Berbangga sempat dialami Indonesia minggu-minggu lalu.  Kemenangan-kemenangan Tim Nasional Garuda di Piala AFF 2010 jadi  perangsangnya. Kebanggaan itu menyebar luas dengan daya besar,  meletuskan euforia hampir di tiap lapisan masyarakat.
Banyak yang  bisa dipelajari dari kebanggaan itu: makna kebanggaan, faktor dan  pengaruhnya, gejala sosial-politik yang ditandainya, juga watak  orangnya. Ia bisa bercerita banyak tentang situasi psikologis orang  Indonesia.
Kebanggaan berdua wajah. Di satu sisi ia dianggap  keutamaan, di sisi lain ia dianggap hal buruk, bahkan dosa. Dari efeknya  ia dapat menguatkan, dapat juga melemahkan. Aristoteles menyebutnya  mahkota keutamaan. Nietzsche menggolongkannya dalam moralitas yang baik.  Psikologi mengartikannya sebagai emosi yang menyenangkan, kadang  menggebu, yang dihasilkan dari evaluasi diri positif.
Kebanggaan  adalah emosi kompleks, menuntut kematangan dan kekuatan orang yang  mengalaminya. Dari pendefinisian awal St Augustinus, ”kecintaan terhadap  kesempurnaan diri”, bisa dipahami ada kebanggaan otentik dan kebanggaan  semu atau kebanggaan yang memadai dan kebanggaan palsu.
Kebanggaan otentik dan semu
Kebanggaan  otentik terbentuk ketika diri yang dicintai sungguh punya kualitas  positif, punya pencapaian yang relatif sempurna. Orang yang memilikinya  punya kematangan dan kekuatan karakter. Sebaliknya, kebanggaan semu  adalah kecintaan pada citra-diri yang dianggap sempurna tapi tak sesuai  dengan aktualitasnya. Orang yang memilikinya dikuasai tirani keharusan  dan harga diri rendah.
Kebanggaan juga bisa mewujud pada penilaian  tinggi terhadap bangsa sendiri (kebanggaan nasional) dan etnisitas  (kebanggaan etnis). Kita kenal juga kebanggaan kelompok, profesi, dan  keluarga. Bangsa, suku, kelompok, profesi, dan keluarga jadi  perpanjangan diri seseorang.
Jika dicermati situasi Indonesia dua  dekade terakhir, beralasan jika kita menduga kebanggaan masyarakat  Indonesia saat ini, khususnya terhadap Timnas Garuda, bukan kebanggaan  otentik. Ungkapan kebanggaan yang membeludak serta indikasi  pemanfaatannya oleh kelompok elite politik seperti berkata sebaliknya:  masyarakat Indonesia haus akan rasa bangga karena kebutuhan akan  kebanggaan kurang terpenuhi.
Kita begitu bangga dengan kemenangan  awal Timnas Garuda di Piala AFF sebab selama ini kita tak punya hal lain  yang bisa dibanggakan. Orang Indonesia seperti ingin merebut kebanggaan  dari prestasi yang belum sungguh terbukti dapat dicapai. Kebanggaan  yang masih semu itu dimanfaatkan para pemimpin dan elite politik yang  berkepentingan memikat hati rakyat dengan jalan singkat. Para oportunis  yang sebelumnya tak sungguh ikut andil membina Timnas Garuda berlomba  menunjukkan kontribusinya bagi tim itu.
Penghargaan kelewat  besar—mirip pemanjaan—terhadap tim itu sebelum mereka jadi juara tak  pada tempatnya. Malah, penghargaan yang terkesan semu itu melelahkan dan  menjenuhkan mereka.
Miskinnya kebanggaan
Manusia  butuh kebanggaan sebagai bagian dari harga diri. Ia dibutuhkan untuk  membangun struktur diri koheren dan bermakna. Wajar, jika ketika ada  kejadian yang dinilai positif berkaitan dengan diri sendiri atau  kelompok, orang membanggakannya. Justru tak wajar jika ada orang atau  kelompok yang tak pernah merasa bangga sebab itu artinya ada masalah  harga diri dan emosional pada mereka.
Maka, wajar kebanggaan  dirasakan banyak orang Indonesia setelah kemenangan-kemenangan Timnas  Garuda. Namun, luapan luar bisa kebanggaan itu memunculkan pertanyaan:  mengapa begitu besar dan meluas kebanggaan akan Timnas Garuda  seolah-olah itu satu-satunya kebanggaan yang Indonesia punya?
Kita  punya banyak hal yang bisa diduga sebagai penyebab deprivasi kebutuhan  akan kebanggaan. Kurangnya prestasi di berbagai bidang, korupsi,  penggelapan pajak, angka kemiskinan yang tinggi, aparat penegak hukum  melecehkan hukum, politik yang mengedepankan kepentingan elite partai,  konflik antaragama, transportasi tak memadai rawan kecelakaan,  administrasi negara yang semrawut.
Dibandingkan dengan Malaysia,  kita pun punya alasan merasa rendah diri. Malaysia menampung banyak  tenaga kerja kita, menyerbu kita di ranah bisnis dengan menguasai  Telkom, bank, rumah sakit, dan lain-lain. Kepemilikan aset di Indonesia  oleh pihak dari negara lain yang memberi manfaat kecil bagi rakyat  Indonesia juga bisa jadi faktor miskinnya kebanggaan.
Miskinnya  kebanggaan menjadikan orang Indonesia haus akan kebanggaan dan selalu  memimpikannya. Maka, ketika ada satu saja kejadian yang dipersepsi  positif, kita membesar-besarkannya seolah Indonesia adalah bangsa yang  berprestasi. Padahal kenyataannya, kita miskin prestasi, rendah diri,  dan menampilkan indikasi tak menghargai bangsa sendiri.
Kebanggaan  otentik adalah bagian dari karakter yang kuat. Sebagai keutamaan,  kebanggaan merupakan bagian dari kepribadian yang memampukan orang  menyesuaikan diri secara konstruktif dan produktif dengan dunia. Maka,  pembentukan kebanggaan adalah bagian dari pembentukan karakter.
Pembentukan  karakter mensyaratkan adanya teladan. Justru itu masalahnya, Indonesia  kehilangan tokoh teladan. Pengelolaan Indonesia yang tak menghasilkan  prestasi yang dapat dibanggakan dan figur pemimpin yang tak bisa jadi  teladan malah memberi kesan kuat bahwa hidup di Indonesia memang tak  membanggakan. Seolah kita hanya berhak kecewa dan menerima saja nasib  sebagai bangsa yang tak punya kebanggaan.
Namun, dalam diri tiap  orang, kebutuhan akan kebanggaan terus mendesak, menjadikan kita sebagai  bangsa yang haus akan kebanggaan. Kehausan itu tak bisa dihilangkan  dengan kebanggaan semu, juga oleh prestasi kebetulan yang mengandalkan  nasib baik. Dalam jangka panjang pendidikan karakter sejalan dengan  pembangunan bangsa sangat dibutuhkan. Dalam jangka pendek dibutuhkan  pengendalian diri oleh semua lapisan masyarakat, terutama para pemimpin  untuk tak hanya mementingkan diri sendiri dan melampiaskan kerakusannya.
Kini  keberanian para pemimpin ambil risiko dalam mengupayakan kehidupan  Indonesia lebih baik sangat dibutuhkan untuk menghasilkan rasa bangga  kepada bangsa yang haus kebanggaan ini.
Bagus Takwin Psikolog
Opini Kompas 31 Desember 2010 
30 Desember 2010
Bangsa yang Haus Kebanggaan
Thank You!