah menyiapkan plafon kredit bagi calon TKI luar negeri. Dengan begitu, mereka tidak terjerat rentenir. Mekanisme pemberian KUR untuk buruh migran  itu harus terkait dengan proses penempatan dan program perlindungan buruh migran. Skema kredit tersebut sebaiknya juga terkait dengan perlindungan terhadap hak normatif dan aset TKI lewat program asuransi. Kredit untuk calon  buruh migran jangan dikenakan potongan apa pun. Juga, jangan sampai kucuran kredit tersebut dicaplok perusahaan pengerah tenaga kerja.
Tak bisa dimungkiri lagi, kebijakan pemerintah dalam hal perlindungan buruh migran masih amburadul. Begitu pula regulasi yang ada, masih  compang-camping. Komposisi jumlah pasal-pasal perlindungan dalam Undang-Undang No 39/2004 maupun komposisi elemen perlindungan dalam Inpres No 6 Tahun 2006  masih sangat minim dan dangkal. Kebijakan pemerintah lebih merupakan upaya  memberikan berbagai kemudahan proses pengiriman/penempatan, dan mendiskreditkan dengan istilah TKI ilegal atau non-TKI bagi mereka yang bekerja di luar negeri dengan cara di luar skema pengerahan/penempatan yang ditetapkan pemerintah.
Kelangkaan akan perangkat perlindungan bagi buruh migran Indonesia merupakan sebuah kelalaian serius. Hal ini berimplikasi pada berlanjutnya berbagai pelanggaran terhadap HAM buruh migran. Adanya sistem perlindungan bagi buruh migran Indonesia merupakan hal yang diharapkan banyak pihak, terutama oleh buruh migran dan keluarganya yang selama ini menghadapi berbagai masalah, baik ketika akan berangkat ke luar negeri, saat bekerja, maupun saat kembali dari tempat kerjanya.

Harapan UU Otda
Sebenarnya, undang-undang otonomi daerah telah memberikan harapan, karena  dimungkinkannya pihak daerah membuat peraturan sendiri untuk daerahnya, termasuk untuk masalah buruh migran dari daerahnya yang bekerja di luar negeri.
Ada beberapa faktor yang terkait dengan harapan di atas yakni: pertama, pihak  daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan dasar buruh migran dan keluarganya, karena mereka adalah penduduk daerah tersebut. Kedua, masalah-masalah dalam persiapan keberangkatan buruh migran muncul dari daerah tersebut seperti pemalsuan KTP dan kurangnya informasi akurat yang diterima calon buruh migran. Ketiga, jika terjadi permasalahan pada buruh migran, maka pihak yang langsung  ikut menanggung masalah tersebut adalah keluarga buruh migran yang tinggal di  daerah tersebut.
Dengan berlandaskan faktor tersebut, maka dibutuhkan Perda Buruh Migran yang adaptif dengan persoalan terkini. Perda tersebut sebaiknya tidak hanya mengacu pada peraturan nasional, tetapi juga mengacu pada instrumen HAM internasional.
Beberapa instrumen yang harus dijadikan acuan Perda Buruh Migran, yakni:  Undang-Undang Dasar 1945, UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39 Tahun 1999  tentang Hak Asasi Manusia, UU No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan beberapa Konvensi ILO yang telah disahkan oleh Indonesia, yaitu Konvensi No 29 tentang  Kerja Paksa, Konvensi No 98 tentang Berlakunya Dasar-dasar Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama, Konvensi No 100 tentang Renumerasi Setara,  Konvensi No 87 tentang Kebebasan Berasosiasi dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi, Konvensi No 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, Konvensi No 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, dan Konvensi 138 tentang Usia  Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
Isi perda buruh migran sebaiknya juga menyangkut penyediaan sarana untuk rehabilitasi buruh migran korban kekerasan, seperti Shelter dan Crisis Center. Selain itu, hal itu juga harus mencakup kewajiban pemerintah daerah dalam hal alokasi anggaran untuk pengelolaan dan perlindungan terhadap buruh migran. Juga, membuat  sistem informasi daring berbasis internet untuk penanganan kasus-kasus buruh  migran.
Sistem tersebut harus dapat diakses secara mudah oleh buruh migran, keluarga, maupun pendamping kasus buruh migran di daerah. Isi perda juga termasuk bagaimana daerah mengembangkan program jaminan sosial, sehingga bagi buruh migran yang tidak beruntung dapat memanfatkan potensi-potensi yang masih ada agar dapat melakukan usaha. Perda juga harus mempertimbangkan kekhasan daerah. Dalam hal, ini antara daerah satu dengan daerah yang lain memiliki karakter yang berbeda. Misalnya, kebutuhan lapangan kerja dan kaitannya dengan kondisi demografis.
 
OLEH: SEDYATI HADISUMARTO
Penulis adalah Pemerhati Kinerja Birokrasi dan Akuntabilitas Publik.

Opini Sinar harapan 13 Desember 2010