30 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Bangsa yang Haus Kebanggaan

Bangsa yang Haus Kebanggaan

Berbangga sempat dialami Indonesia minggu-minggu lalu. Kemenangan-kemenangan Tim Nasional Garuda di Piala AFF 2010 jadi perangsangnya. Kebanggaan itu menyebar luas dengan daya besar, meletuskan euforia hampir di tiap lapisan masyarakat.
Banyak yang bisa dipelajari dari kebanggaan itu: makna kebanggaan, faktor dan pengaruhnya, gejala sosial-politik yang ditandainya, juga watak orangnya. Ia bisa bercerita banyak tentang situasi psikologis orang Indonesia.
Kebanggaan berdua wajah. Di satu sisi ia dianggap keutamaan, di sisi lain ia dianggap hal buruk, bahkan dosa. Dari efeknya ia dapat menguatkan, dapat juga melemahkan. Aristoteles menyebutnya mahkota keutamaan. Nietzsche menggolongkannya dalam moralitas yang baik. Psikologi mengartikannya sebagai emosi yang menyenangkan, kadang menggebu, yang dihasilkan dari evaluasi diri positif.
Kebanggaan adalah emosi kompleks, menuntut kematangan dan kekuatan orang yang mengalaminya. Dari pendefinisian awal St Augustinus, ”kecintaan terhadap kesempurnaan diri”, bisa dipahami ada kebanggaan otentik dan kebanggaan semu atau kebanggaan yang memadai dan kebanggaan palsu.
Kebanggaan otentik dan semu
Kebanggaan otentik terbentuk ketika diri yang dicintai sungguh punya kualitas positif, punya pencapaian yang relatif sempurna. Orang yang memilikinya punya kematangan dan kekuatan karakter. Sebaliknya, kebanggaan semu adalah kecintaan pada citra-diri yang dianggap sempurna tapi tak sesuai dengan aktualitasnya. Orang yang memilikinya dikuasai tirani keharusan dan harga diri rendah.
Kebanggaan juga bisa mewujud pada penilaian tinggi terhadap bangsa sendiri (kebanggaan nasional) dan etnisitas (kebanggaan etnis). Kita kenal juga kebanggaan kelompok, profesi, dan keluarga. Bangsa, suku, kelompok, profesi, dan keluarga jadi perpanjangan diri seseorang.
Jika dicermati situasi Indonesia dua dekade terakhir, beralasan jika kita menduga kebanggaan masyarakat Indonesia saat ini, khususnya terhadap Timnas Garuda, bukan kebanggaan otentik. Ungkapan kebanggaan yang membeludak serta indikasi pemanfaatannya oleh kelompok elite politik seperti berkata sebaliknya: masyarakat Indonesia haus akan rasa bangga karena kebutuhan akan kebanggaan kurang terpenuhi.
Kita begitu bangga dengan kemenangan awal Timnas Garuda di Piala AFF sebab selama ini kita tak punya hal lain yang bisa dibanggakan. Orang Indonesia seperti ingin merebut kebanggaan dari prestasi yang belum sungguh terbukti dapat dicapai. Kebanggaan yang masih semu itu dimanfaatkan para pemimpin dan elite politik yang berkepentingan memikat hati rakyat dengan jalan singkat. Para oportunis yang sebelumnya tak sungguh ikut andil membina Timnas Garuda berlomba menunjukkan kontribusinya bagi tim itu.
Penghargaan kelewat besar—mirip pemanjaan—terhadap tim itu sebelum mereka jadi juara tak pada tempatnya. Malah, penghargaan yang terkesan semu itu melelahkan dan menjenuhkan mereka.
Miskinnya kebanggaan
Manusia butuh kebanggaan sebagai bagian dari harga diri. Ia dibutuhkan untuk membangun struktur diri koheren dan bermakna. Wajar, jika ketika ada kejadian yang dinilai positif berkaitan dengan diri sendiri atau kelompok, orang membanggakannya. Justru tak wajar jika ada orang atau kelompok yang tak pernah merasa bangga sebab itu artinya ada masalah harga diri dan emosional pada mereka.
Maka, wajar kebanggaan dirasakan banyak orang Indonesia setelah kemenangan-kemenangan Timnas Garuda. Namun, luapan luar bisa kebanggaan itu memunculkan pertanyaan: mengapa begitu besar dan meluas kebanggaan akan Timnas Garuda seolah-olah itu satu-satunya kebanggaan yang Indonesia punya?
Kita punya banyak hal yang bisa diduga sebagai penyebab deprivasi kebutuhan akan kebanggaan. Kurangnya prestasi di berbagai bidang, korupsi, penggelapan pajak, angka kemiskinan yang tinggi, aparat penegak hukum melecehkan hukum, politik yang mengedepankan kepentingan elite partai, konflik antaragama, transportasi tak memadai rawan kecelakaan, administrasi negara yang semrawut.
Dibandingkan dengan Malaysia, kita pun punya alasan merasa rendah diri. Malaysia menampung banyak tenaga kerja kita, menyerbu kita di ranah bisnis dengan menguasai Telkom, bank, rumah sakit, dan lain-lain. Kepemilikan aset di Indonesia oleh pihak dari negara lain yang memberi manfaat kecil bagi rakyat Indonesia juga bisa jadi faktor miskinnya kebanggaan.
Miskinnya kebanggaan menjadikan orang Indonesia haus akan kebanggaan dan selalu memimpikannya. Maka, ketika ada satu saja kejadian yang dipersepsi positif, kita membesar-besarkannya seolah Indonesia adalah bangsa yang berprestasi. Padahal kenyataannya, kita miskin prestasi, rendah diri, dan menampilkan indikasi tak menghargai bangsa sendiri.
Kebanggaan otentik adalah bagian dari karakter yang kuat. Sebagai keutamaan, kebanggaan merupakan bagian dari kepribadian yang memampukan orang menyesuaikan diri secara konstruktif dan produktif dengan dunia. Maka, pembentukan kebanggaan adalah bagian dari pembentukan karakter.
Pembentukan karakter mensyaratkan adanya teladan. Justru itu masalahnya, Indonesia kehilangan tokoh teladan. Pengelolaan Indonesia yang tak menghasilkan prestasi yang dapat dibanggakan dan figur pemimpin yang tak bisa jadi teladan malah memberi kesan kuat bahwa hidup di Indonesia memang tak membanggakan. Seolah kita hanya berhak kecewa dan menerima saja nasib sebagai bangsa yang tak punya kebanggaan.
Namun, dalam diri tiap orang, kebutuhan akan kebanggaan terus mendesak, menjadikan kita sebagai bangsa yang haus akan kebanggaan. Kehausan itu tak bisa dihilangkan dengan kebanggaan semu, juga oleh prestasi kebetulan yang mengandalkan nasib baik. Dalam jangka panjang pendidikan karakter sejalan dengan pembangunan bangsa sangat dibutuhkan. Dalam jangka pendek dibutuhkan pengendalian diri oleh semua lapisan masyarakat, terutama para pemimpin untuk tak hanya mementingkan diri sendiri dan melampiaskan kerakusannya.
Kini keberanian para pemimpin ambil risiko dalam mengupayakan kehidupan Indonesia lebih baik sangat dibutuhkan untuk menghasilkan rasa bangga kepada bangsa yang haus kebanggaan ini.
Bagus Takwin Psikolog

Opini Kompas 31 Desember 2010