13 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Aku Memberontak, Aku Ada

Aku Memberontak, Aku Ada

”AKU memberontak maka aku ada,” kata Albert Camus (7 November 1913-5 Januari 1960), sastrawan dan filsuf eksistensialis Prancis kelahiran Aljazair, pemenang Nobel Sastra tahun 1957. Bagi Camus, eksistensi dirinya sebagai sastrawan ataupun filsuf diraih dengan cara melakukan pemberontakan terhadap sistem atau tata nilai yang saat itu lazim dianut sastrawan, filsuf, atau bahkan anggota masyarakat lain.

Kini, meski dalam konteks berbeda, ”pemberontakan” barangkali akan dilakukan warga Yogyakarta untuk meneguhkan kembali eksistensinya yang terusik oleh pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kawula Ngayogyakarta Hadiningrat menolak Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang isinya mempereteli kewenangan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.

Bagi masyarakat Yogyakarta, ”pemberontakan” dilakukan bukan dengan mengangkat senjata melainkan cukup dengan sidang paripurna DPRD DIY guna mendukung penetapan HB X sebagai gubernur dan Pakualam (PA) IX sebagai wakil gubernur. Menurut rencana, sidang pleno terbuka yang akan dihadiri berbagai elemen masyarakat Yogyakarta itu digelar Senin (13/12) ini.

Dalam RUUK DIY yang sudah difinalisasi pemerintah pusat, Sultan ditempatkan sebagai gubernur utama dan Pakualam sebagai wakil gubernur utama dengan kewenangan tertentu. Sementara gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat, melalui pilkada. Hal ini sejalan dengan pemikiran SBY yang dilontarkannya pada 26 November 2010, yang setelah menuai kontroversi, SBY melakukan klarifikasi. Ujung-ujungnya sama: Gubernur DIY dipilih langsung, bukan melalui penetapan seperti dikehendaki rakyat Yogyakarta.

Maka, rakyat Yogyakarta pun menolak dan penolakan itu bukan tanpa alasan. Dengan gubernur DIY dipilih secara langsung maka keistimewaan Yogyakarta pun pupus sudah, meskipun dalam RUUK tersebut masih ada enam keistimewaan lainnya. Bagi rakyat Yogyakarta, eksistensi mereka ada ketika diperintah Sultan HB X, sehingga jika Sultan tidak otomatis ditetapkan menjadi gubernur, eksistensi itu pun menjadi absurd. 

Keistimewaan DIY bukan diperoleh begitu saja atau taken for granted karena diperoleh melalui proses sejarah panjang. Misalnya HB IX dan Pakualam VIII pada 5 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari RI. Bahkan HB IX merelakan Yogyakarta dijadikan ibu kota negara ketika RI dihimpit kesulitan akibat agresi militer Belanda. Keraton pun direlakan menjadi kantor sementara Presiden Soekarno dan Wapres Mochammad Hatta, dan uang Keraton 5 juta gulden direlakan buat menggaji pegawai istana kepresidenan.

Bukan Monarki

Tidak itu saja, ketika pada 1949 masih terjadi perdebatan mengenai keberadaan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dibentuk pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, HB IX lantang memproklamasikan DIY bergabung dengan RI. Saat itu RI merupakan bagian dari RIS. Itulah sebabnya mengapa kemudian Yogyakarta mendapat status daerah istimewa dalam konstitusi UUD 1945, termasuk UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Pasal 18B ayat (1).

Pernyataan SBY tentang DIY juga ambivalen; hal yang juga dipertanyakan HB X. Dalam draf RUUK DIY disebutkan, Sultan dan Pakualam mempunyai hak imunitas atau kekebalan hukum. Apakah justru ini tidak bertentangan dengan konstitusi yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum?

Tidak itu saja. Kalau memang tidak boleh ada keistimewaan di DIY berupa penetapan Sultan sebagai gubernur, mestinya keistimewaan serupa juga tidak diberikan kepada Provinsi DKI Jakarta ataupun NAD dan Papua. Di DKI, wali kota tidak dipilih langsung oleh rakyat tetapi ditetapkan atau diangkat oleh gubernur. Di NAD berlaku syariat Islam. Di Papua, ada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Meski Sultan menjabat gubernur, pelaksanaan pemerintahan di DIY dijalankan sesuai dengan konstitusi dan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bukan dengan sistem monarki. Kini, ketika keistimewaan Yogyakarta coba diusik, apakah rakyat Yogyakarta perlu ”memberontak” kendati bukan dengan mengangkat senjata, untuk meneguhkan kembali eksistensinya? (10)

— Drs H Sumaryoto, anggota DPR Fraksi PDIP dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah X (Kabupaten Batang, Kabupaten/Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang) 
Wacana Suara Merdeka 13 Desember 2010