27 September 2010

» Home » Media Indonesia » Senja Kala Ideologi

Senja Kala Ideologi

BAK gayung bersambut, kelahiran Sekretariat Bersama yang disponsori Istana segera memantik aneka wacana. Muncullah berbagai gagasan dengan rupa-rupa 'brand': konfederasi, asimilasi, bahkan istilah masa lalu warisan awal era kekuasaan Soeharto, fusi. Padahal, jika disimak secara semantis, wujud berbagai 'brand' itu akan terpulang kepada makna yang sama, yakni gabungan dari beberapa komunitas sosial, politik, atau bahkan state, yang dipersatukan oleh kepentingan yang sama tanpa meninggalkan identitas komunitasnya. 
Dalam konteks belantika politik Indonesia, gejala ini sama sekali bukan barang baru. Meski dipoles dengan alasan apa pun, tujuan akhir manuver ini, sebetulnya, adalah penyederhanaan partai politik. Kita tentu tak bisa melupakan suasana politik menjelang Pemilihan Umum 1955, yang oleh sebagian besar pengamat Barat sering dinyatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis di Indonesia. Ketika itu puluhan partai politik muncul dalam seketika, begitu grasah-grusuhnya sehingga ada partai yang menggunakan tanda gambar singkong, atau tokoh wayang Semar-–padahal judul partainya Angkatan Cumunist Muda! 


