13 Desember 2010

» Home » Okezone » Opini » Sulitnya Kasus Gayus

Sulitnya Kasus Gayus

Kasus Gayus tidak ubahnya dengan kasus Urip Tri Gunawan-Arthalyta, tidak ubahnya dengan kasus Anggodo. Kasus ini juga tidak ubahnya dengan kasus cek pelawat yang melibatkan anggota DPR RI, tidak ubahnya dengan kasus lain yang tersangkut tindak pidana korupsi.

Dalam UU Antikorupsi di Indonesia, unik dan berbeda dengan UU yang sama di negara lain, korupsi diartikan secara luas, termasuk tindak pidana suap dan delik jabatan lainnya yang diatur dalam KUHP, ditambah dengan gratifikasi. Di negara lain tidak dikenal tindak pidana korupsi, melainkan tindak pidana suap.

Bahkan, dalam praktik, hampir seluruh tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara didakwa dengan UU Antikorupsi No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. UU itu mencakup tindak pidana di bidang perpajakan, perbankan, dan bahkan semua ketentuan pidana di UU Sektoral jika dilanggar termasuk tindak pidana korupsi.

Gratifikasi dan Suap

Gayus merupakan seorang PNS Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Dalam UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan secara khusus ditentukan, “Jika dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi (Pasal 43 A ayat 3).” Kasus Gayus dari kacamata UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jelas termasuk tindak pidana suap dalam lingkup UU tersebut.

Uang suap itu diterima Gayus ketika berada dalam posisi sebagai fiscus (petugas pajak) sehingga berlaku ketentuan Pasal 43 A. Otomatis terhadap yang bersangkutan diberlakukan Pasal 5 ayat (2) ) UU No 20 Tahun 2001, yaitu ketentuan mengenai suap pasif (passive bribery) dengan “ancaman pidana paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Atau dapat diberlakukan ketentuan Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001, yaitu ketentuan mengenai gratifikasi. Namun batas waktu 30 hari (sesuai Pasal 17 UU No 30 Tahun 2002) untuk melaporkan kepada KPK tidak dilakukan oleh Gayus sehingga kepadanya otomatis berlaku ketentuan pidana dalam Pasal 12 B ayat (2), yaitu ancaman “pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 (duaratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Jika dilihat dari ancaman pidana maka pemberlakuan ketentuan gratifikasi lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana suap. Namun tampaknya hal tersebut tidak diperhatikan kalangan masyarakat luas.

Ganjil

Masalah pembuktian kasus suap tidak mudah kecuali dalam keadaan tertangkap tangan sebagaimana sering dilakukan KPK. Sekalipun Gayus mengakui dan menyebut nama-nama pemberi suap hanya tiga perusahaan nasional, perusahaan asing lainnya yang juga terlibat dalam penyuapan tersebut tidak diungkap oleh Gayus dan luput dari pemberitaan pers nasional. Jika kita mau mengekspos perusahaan asing itu sesungguhnya gaungnya secara internasional sangat signifikan untuk menunjukkan kesungguhan pemerintah cc penegak hukum di Indonesia.

Mengapa? Hal ini disebabkan perusahaan asing tersebut tunduk terhadap hukum negaranya yang juga mengharamkan perbuatan suap terhadap pejabat publik nasional atau pejabat publik asing. Peraturan ini sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tentang “bribery of national public officials” (Pasal 15) dan “bribery of foreign public officials” (Pasal 16), baik suap aktif maupun pasif. Menurut informasi, perusahaan asing tersebut termasuk multinational corporation yang besar dan ternama di dalam aktivitas bisnis internasional.

Menjadi pertanyaan, mengapa Gayus hanya mau membuka mulut untuk perbuatan suap perusahaan nasional saja? Hasil pemeriksaan Bareskrim Polri sudah tentu mencatat semua perusahaan yang terlibat dalam kasus suap Gayus. Keganjilan berikutnya adalah PPATK seketika mengetahui keterlibatan Gayus dalam kasus perpajakan dan notabene adalah kasus korupsi seharusnya melakukan langkah hukum proaktif berkerja sama dengan Bareskrim Polri menelusuri dan memblokir akun Gayus di beberapa rekening bank nasional.

Bahkan PPATK telah memiliki kewenangan besar dalam penelusuran akun tersangka sekaligus menelisik aliran uangnya (follow the money). Pemblokiran yang tidak dilakukan secara total terhadap akun Gayus, termasuk kartu kredit Gayus dan istrinya, mengakibatkan terjadinya peristiwa keluar rutan dan jalan-jalan ke Bali. Jika semua langkah hukum dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada termasuk PPATK sesuai dengan ketentuan UU yang telah diberlakukan sejak lama berkaitan dengan suap, gratifikasi (korupsi) dan pencucian uang maka perkara Gayus tidak menjadi misterius seperti kejadian sekarang ini.

KPK dalam kasus Gayus juga memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi. Jika koordinasi proaktif telah dilakukan KPK kepada Polri sejak awal, juga dilakukan supervisi (Pasal 6 huruf a dan b; Pasal 7, Pasal 8 UU KPK) mengingat perkara Gayus bukan perkara kecil, maka proses pengambilalihan kasus Gayus oleh KPK tidak akan tersendat (Pasal 9 UU KPK).

Semua langkah hukum telah ada protapnya di dalam UU KPK yang telah berlaku sejak Tahun 2002 dan telah disosialisasikan ke seluruh instansi termasuk instansi penegak hukum. Iklim penegakan hukum saat ini, sekalipun dalam keadaan “babak belur”, KPK tetap masih merupakan tumpuan penuntasan kasus korupsi sesulit apa pun karena memiliki kewenangan luar biasa dan masih bersikap independen dibandingkan dengan dua lembaga penegak hukum lainnya. Singkatnya, sesungguhnya tidak ada yang sulit untuk mengungkap tuntas kasus tindak pidana apapun termasuk korupsi jika dilakukan dengan kesungguhan, amanah, jujur, penuh integritas, dan “zero kepentingan”, termasuk masyarakat penonton di luar arena.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Opini Okezone 13 Desember 2010