27 September 2010

» Home » Kompas » "Reshuffle"

"Reshuffle"

Menjelang bulan Oktober, istilah ”reshuffle” (perombakan kabinet) santer dibicarakan. Ada menteri yang rajin menyampaikan keberhasilannya, ada yang menyatakan tidak khawatir karena jabatan bisa datang dan pergi, ada pula yang mengandalkan partainya untuk bersuara.

Bisa jadi para menteri yang kerap menjadi sorotan masyarakat, apalagi yang mendapat nilai merah dari Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, bulan Oktober adalah bulan ketidakpastian.


Tiga alasan

Tujuan reshuffle adalah untuk meningkatkan kinerja kabinet, bahkan mempertahankan suatu pemerintahan (administration) untuk menyelesaikan masa jabatannya (term of office).

Merujuk pada pengalaman di sejumlah negara, ada paling tidak tiga alasan potensial untuk melakukan reshuffle di luar kompetensi pribadi dari mereka yang ditunjuk sebagai menteri.

Pertama, dalam sistem parlementer, reshuffle dilakukan untuk mengakomodasi keseimbangan baru dari partai-partai yang mendukung partai penguasa di parlemen. Meski Indonesia secara konstitusional tidak menganut sistem parlementer, dalam kenyataan, mengingat banyaknya jumlah partai, tidak dapat dihindari reshuffle yang didasarkan pada alasan ini. Menteri berpotensi diganti bukan karena kinerja buruknya.

Kedua, reshuffle didorong pada kepuasan publik atas kinerja pemerintah. Kepala pemerintahan akan melakukan reshuffle apabila publik tidak mengapresiasi kinerja sejumlah menterinya.

Pergantian dilakukan agar kekecewaan publik tidak berimbas pada legitimasi pemerintahan secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, terkadang publik sangat kejam karena memiliki daya ingat yang pendek (short memory). Kinerja positif dari seorang menteri selama jangka waktu tertentu atau kredensial yang luar biasa sebelum menjabat menteri bisa berbalik di mata publik karena satu peristiwa. Satu peristiwa tersebut adalah peristiwa yang mendapat sorotan publik dan terjadi menjelang evaluasi kinerja kabinet.

Ketiga, reshuffle tidak terhindarkan apabila kepala pemerintahan menganggap menteri yang ditunjuk justru kerap memunculkan kontroversi di masyarakat, mulai dari kebijakan yang dibuat hingga isu pribadi yang menerpa sang menteri.

Kontroversi akan menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan di masyarakat. Pada gilirannya, kontroversi mengharuskan kepala pemerintahan untuk turun tangan menyelesaikannya. Kepala pemerintahan di sini justru menjadi tidak terbantu atas kehadiran menterinya, melainkan terbebani.

Tidak mudah

Bagi seorang kepala pemerintahan, saat akan melakukan reshuffle tentu tidaklah mudah. Berbagai pertimbangan akan menjadi acuan, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif.
Di sini kepala pemerintahan harus berhitung dari berbagai aspek. Mulai dari kompetensi pembantunya, mengakomodasi keseimbangan kekuatan, pengaruh ketidakpuasan publik atas kinerja kabinet, hingga seberapa terbantu kepala pemerintahan oleh para menterinya. Namun, keputusan akan menjadi mudah apabila ada ketegasan, adanya fakta yang solid untuk evaluasi, apa pun keputusan didukung oleh partainya dan, terpenting, alasan awal seseorang bersedia menjadi kepala pemerintahan.

Untuk hal terakhir, tentu akan banyak alasan seseorang berkeinginan menjadi pemimpin tertinggi di suatu negara. Dari sejumlah alasan, ada satu yang harus selalu dicamkan oleh siapa pun yang mendapat amanah sebagai kepala pemerintahan, yaitu mereka bekerja sesuai dengan kehendak rakyat. Sejatinya, demokrasi memang bertumpu pada apa yang menjadi kehendak rakyat yang tidak dimanipulasi. Bukan apa yang menjadi kehendak pribadi pemimpin, kelompok, atau golongannya.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Opini Kompas 27 September 2010