30 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Tahun Baru, Harapan Baru, Masalah Lama

Tahun Baru, Harapan Baru, Masalah Lama

Masih ingat janji-janji kampanye politik SBY-Boediono ketika kampanye pada Pemilu 2009?
Berikut beberapa di antaranya:
1. Pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.
2. Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat.
3. Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.
4. Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.
5. Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.
6. Penambahan Energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan.
7. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI, maupun pertanian.
8. Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun murah untuk buruh, TNI/ Polri, dan rakyat kecil.
9.Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti dengan reboisasi lahan.
10.Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustsista TNI/ Polri.
11. Reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan.
12. Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan.
13. Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang sudah diraih? Dari sisi waktu, tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa mereka telah gagal karena masih memasuki tahun kedua dari masa pemerintahannya. Walau demikian, kita tetap bisa menilai sejauh mana hasil yang telah dicapai, termasuk ’trend’ kedepan.
Beberapa Catatan
State Corruption. Korupsi di negeri ini menunjukkan tendensi makin sistemik. Artinya, korupsi bukan lagi dilakukan oleh satu dua orang tapi oleh banyak orang secara bersama. Terungkapnya kasus Gayus menunjukkan hal itu. Korupsi jenis ini tentu jauh lebih berbahaya dan lebih banyak merugikan keuangan negara. Tapi yang jauh lebih berbahaya adalah ketika korupsi dilakukan oleh negara itu sendiri melalui utak-utik kebijakan dan peraturan-peraturan. Inilah yang disebut state corruption (korupsi negara). Skandal Bank Century dan IPO Krakatau Steel adalah contoh nyata. Dan kasus itu diduga telah merugikan negara triliunan rupiah. Segala usaha bagi pemberantasan korupsi, menjadi tak banyak artinya karena yang dihadapi adalah para pejabat negara itu sendiri.
Kebijakan Ekonomi Liberal. State corruption juga diindikasikan oleh makin banyaknya kebijakan-kebijakan ekonomi liberal. Diantaranya adalah kenaikan TDL, privatisasi sejumlah BUMN, dan pembatasan subsidi BBM. Sesungguhnya tidak ada satupun alasan yang bisa dijadikan pembenaran untuk semua rencana itu.
Kenaikan TDL lalu bisa dihindari andai saja PLN mendapat pasokan gas. Tapi anehnya, produksi gas yang ada, seperti Gas Donggi Senoro, 70%-nya malah akan dijual ke luar negeri. Demikian juga privatisasi sejumlah BUMN. Bila alasannya adalah untuk menambah modal, mengapa tidak diambil dari APBN atau dari penyisihan keuntungan?
Bila untuk bank kecil seperti Bank Century yang notabene milik swasta, pemerintah dengan sigap menggelontorkan uang lebih dari Rp 7 triliun, mengapa untuk perusahaan milik negara sendiri langkah seperti itu tidak dilakukan?
Sementara, rencana pembatasan BBM tidak lebih merupakan usaha pemerintah untuk menuntaskan liberalisasi sektor Migas seperti yang digarisan oleh IMF. Kebijakan itu tentu akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir (penjualan). SPBU-SPBU Asing akan mengeruk keuntungan besar. Ini tentu sebuah ironi besar, bagaimana mungkin rakyat membeli barang milik mereka di halaman rumah sendiri kepada orang asing dengan harga yang ditentukan oleh mereka?
Kebijakan ekonomi yang makin liberal itu tentu akan semakin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Akibatnya, sebagian di antara mereka pun mencari kerja ke luar negeri. Tapi apa lacur, bukan uang yang didapat tapi penderitaan dan penyiksaan seperti yang menimpa Sumiati dan sejumlah TKW lain.
Intervensi Asing. Liberalisme juga terjadi di dunia politik. DPR yang diidealkan menjadi wakil rakyat, realitasnya justru menjadi alat legitimasi intervensi asing dan mulusnya arus liberalisme di negeri ini. Berbagai peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat seperti UU Kelistrikan dan lainnya lahir dari lembaga ini.
Menjadi kian parah ketika anggota DPR gemar menghamburkan uang dengan berbagai dalih seperti dana aspirasi, studi banding, dan sebagainya. Pada hal, kinerjanya yang jauh dari memuaskan. Ini makin mengundang pertanyaan, sebenarnya untuk siapakah lembaga parlemen itu bekerja.
Sementara itu, intervensi asing, khususnya Amerika Serikat, tampaknya bakal kian kokoh setelah naskah Kemitraan Komprehensif ditandatangani. Kunjungan Obama bulan lalu makin memperkuat cengkeraman kuku negara imperialis itu di negeri ini. Terungkapnya sejumlah dokumen diplomatik penting melalui situs Wikileaks mengkorfimasikan tentang adanya intervensi AS terhadap Indonesia.
Hatta Taliwang, mantan anggota DPR periode 1999-2004 dalam Dialog Kebangsaan Refleksi Akhir Tahun 2010 di Aula Kebangsaan, Hypermall Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu (18/12/2010) mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia dinilai lebih banyak didikte oleh pihak asing, dalam hal ini pemilik modal. Banyak kekayaan alam yang tidak dimanfaatkan dengan baik bagi kepentingan rakyat, melainkan lebih menguntungkan segelintir orang. "Ini rezim boneka ini. Rezim yang bisa dikendalikan dari luar," imbuh Hatta. (DetikNews)
Isu Teroris dan Kebrutalan Densus 88. Isu terorisme di tahun 2010 tidak juga kunjung padam. Sejumlah peristiwa yang dikatakan sebagai tindak terorisme seperti perampokan bank CIMB - Niaga di Medan terjadi. Tapi dari investigasi yang dilakukan terkuak sejumlah kejanggalan sekaligus kedzaliman yang dilakukan oleh Densus 88. Hal ini dipertegas oleh kesimpulan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Tapi tampaknya, Densus 88 tak bergeming. Operasi jalan terus, nyaris tanpa kendali dan kontrol. Korban mungkin masih akan kembali berjatuhan di tahun mendatang.
Kekerasan Terhadap Anak. Sepanjang tahun 2009-2010, Komnas Anak memantau 824 kasus pembuangan bayi. Sekitar 68% dari bayi yang dibuang itu ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Lokasi pembuangannya beragam, mulai bak sampah, halaman atau teras warga masyarakat, sungai, got, dan pembuangan air selokan, rumah ibadah, rumah bersalin, terminal bis sampai stasiun kereta api, halte dan tempat pemakaman umum.
Pada tahun 2010, ketika pertama kali dilakukan pendataan secara nasional, ditemukan ada sekitar 240.000 anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia. Sekitar 5-7% dari mereka, mengaku lari dari rumah karena kekerasan dalam rumah tangga. Setiap tahun, jumlah anak jalanan terus meningkat. Direktorat Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial pada 2009 mencatat ada 5,4 juta anak terlantar di seluruh Indonesia.
Dirundung Bencana. Tsunami di Mentawai, longsor di Wasior, dan letusan gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY; bencana tersebut menyisakan sebuah ironi. Bila diyakini bahwa segala bencana itu adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT, tapi mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah dalam kehidupan kita.

Opini Analisa Daily 31 Desember 2010