27 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Persis & Persoalan Bangsa

Persis & Persoalan Bangsa

Oleh Yadin Burhanudin
Umat Islam sebagai komunitas mayoritas di Indonesia, belum mampu berperan sebagai penyelesai masalah bangsa. Alih-alih menjadi penyelesai masa- lah, posisi umat Islam malah justru menjadi bagian dari masalah. Sebagai contoh, kemiskinan di Indonesia yang masih didominasi oleh umat Islam. Masalah lainnya, seperti dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, adalah kebodohan dan realitas negatif lainnya yang kini tengah dihadapi umat Islam di Indonesia. Munculnya kasus-kasus negatif seperti korupsi, terorisme, tindakan asusila, dan sebagainya justru datang dari kalangan umat Islam sendiri.

Dalam masalah kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan pada Maret 2010 mencapai angka 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,33 persen dari total penduduk Indonesia (Menkokesra.go.id). Jumlah tersebut bisa dipastikan sebagian besar adalah umat Islam. Angka tersebut ada kecenderungan akan terus meningkat, mengingat kesenjangan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat semakin melebar.
Kemiskinan bukan masalah sederhana. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan kurangnya akses ke pelayanan publik. Kemiskinan juga menyebabkan kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan secara terbatas.
Kemiskinan merupakan persoalan yang mahakompleks dan kronis. Oleh karena itu, cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, termasuk umat Islam sebagai komponen terbesar dari penduduk Indonesia.
Tanggung jawab Persis
Persatuan Islam (Persis) sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam di tanah air, jelas memiliki tanggung jawab dalam membantu menyelesaikan masalah bangsa. Terlebih, Persis merupakan organisasi massa Islam terbesar ketiga di Indonesia, setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Secara historis, kehadiran Persis di tengah-tengah masyarakat banyak memberikan andil bagi kemajuan dan kelangsungan bangsa ini. Sejak didirikan pada 12 September 1923 di Bandung, Persis memosisisikan diri sebagai organisasi gerakan pembaru (haraqah tajdid), yang bertujuan membersihkan umat Islam dari penyakit bangsa, yakni takhayul, bid’ah, dan churafat. Seperti ditulis Dadam Wildan Anas dalam bukunya, Pasang Surut Gerakan Pembaharu Islam di Indonesia (2000), Persis lahir untuk menghadirkan Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah. Islam yang memberi pencerahan dan rahmat kepada umatnya. Melalui dakwah dan pendidikan, Persis telah memberikan kontribusi penting dalam meluruskan pemahaman umat yang keliru terhadap ajaran agamanya. Persis telah mengambil peran strategis dalam memurnikan akidah umat (ishlahul aqidah) dan meluruskan ibadah umat (ishlahul ibadah).
Sejumlah tokoh Persis, seperti A. Hassan, Muhammad Natsir, K.H. Isa Anshary, K.H. Rusyad Nurdin, K.H. E. Abdurrahman, hingga K.H. A Latief Muchtar, dan K.H. Shidiq Amien, memiliki peran yang cukup besar dalam membangun bangsa ini. Mereka merupakan pelopor pada zamannya masing-masing dalam membentuk karakter bangsa, terutama menegakkan nilai-nilai Alquran dan Sunnah di tengah-tengah umat.
Sifat keorganisasian yang melekat pada Persis: keagamaan, pembaru, puritan, bukan berati Persis tidak memikirkan persoalan lain, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial. Semua itu menjadi bagian dari ranah jihad Persis selama ini. Hadirnya ratusan sekolah/pesantren, lembaga keuangan, dan lembaga sosial di bawah naungan Persis menunjukkan Persis memiliki perhatian tinggi dalam bidang-bidang tersebut. Persis memandang peran dan keberadaannya dalam konteks setiap masalah secara menyeluruh sebagai bagian dari tanggung jawabnya.
Namun, jika saat ini Persis kelihatan belum mampu menghadirkan kembali peran kepeloporannya dalam kehidupan berbangsa seperti yang terjadi pada masa lalu, hal itu dikarenakan keterbatasan perannya sekaligus pengaruh dari berbagai segi, yang berkembang sangat cepat di tengah masyarakat.
Secara umum, ada dua masalah yang dihadapi Persis dalam menghadapi tantangan zaman. Pertama, keterbatasan sumber daya dan sumber dana, serta profesionalitas kepemimpinan dan lemahnya pengaderan. Kedua, minimnya respons sosial yang kritis dan lemahnya gerakan aktual untuk menjawab masalah.
Menyaksikan realitas kehidupan umat Islam saat ini yang penuh dengan beragam masalah, Persis ditantang untuk menghadapi kondisi tersebut. Dapatkah organisasi ini survive serta mampu merespons dinamika dan perubahan yang terjadi, atau sebaliknya tenggelam ditelan gelombang kemajuan dan modernisasi?
Tak bisa dihindari, jika ingin tetap bertahan dan mampu menjawab persoalan bangsa, Persis harus melakukan perubahan dan adaptasi tinggi. Pertama, memperkokoh jamiah dengan sumber daya manusia yang tangguh dan profesional, serta konsisten dalam menjalankan nilai-nilai ajaran Alquran dan Sunnah. Konsistensi menjalankan Alquran dan Sunnah mencakup dalam segala bidang, tidak hanya dari sisi ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, konsistensi menjalankan Alquran dan Sunnah tidak hanya dari perkataan (di atas mimbar), tetapi juga dalam tindak dan perbuatan.
Kedua, memperkuat partisipasi publik dalam merespons persoalan kebangsaan dan keumatan, termasuk harus tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Sunnah. Jangan sampai, peran-peran tersebut diambil alih oleh lembaga atau kelompok kritis lainnya, yang semakin menarik simpati masyarakat.
Perhelatan Muktamar ke-14 Persis beserta otonomnya pada 25-27 September 2010 ini merupakan momentum bagi pengurus Persis, untuk melakukan perubahan dan adaptasi tinggi terhadap persoalan yang dihadapi bangsa ini. Persis ke depan harus mampu berperan sebagai the leader of change, untuk memimpin perubahan bersama segenap elemen umat Islam lainnya. Wallahu a’lam bis shawwab.***
Penulis, Staf pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI) Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 27 September 2010