Tahun 2010 tercatat sebagai tahun yang sarat dengan praktik intoleransi beragama dan berkeyakinan, baik di level nasional maupun lokal.
Beberapa kasus intoleransi yang menyita perhatian publik di tahun 2010 ini diantaranya, berulangnya kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di berbagai tempat, dan tragedi menghebohkan yang menimpa warga Gereja HKBP di Ciketing, Bekasi.
Di penghujung tahun 2010, praktik intoleransi juga terjadi terhadap warga HKBP Bethania, Rancaekek, Bandung. Sementara di tingkat lokal, praktik intoleransi terjadi berkaitan dengan rencana sekelompok massa dan pemerintah kota setempat untuk menurunkan patung (rupang) Budha di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai, Sumut.
Di lain pihak, kasus lama penganut Parmalim yang tidak bisa mendirikan rumah ibadah di jalan Air Bersih Medan, hingga kini juga masih terkatung-katung penyelesaiannya. Masalahnya kemudian apa makna di balik masih suburnya praktik intoleransi sepenjang tahun 2010?
Mengapa praktik intoleransi beragama dan berkeyakinan tetap subur padahal konstitusi republik ini justru menjamin toleransi atau kemerdekaan beragama? Beberapa catatan kritis berikut ini barangkali bisa menjawabnya.
Sesat Pikir Terhadap The Others
Pertama, suburnya intoleransi disebabkan oleh masih kukuhnya mindset sesat pikir terhadap ‘the others’ dalam kehidupan keberagamaan kita. ’The Others" atau ’yang lain’ lebih sering dilihat sebagai musuh yang harus disingkirkan, daripada sebuah realitas yang harus dirawat.
Celakanya, kalau mau jujur, sesat pikir terhadap yang lain (the others) bukan hanya monopoli tunggal satu agama mainstream mayoritas saja, sebut saja Islam, sebagaimana asumsi banyak kalangan selama ini. Mereka yang minoritaspun berpotensi berperilaku sesat pikir terhadap ’the others’.
Bahkan mindset tersebut tampaknya telah menjadi watak ’abadi’ dari semua agama/sekte mainstream. Seperti nafsu birahi, mindset ini bisa menyergap agama dan keyakinan apa saja. Ia sering kali muncul persis ketika agama mainstream menemukan ruang dan kesempatan menunjukkan dominasi atau mayoritasnya.
Niat mulia penganut Parmalim mendirikan ruma parsaktian (rumah ibadah) di tanahnya sendiri dan dihalangi bukan oleh oleh umat mayoritas Islam, tetapi justru oleh penganut Kristen (warga gereja HKBP) yang juga minoritas dan sering ’merasa’ menjadi korban diskriminasi oleh agama mainstream lainnya, menjelaskan hal tersebut. Dalam bentuk lain mindset sesat pikir terhadap the others yang lebih massif bisa kita temukan dalam persaingan dan konflik antar aliran/sekte dalam lingkungan internal satu agama/keyakinan.
Kedua, suburnya intoleransi dipicu oleh masih menguatnya mentalitas split tolerance (penyimpangan toleransi) dalam masyarakat kita. Di satu sisi umat beragama sulit membangun toleransi antara umat beragama dan keyakinan yang sejatinya merupakan pesan kuat agama/keyakinan (sufi), namun di sisi lain umat tampaknya begitu toleran dengan praktik-praktik korupsi dan manipulasi yang ada di sekitarnya yang bersifat profan.
Dalam perspektif sosiologi politik, split tolerance ini merupakan warisan dari masyarakat yang sedemikian lama hidup dalam politik hipokrisi dan politik konservatif yang mengandalkan pendekatan toleransi permisif, daripada politik substansial yang mengandalkan pendekatan toleransi kritis.
Politisasi Agama Gaya Baru
Ketiga, praktik intoleransi beragama dalam bentuk kekerasan (atas nama) agama merupakan implikasi dari warisan politisasi agama orde baru yang belum sepenuhnya sirna. Intoleransi beragama merupakan buah dari politisasi negara terhadap agama lewat penciptaan label ‘agama resmi’ (mainstream) dan ‘agama tidak resmi’ (agama rakyat) yang nyatanya terus berlangsung hingga kini.
Di masa lalu, politisasi agama dilakukan negara, berselingkuh dengan agama mainstream, secara langsung dengan melakukan politik koersif, mem-bredel aliran, sekte, dan bahkan buku-buku ‘sesat’, atas alasan bahwa yang dilarang tersebut illegal.
Sekarang politisasi agama dilakukan dengan gaya baru dalam bentuk yang lebih soft. Negara tidak lagi betindak keras secara langsung terhadap agama atau keyakinan lain yang non mainstream. Politisasi agama sekarang diperankan oleh politik sekelompok massa yang menjadi ’Hakim’ atas agama dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Sekelompok massa menggantikan negara melakukan tindak kekerasan Ironisnya, bukan melindungi dan mencegah, negara justru ’membiarkan’ praktik kekerasan oleh sekelompok massa tersebut. Malah negara terkesan membiarkan konflik yang muncul hingga berlarut-larut.
Lebih jauh lagi, politisasi agama juga bisa dilihat dari sikap pemerintah yang diskriminatif dalam merespon isu-isu agama. Pemerintahan SBY garang terhadap pendeta ngawur Terry Jones yang berencana membakar kitab suci Alquran di Texas Amerika namun loyo bersikap terhadap aksi sekelompok massa yang melakukan tindak kekerasan sebagaimana terjadi terhadap warga Ahmadiya dan jemaat HKBP di Ciketing.
