27 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Destigmatisasi Dampak Negatif Rokok

Destigmatisasi Dampak Negatif Rokok

Bisa jadi stigma rokok sebagai barang berbahaya sebagai strategi multinational corporation (MNC) mencaplok industri lokal yang ancang-ancang pindah haluan usaha

PROFESOR Dr Sutiman B Sumitro berhasil menemukan formula pemusnah radikal bebas dalam asap rokok sebelum akhirnya menjadi mesin pembunuh kanker, bisa menyembuhkan penyakit jantung, menghalau migrain, membuat sehat paru-paru, menjadikan udara bersih karena ramah lingkungan, tidak berbau dan  40 manfaat lain yang sudah diuji secara klinis lewat penelitian sangat panjang.


Teknik eliminasi radikal bebas membuat partikel asap rokok berbentuk polimer, yang justru berdampak menyehatkan tubuh. Profesor biologi sel Universitas Brawijaya Malang itu menyebutkan formulasi temuannya setidaknya memberi jalan keluar dari stigmatisasi rokok sebagai barang berbahaya (SM, 20/09/10).

Terkuak sekarang bahwa komponen asap rokok tidak pernah berdiri sendiri. Benzapyren, phenathren, nikotin, radikal bebas, dan puluhan ribu komponen lainnya, berkelompok membentuk polimer atau partikel skala nanometer. Partikel ini sebetulnya memengaruhi tubuh manusia secara berbeda dibanding bahan kimia penyusun partikel itu sendiri. Puluhan ribu partikel itu menghadirkan efek berbahaya jika mengenai tubuh secara sendiri-sendiri. Tetapi jika berbentuk polimer, efeknya jauh berbeda, bahkan menyehatkan.

Rokok, terutama kretek, memiliki sejarah panjang, melibatkan jutaan petani tembakau, buruh linting, cukai, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, dan sebagainya. Isu bahwa rokok sangat berbahaya, sepertinya dihembuskan menggunakan data peneliti asing karena di Indonesia sendiri riset valid dan komprehensif  tentang rokok, khususnya rokok kretek, hampir tidak ada. Kalaupun ada merupakan data yang diperoleh dari rumah sakit dan bukan dari hasil survei yang melibatkan ribuan orang dengan sebaran sesuai distribusi perokok di Indonesia.

Isu rokok membahayakan dan fatwa haram yang menyertai stigmatisasi rokok sangat tidak bijaksana, terutama ketika kita sendiri belum secara mandiri dengan data yang valid melakukan inovasi melalui penelitian ilmiah serius. Tidak masalah jika isu soal ini terjadi di Singapura atau Australia karena mereka tidak memiliki areal pertanian tembakau, tidak punya pabrik rokok, tidak melibatkan jutaan buruh rokok, dan tidak ada ketergantungan negara dari cukai.
Tanpa Survei Sungguh mengherankan industri rokok yang memiliki aset triliunan rupiah tidak berusaha mengembangkan kegiatan riset kretek agar lebih menyehatkan dan berdampak ekonomis jangka panjang, terutama buat jutaan buruh dan petani. Sejauh ini, media cetak dan elektronik, kalangan pendidikan, pemda dan dunia olahraga, adalah beberapa pihak yang paling menikmati iklan, cukai dan ongkos CSR industri rokok. Adapun kegiatan riset secara serius untuk memecahkan problematika rokok kretek belum ada.

Faktanya adalah, pertama; penelitian dampak buruk rokok kretek terhadap kesehatan belum ada. Jika di Indonesia belum ada praktis, di luar negeri pun tidak ada. Kedua; rokok kretek diidentikkan sigaret dengan tembakau putih seperti rokok di luar negeri. Selama ini data yang diambil menghubungkan orang sakit dengan rokok, misalnya sakit tb paru karena rokok.

Ini seringkali diperoleh tanpa survei menyeluruh dalam populasi yang besar sehingga hasilnya pun berbeda. Ketiga; dari analisis asap ditemukan 11 ribu  komponen, separonya berhasil diidentifikasi sebagai komponen yang menyebabkan penyakit sebelum akhirnya menjelma menjadi stigma buruk bahwa rokok membahayakan kesehatan.

Akar masalah bangsa ini adalah ketidakberdayaan mengambil keputusan dan bersikap. Tidak ada orang yang memperjuangkan kepentingan bangsa dalam perspektif menyeluruh dan fokus pada akar masalah keberdayaan sebagai bangsa. Tidak ada lagi ide kecuali menganggap rokok, termasuk kretek, adalah racun berbahaya.

Bisa jadi stigma rokok sebagai barang berbahaya sebagai strategi multinational corporation (MNC) mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah haluan usaha. Sampoerna sudah dilepas ke Phillip Morris dan Bentoel pindah tangan ke BAT, sementara PT Gudang Garam sudah mulai memperkuat sektor bisnis energi. Kontroversi anti dan prorokok dijadikan alat strategis jangka pendek bisnis mereka agar dapat menguasai industri rokok lokal. (10)

— Petrus Widijantoro, Pemimpin Redaksi Majalah Psikologi Plus
Wacana Suara MErdeka 27 September 2010