Tamasya politik warisan liberalisme itu ternyata tidak berkenan di hati Soekarno. Setelah Manifesto Politik, 1959, sang 'Pemimpin Besar Revolusi' mulai secara berangsur-angsur melakukan 'penyederhanaan partai politik', dengan merujuk pada hasil Pemilihan Umum 1955. Memasuki era 'Demokrasi Terpimpin', penyederhanaan sistem kepartaian itu semakin mengkristal dalam gagasan nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) dengan Partai Nasional Indonesia sebagai representasi 'mas', Partai Nahdlatul Ulama sebagai representasi 'a’, dan Partai Komunis Indonesia sebagai representasi 'kom'. Betul, masih ada beberapa partai lain yang kehadirannya bila kita mau jujur tak lebih dari sekadar penggembira. Hasil akhir 'nasakomisasi' itu, seperti kita ketahui, adalah megabencana 1965 yang menimbulkan korban tiada terhingga. 
Soeharto, pada dasarnya, adalah 'pengikut' Soekarno yang bijaksana. Di bawah rezim Orde Baru, penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia mengambil bentuk yang paling lugas, tidak lagi tedeng aling-aling. Pada 1973, di bawah bendera fusi, hanya tinggal dua partai yang tersisa, yakni Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Untuk menampung 'aspirasi' yang berada di luar kedua partai itu, tampillah Golongan Karya yang bukan partai tapi yang kekuasaannya kelak melebih partai apa pun dalam sejarah kepartaian di republik ini. 
Di bawah semboyan 'penyederhanaan sistem kepartaian', selalu tersembunyi sebuah cita-cita pragmatis yang menisbikan eksistensi ideologi. Dengan 'nasakomisasi', Soekarno sebetulnya sedang melemahkan identitas 'ideologi' nasionalisme, agama, dan komunisme, dan menempatkannya sebagai kendaraan politik sang Proklamator dengan bendera ideologi nasakom. Almarhum Jenderal Ahmad Yani kemudian seperti 'menyempurnakan' wacana itu dengan melontarkan semboyan 'Nasakom Jiwaku', mengimbangi semboyan yang diuarkan Soekarno, 'Nasakom Bersatu'. Pada tingkat ini, identitas ideologi mengalami abstraksi yang makin menjauhkannya dari program dan agenda setiap komponen yang mencoba menggalang 'konfederasi'. 
Jika disimak dengan jernih, penyederhanaan sistem kepartaian di bawah Orde Baru hanyalah duplikasi tersamar-–tapi konkret--dari rezim sebelumnya. Setelah semua partai warisan Orde Lama difusikan menjadi hanya tiga partai, ideologi serta-merta kehilangan daya pukaunya. Sejak itu, sebetulnya, sebagaimana arahan dan 'petunjuk' sang Bapak Pembangunan, cuma ada satu ideologi resmi di Indonesia, yakni 'ideologi pembangunan'. Praktis tak ada yang berani menyangkal realitas ini, sebab ia didukung mantra sakti 'asas tunggal Pancasila'.* 
REFORMASI mengantarkan negeri ini memasuki era euforia demokrasi yang memicu bangkitnya hasrat berideologi. Puluhan partai berdiri dengan berbagai lambang, simbol, semboyan, dan janji perjuangan. Tetapi, ketika tiba seleksi alamiah melalui Pemilihan Umum 1999, hanya beberapa partai yang tinggal bertahan. Dalam konstelasi ini mulai terasa, ideologi sepertinya kembali memainkan peranannya, walaupun belum terartikulasi secara meyakinkan. Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilihan Umum 2004, misalnya, seperti membenarkan asumsi itu. 
Demi menggalang kekuatan yang masif di lembaga legislatif, partai-partai pemenang kemudian menggalang kubu koalisi untuk menguasai proses pengambilan keputusan. Tapi, tanpa dinyana, kubu yang diharapkan solid dan kedap itu kemudian terganggu oleh kasus dana talangan Bank Century, yang menyebabkan beberapa komponen Koalisi mengambil jarak dengan partai penguasa. Friksi inilah yang kemudian mendorong Istana merintis Sekretariat Bersama yang, sesungguhnya, seperti menciptakan garis frontal antara 'koalisi yang diperbarui' dan partai-partai kecil di luar kubu. 
Perdebatan di sekitar ambang batas parlemen (parliamentary threshold) membuktikan tiada lain daripada bertambah renggangnya jarak antara partai-partai yang bermain dan apa yang disebut sebagai 'ideologi kepartaian'. Di tengah polemik '2,5% versus 5%', sebagian elite politik lebih sibuk bermain angka ketimbang menawarkan gagasan yang bisa mengangkat kehidupan dan martabat umat. Angka menjadi sangat penting, melebihi apa pun, karena sang angkalah yang akan memproyeksikan 'habitat' yang bisa menampung para elite: apakah di parlemen atau langsung di lembaga eksekutif. 
Di depan mata, ideologi dilumpuhkan oleh kepentingan pragmatis yang sangat singkat. Tanpa bisa berlindung di balik lalang sebatang, kita melihat betapa sejumlah kepala daerah beralih loyalitas, dari partai yang tadinya mendukung mereka ketika mencalonkan diri sebagai kepala atau wakil kepala daerah, beralih ke 'the ruler’s party' yang jelas-jelas bakal menjanjikan ketenteraman. Pada tingkat ini, 'ideologi' sama sekali sudah keluar dari nalar politik. Ada yang menjelaskan fenomena ini sebagai rendahnya etika politik dan orientasi berlebihan terhadap kekuasaan. Tetapi, jika diingat bahwa saat ini terdapat sekitar 100 kepala daerah yang diduga terlibat persoalan hukum, termasuk korupsi, langkah 'pindah perahu' itu mungkinlah bisa dipahami. 
Jika ideologi dimaknai sebagai sistem kepercayaan praktis (a system of practical belief) yang dikembangkan dan disifati sebuah komunitas yang dipersatukan oleh ikatan politik, ekonomi, dan budaya dalam kebersamaan cita-cita, makna itu kini sudah berganti dengan permainan matematika yang merujuk kepada pembagian pangsa kekuasaan. Sasarannya juga tak lebih jauh dari Pemilihan Umum 2014, ketika perjalanan 'reformasi' menjejaki tapal yang sangat krusial, yakni memilih presiden baru ketika incumbent tak lagi mempunyai hak untuk maju. 
Proyeksi ini, sebetulnya, lumayan mengkhawatirkan. Masa sekitar empat tahun menjelang pemilihan umum yang akan datang merupakan masa yang singkat untuk menegosiasikan, apalagi menggalang kekuatan politik yang saling berimbang. Dengan berbagai problem ekonomi dan lingkungan hidup yang sedang merasuk secara mondial, sukar dibayangkan kontrak-kontrak politik yang bersifat kefusian bisa tercapai dalam waktu yang diidam-idamkan. Ideologi sebenarnya hal yang sangat mendasar, tapi saat ini seakan-akan memang telah kehilangan pesonanya. Ibarat daur hari, ideologi sedang merayap di ambang senja kalanya. Tapi, paling tidak, tak ada salahnya para elit politik berkonsentrasi menyusun program konkret yang bisa menyelamatkan umat dan bangsa ini dari ancaman kelam malam panjang. 

Oleh MS Kaban, Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Opini Media Indonesia 28 September 2010