Empirisme Beragama
Keempat, suburnya intoleransi beragama bisa dibaca sebagai implikasi dari masih minimnya praktik beragama (empirisme beragama). Para penganut agama masih terjebak dengan praktik beragama dogmatik sehingga mereka tidak makin cerdas memaknai semantika keagamaan, khususnya mengenai teks-teks suci yang ada.
Kebenaran masih dimaknai sekadar teks dan melupakan konteks. Hasilnya praktik keberagamaan menjadi serba kaku. Semuanya diukur dari teks yang ada. Kebenaranpun menjadi serba tekstual dan tunggal. Begitu teks kebenarannya diciderai oleh agama atau kepercayaan lain, apalagi ’agama baru’, maka tuduhan penghinaan dan penodaan agama serta merta akan menjadi palu godam menghakimi kepercayaan ‘baru’ tersebut.
Begitu kuatnya teks agama mendominasi sistem keberagamaan kita mengakibatkan konteks (bahwa manusia itu plural dan agama berbeda menjalankan keyakinannya) nyaris tidak mendapatkan tempat. Teks dibela habis-habisan lewat berbagai cara mengingkari agama sendiri yang sejak awal memberi pesan kuat terhadap konteks (keberagaman).
Dominasi pada teks atau doktrin ajaran agama (ortodoksi) membuat keberagamaan kita timpang karena mengabaikan pengalaman beragama (ortopietas) dan praksis beragama (ortopraksis). Padahal empirisme keberagamaan, yang ditopang ortopietas dan ortopraksis, sangatlah penting untuk menopang toleransi dalam keberagaman. Sebab, dalam banyak hal, sejrah mencatat bahwa toleransi di republik ini justru tumbuh berbasis pada empirisme beragama yakni praktik relasi sesama manusia, bukan pada teks-teks suci agama (ortodoksi).
Negara yang Merdeka
Toleransi atau kemerdekaan beragama dan berkeyakinan hanya bisa tumbuh bila dua prasyarat mendasar terpenuhi. Pertama, negara (baca; pemerintah) yang merdeka hadir di republik ini. Negara merdeka yang dimaksud tentu saja bukan sekedar pemerintahan yang terpilih secara demokrasi (prosedural).
Negara merdeka yang dimaksud adalah pemerintahan yang otonom untuk memerdekakan public sphere sedemikian rupa sehingga dapat digunakan semua penganut agama (baca: keyakinan) secara bebas dan damai.
Dalam konteks itu negara berperan dan berwenang mengelola ‘keteraturan beragama’, tetapi tidak berwenang mengelola ‘pengaturan beragama’. Prinsipnya, semua keyakinan agama (baik ’resmi’ maupun ’tidak resmi’, baik ’lama’ maupun ’baru’) harus diberi kebebasan untuk hidup beribadah, dan mendirikan tempat ibadah sebagai manifestasi hak asasi manusia yang paling mendasar.
Dan yang paling penting, ketika kekerasan (atas nama) agama muncul, di sana negara harus hadir menghentikan kekerasan dan melindungi korban kekerasan, sebagai bukti konkretisasi konstitusi negara.
Kedua, kehidupan keberagamaan kita semakin mampu mengintegrasikan antara teks dan konteks. Pada titik ini keberagamaan tidak cukup dengan hanya mengandalkan dialog lintas agama dan perspektif pluralisme lagi. Kehidupan beragama harus tiba pada kesadaran baru yang memerdekakan yang disebut dengan pasca-pluralisme (Mark Heim, Salvation, 1995). Yakni kesadaran bahwa ‘banyak agama (baca:keyakinan) yang benar dan masing-masing adalah satu-satunya jalan’. Masing-masing keyakinan itu harus diakui benar dalam perspektif satu sama lain. Dengan demikian kebenaran tidak bersifat singular apalagi tunggal, namun plural. Di sanalah toleransi sejati bisa diretas.
Upaya memaksakan konsep penyatu, dengan menggabungkan konsep partikular masing-masing keyakinan (termasuk mendorong negara menjadi penafsir tunggal terhadap sesat tidaknya sebuah agama dan keyakinan), adalah perilaku primitif dalam memandang keberagamaan dan berpotensi melanggengkan lumpur dosa praktik intoleran dan kekerasan (atas nama) agama.
Kita berharap tahun subur praktik intoleransi 2010 tidak berlanjut ke tahun 2011. Kita justru berharap tahun 2011 menjadi tahun rahmat yang memberi harapan baru bagi tumbuhnya toleransi di republik ini. Itu hanya mungkin bila pemerintah introspeksi diri dan semakin mengacu kepada konstitusi untuk menyelenggarakan negara.
Konstitusi harus menjadi ’kitab suci’ penyelenggaraan negara. Penyelenggara negara harus menjadikan konstitusi sebagai rujukan asas dan moral dalam membuat kebijakan. Oleh karenanya konstitusi tidak bisa dibaca sekedar sebuah buku atau dokumen. Konstitusi harus dibaca, meminjam Ronald Dworkin, sebagai sebuah moral reading (bacaan moral). Di lain pihak, umat beragama tentu saja harus berbenah meninggalkan mentalitas split tolerance. Semoga! ***
Penulis adalah: Sekretaris Eksekutif Perhimpunan BAKUMSU Medan. Koordinator Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut.
Opini Analisa Daily 31 Desember 2010