13 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » Peduli pada Nasib Guru Swasta

Peduli pada Nasib Guru Swasta

DI tengah keluh kesah masyarakat yang prihatin dengan maraknya korupsi, mafia peradilan, dan setumpuk persoalan yang melilit bangsa ini, perhatian kita kembali tertuju pada dunia pendidikan. Pendidikan menjadi tempat berpaling karena melalui pendidikan pembangunan karakter bangsa ini tertumpu. Maka gagasan perlunya penguatan pendidikan karakter di sekolah menjadi isu utama.

Berbicara pendidikan tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang guru. Sementara berbicara soal guru sangat berkaitan erat dengan kompetensi, dedikasi, loyalitas pengabdian, dan (problem klasik) kesejahteraan.

Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) pada 25 November 2010 yang diperingati pada 2 Desember lalu dengan dihadiri Presiden SBY masih menyisakan sejumlah agenda yang harus dijawab. Mestinya peringatan ini menjadi momentum strategis untuk kembali merenungkan sejauhmana bangsa ini menempatkan guru pada posisi yang semestinya mulia. Bangsa ini memiliki martabat sebagai bangsa terhormat justru ketika kualitas pendidikan makin bagus.

Sedemikian berat amanat guru  untuk mengantarkan bangsa ini jauh lebih bermartabat dengan karakter bangsa yang kuat yang jauh dari perilaku korup. Namun di sisi lain problem klasik di seputar guru masih saja berputar-putar pada persoalan keadilan. Karena itu muncul pertanyaan, apakah tugas berat guru berbanding lurus dengan perlakuan atau perhatian pemerintah terhadap nasib guru, terutama guru swasta. Siapakah yang akan peduli dengan nasib guru swasta?

Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyatakan para guru harus mendapat perlindungan dalam menjalankan profesinya. Selain itu kerja dan dedikasi guru harus dihargai dengan meningkatkan kesejahteraannya. Pernyataan Mendiknas ini disampaikan ketika menjadi pembina upacara peringatan ke-16 HGN, 25 November 2010 di kantornya. ’’Profesi, martabat, dan kesejahteraan guru harus terjaga. Dengan tiga hal itu, maka guru diharapkan bisa memerankan tugas utamanya,’’ katanya (SM, 26/11/10).

Menjawab problematika kesenjangan itu, alternatif solusi yang paling tepat adalah memerhatikan kesejahteraan guru secara adil. Benar bahwa pemerintah telah memberikan tunjangan profesi. Benar pula bahwa realitasnya ada guru PNS dan non-PNS. Tetapi perbedaan ini bukan berarti menjadi tembok pemisah yang membatasi perlakuan secara adil.

Ada Perbedaan

Ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemerintah secara serius.
Pertama; sudah seharusnya menjadi komitmen untuk dilaksanakan bahwa guru harus digaji sesuai kebutuhan hidup minimum atau setara dengan upah minimum provinsi (UMP). UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat (1) Huruf a menyebutkan, ’’Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak: a. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan jaminan kesejahteraan sosialĂ®.

Kedua; perlu meninjau ulang penggunaan istilah tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang berakibat pada kesenjangan pada tataran implementasinya. Pembedaan istilah ini menjadi ironi ketika PNS yang sudah mendapatkan penghasilan di atas UMK mendapat tunjangan fungsional penuh, tetapi guru non-PNS yang notabene berpenghasilan di bawah UMK hanya diberi ’’subsidi’’ tunjangan fungsional. Rasanya sudah bukan alasan lagi jika  keterbatasan anggaran menjadi dasar filosofis keluarnya pasal ini.

Ketiga; ironi itu makin jelas ketika persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru untuk memperoleh tunjangan fungsional dan subsidi tunjangan fungsional ternyata sama. Persyaratan tersebut sebagaimana diatur dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 19. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin seseorang dengan beban kewajiban yang sama memperoleh hak yang berbeda.

Keempat; pemberian sertifikasi guru, kesempatan mengembangkan kualitas melalui pelatihan dan hak lainnya juga harus dilakukan secara proporsional. Artinya secara kuantitas kesempatan mengikuti uji sertifikasi, pelatihan dan hak yang lain jumlahnya tidak timpang antara guru PNS dan non-PNS. Tentu saja apabila guru bersangkutan telah memenuhi persyaratan.

Itulah beberapa hal yang perlu menjadi perhatian oleh pemerintah bila ingin serius meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru. Jadi nantinya  tidak ada lagi pertanyaan, nasib guru swasta, siapa yang peduli? (10)

— Nuridin SAg MPd, dosen Fakultas Bahasa Unissula, Wakil Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Semarang 


Wacana Suara Merdeka 13 Desember 2010