30 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » Nelayan Belum Sejahtera

Nelayan Belum Sejahtera

Visi menyejahterakan nelayan semenjak orde lama mulai dikaji dengan merumuskan kebijakan UU sistem bagi hasil perikanan (UUBHP No 8 Tahun 1964). Padahal, sektor perikanan termasuk salah satu sumber ekonomi yang memberikan kontribusi besar bagi pendapatan nasional.

Namun faktanya setelah 46 tahun, efek dari UUBHP tersebut belum juga kelihatan. Jumlah nelayan miskin, menurut Prof Dr Rokhmin Dahuri, mencapai 60 persen dari total empat juta rumah tangga perikanan. Jumlah ini makin meningkat saat terjadi kenaikan harga BBM dan TDL yang membebani biaya operasi penangkapan nelayan.

Praktik bagi hasil usaha penangkapan antara pemilik modal dan nelayan ditetapkan berdasarkan status dan jabatan nelayan dalam operasi penangkapan. Akibatnya, sebagian besar nelayan yang hanya punya keahlian menarik jaring (ABK) memperoleh bagian paling kecil. Dan, itu jumlahnya sangat banyak.

Pantura Jawa
Hasil yang diterima nelayan tradisional di pantai utara Jawa ditetapkan pada pertimbangan ukuran kapal, jenis alat tangkap, jumlah anak buah kapal, serta lamanya waktu penangkapan. Misalnya, sebuah kapal purse seine yang berlayar selama 18 hari dan tangkapan utamanya adalah ikan layang (Decapterus sp), rata-rata memperoleh 11 ton per trip. Jika nilai jual ikan layang sebesar Rp 2000/kg, penerimaan nelayan hanya mencapai Rp 22 juta rupiah.

Nilai tangkapan itu selanjutnya dikurangi biaya retribusi di tempat pelelangan ikan (TPI), biaya sewa alat-alat, sewa angkut kuli, dan biaya pikul. Pengeluaran pada waktu pendaratan untuk kuli pelabuhan dan retribusi mencapai Rp 920 ribu per pendaratan. Sisa penerimaan lelang kotor kemudian dikurangi lagi dengan perbekalan awak kapal selama penangkapan, bonus nahkoda dan anak buah kapal. Sisa penerimaan lelang kotor dibagi dua antara nelayan pendega dan pemilik yang mencapai Rp 17,5 juta per trip.

Penerimaan antara pemilik dan pendega masing-masing Rp 8,7 juta (50:50). Seluruh penerimaan pendega akan dibagi lagi menjadi 25 bagian sesuai jumlah awak kapal yang melakukan penangkapan. Besaran penerimaan untuk satu bagian berjumlah Rp 351 ribu-Rp 362 ribu per orang selama 18 hari.

Menurut UUBHP No 16 Tahun 1964, pembagian hasil tangkapan perikanan laut bertujuan untuk menciptakan suatu keteraturan dan tercapainya kesetaraan pendapatan nelayan. Hasil Kajian Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB sejak 2003 pada nelayan penangkap (ABK) di Jawa Barat, tingkat penerimaan nelayan rata-rata pertahun antara Rp 5,75 juta-Rp 7,9 juta. ABK nelayan Jawa Tengah memperoleh Rp 2,5 juta- 4,2 juta per tahun dan di Jawa Timur berkisar antara Rp 1,45 juta-Rp 5,95 juta per tahun.

Jika garis batas kemiskinan nelayan ditetapkan menurut kebutuhan beras yang dikonversi menjadi penerimaan total, maka akan terlihat ketimpangan pendapatan. Nelayan buruh di Jawa Barat dengan pendapatan per bulan antara Rp 480 ribu-652 ribu per bulan, berarti termasuk kategori sangat miskin sampai miskin. Nelayan Jawa Tengah penghasilannya antara Rp 216 ribu-345 ribu per bulan termasuk kategori nelayan sangat miskin. Sedangkan, nelayan Jawa Timur (Rp 176 ribu-Rp 493 ribu per bulan) berada pada kategori sangat miskin sampai miskin.

Penerimaan yang rendah ini mendorong nelayan untuk beralih profesi, baik sementara maupun selamanya. Mereka umumnya nelayan kapal mini purse seine, nelayan purse seine, dan nelayan cantrang. Di Jawa Timur jumlahnya mencapai 20 persen, pantai utara Jawa Barat (Subang-Blanakan) sekitar 30 persen, dan Pekalongan sebesar 24 persen.

Penyebabnya antara lain disebabkan oleh a) sistem pembagian hasil tangkapan tidak menguntungkan nelayan buruh, apalagi mensejahterahkan; b) mengurangi ketergantungan kepada juragan; c) kemudahan mendapatkan hasil dari usaha sendiri; d) faktor usia; e) menurunnya produktivitas usaha; serta f) cuaca ekstrem yang membahayakan.

Minapolitan
Karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, setidaknya ada tiga langkah strategis dalam merevitalisasi nelayan agar menjadi kelompok masyarakat yang bisa hidup layak. Pertama, melalui pendekatan pengembangan sistem bisnis dalam perikanan tangkap yang melibatkan nelayan pemilik dan nelayan buruh. Pada sistem nelayan pemilik dan buruh, mereka harus membagi keuntungan dan kerugian secara bersama. Sistem kesepakatan usaha, penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), dan keadilan menjadi kata kunci.

Kedua, melalui restrukturisasi kelembagaan dan pengembangan kelompok masyarakat (pokmas). Cara ini akan mampu memberikan kesempatan yang sama bagi nelayan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Sebab, ridak sejahteranya nelayan sangat terkait dengan perkembangan kelembagaan lokal, mulai dari kelembagaan fisik, manajemen, dan sistem yang tidak berjalan secara baik. Hubungan patron-klien yang menjadi ciri khas nelayan tradisional memberikan tingkat ketergantungan usaha yang tinggi terhadap partner usaha (juragan).

Ketiga, melalui sistem pembinaan dan pendampingan usaha nelayan. Sistem manajemen pada level nelayan tidak tertata dengan baik, gaya hidup yang suka bermewah-mewahan saat hasil tangkapan melimpah harus segera di perbaiki melalui sistem yang baik dan berorientasi jangka panjang. Untuk melakukan transformasi itu, dapat diupayakan melalui pembinaan dan pendampingan restrukturisasi sosial budaya nelayan.

Ketiga program ini seharusnya menjadi pilar utama dalam program minapolitan. Untuk mencegah terjadinya urbanisasi ke kota dan alih profesi yang makin besar, maka penciptaan lapangan kerja dari kegiatan penangkapan harus tetap dilakukan. Momentum minapolitan tidak seharusnya hanya untuk budi daya, tetapi juga perikanan tangkap. Melalui Minapolitan seharusnya terjawab bahwa nelayan dilahirkan tidak untuk miskin.

Opini Republika 31 Desember 2010