27 September 2010

» Home » Republika » Kasus HKBP Lawan UU Pers

Kasus HKBP Lawan UU Pers

S. Sinansari ecip
Mantan wartawan

Apa kaitan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers dengan Cikeas? Cikeas adalah istilah masyarakat setempat, singkatan Ciketing Asem, tempat keributan HKBP di Bekasi, bukan tempat yang lain. Begitu bulan Ramadhan usai, meletuslah kasus Cikeas ini. Media massa dengan cepat melahapnya tanpa kewaspadaan memperhatikan rambu-rambu jurnalisme yang ada dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Media yang baik, surat kabar, radio, televisi, dan pemberitaan internet dalam kaitan kemasan jurnalisme patuh pada aturan-aturan yang penting. Satu di antaranya adalah akurasi. Apa yang diberitakan haruslah akurat, jangan tidak jelas. Tiap wartawan yang memperoleh informasi awal harus tidak percaya dan ragu-ragu. Karena tidak percaya itu, wartawan mendatangi tempat kejadian, menyaksikan, dan mewawancarai saksi-saksi yang berwenang. Istilah untuk itu adalah check and recheck ataupun crosscheck.

Jika media massa menjalankan tatanan jurnalisme dengan benar, tidak terjadi pemberitaan yang tidak berimbang. Peristiwa yang akan diberitakan harus mengandung nilai berita (news values) besar dan menarik. Kasus Cikeas sebetulnya kecil, tetapi dibesarkan oleh media dengan kurang proporsional, alias tidak berimbang. Pembesarannya boleh jadi karena terprovokasi oleh sumber berita tertentu hingga media hanya meliput dari satu sisi (cover one side). Jika ada dua pihak yang terlibat konflik, kedua pihak harus diliput (cover both sides). Bila liputan hanya dari satu pihak, berita yang lahir menjadi timpang, istilahnya tidak objektif, alias tidak netral. Istilah untuk itu yang lebih populer adalah media berpihak karena ada kepentingannya. Mungkin ada media yang tidak sengaja berpihak, tetapi tidak jarang media sengaja berpihak.

Sebaik-baik media massa haruslah tidak memihak, terutama media elektronik yang menggunakan frekuensi radio milik publik (milik kita bersama). Jumlah frekuensi radio siaran sementara ini terbatas. Karena itu, penggunaannya harus berizin. Radio dan televisi tidak boleh seenaknya menggunakan atau memanfaatkan frekuensi yang dipinjamnya (disewa dari negara) untuk kepentingannya sendiri. Kepentingan tersebut bisa menyangkut ekonomi (mencari untung sebesar-besarnya dari iklan) atau kepentingan politik (kampanye pemilu). Media cetak yang baik juga harus berimbang agar diakui sebagai media yang netral meski tidak menggunakan sejenis frekuensi milik bersama. Media cetak tertentu memang bisa memihak, misalnya, yang diterbitkan oleh parpol.

Sedihnya, dalam kaitan peliputan kasus Cikeas di atas, kematangan ditinggalkan media karena memburu kecepatan berita hingga ketepatan ditinggalkan. Kejadian yang diliput dengan tidak berimbang menimbulkan kerugian di pihak lain, dalam hal ini umat Islam. Apakah benar kalangan Islam yang bersalah? Apakah mungkin anak-anak muda yang jumlahnya 10 orang tanpa pikir panjang menyerang kelompok lain yang jumlahnya lebih belasan kalinya? Siapa yang bisa serta-merta membenarkan logika ini? Bagaimana pula akar persoalannya? Sudah tertinggal zaman jika media hanya mengandalkan pencarian kulit durian tanpa mendapatkan daging duriannya.

Belum lagi adanya lontaran komentar-komentar beberapa tokoh yang sebenarnya belum tahu duduk perkara yang sebenarnya. Komentar-komentar tersebut memperkeruh suasana dan membentuk opini cenderung mengarah ke kiblat lain yang kurang benar.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mencermati kasus Cikeas dengan tenang. MUI membentuk tim untuk mempelajarinya dengan lebih mendalam. Laporan-laporan masuk dan tim mendatangi kejadian. Dicari saksi-saksi dan bukti-bukti.

Hak Jawab dan Hak Koreksi

Dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, masyarakat atau lembaga yang menghadapi media massa mempunyai Hak Jawab dan Hak Koreksi (UU Pers: Psl 5 Ayat 2 dan Ayat 3, Kode Etik Jurnalistik Pasal 11). Manakala seseorang dirugikan oleh pemberitaan media, dia bisa memperbaikinya dengan menggunakan hak Jawab itu. Media atau wartawan wajib melayani hak jawab, jika tidak, akan didenda maksimal Rp 500 juta. Bagi media-media yang kaya, bayar Rp 500 juta itu kecil, tetapi akan malu diumumkan sebagai terhukum karena pelanggaran jurnalisme, baik undang-undang maupun kode etiknya.

Hak koreksi diberikan oleh UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik kepada masyarakat. Jika masyarakat mengetahui kesalahan pelaksanaan jurnalisme di dalam media, mereka boleh dan bisa mengoreksi media tersebut. Media dan wartawannya wajib melayani hak koreksi.

Memahami itu, maka MUI Pusat mengadakan jumpa pers tanggal 23 September 2010. Dengan demikian, MUI sebagai satu wadah terpenting umat Islam, menggunakan hak jawab dan hak koreksinya sekaligus secara terbuka. Maka dibeberkan, bagaimana sebenarnya yang terjadi di Cikeas itu. Masyarakat banyak yang tidak tahu bahwa permintaan izin mendirikan rumah ibadah baru diajukan tahun 2009. Masyarakat diberi tahu bahwa permohonan izin tersebut dilengkapi foto-foto kopi KTP, tetapi diduga mencurigakan keasliannya. Dibukakan siapa yang melakukan provokasi? Siapa memprovokasi siapa. Umat Islam selama Ramadhan diminta oleh penguasa setempat untuk tidak melayani provokasi pihak lain dan itu dipatuhi. Tetapi kemudian pihak lain, bak balap sepeda motor, menyalip di tikungan.

Media dan masyarakat harus sama-sama sadar bahwa ada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Tanpa tatanan normatif tersebut, maka suasananya seperti hidup di belantara, yang kuat makan yang lemah. Yang besar dalam jumlah belum tentu kuat dalam kekuasaan. Kebebasan mayoritas dibatasi oleh kebebasan minoritas, begitu pula sebaliknya. Untuk mendirikan masjid tidak jauh dari menara kembar yang diterjang pesawat di New York, harus mematuhi aturan-aturan setempat. Itu di Amerika Serikat yang konon dianggap paling demokratis dan bebas, apalagi di Indonesia.
Opini Republika 27 September 2010