27 September 2010

» Home » Lampung Post » Sebelum Prahara Politik Tiba

Sebelum Prahara Politik Tiba

Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermewstic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
Prahara politik bukan mustahil akan datang jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak cepat memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung Hendarman Supandji dan menunjuk Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 104/P/2010 yang ditandatangani pada Jumat lalu (24-9). Keppres tersebut juga mengakhiri polemik di antara para ahli hukum tata negara mengenai sampai kapan masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji akan berakhir.


Dalam putusannya atas pengujian Pasal 22 Ayat (1) huruf d UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diajukan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, pada Rabu 22 September 2010, Mahkamah Agung (MK) menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama dengan masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Putusan MK ini tidak dapat digugat karena memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak dibacakan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif). Ini berarti sejak pukul 14.35 pada Rabu siang itu (22-9) Hendarman Supandji tidak lagi sah sebagai Jaksa Agung.
Terbelah
Namun, para ahli hukum tata negara ternyata terbelah dua. Kubu pertama, dari Universitas Gadjah Mada, yang diwakili pengajar hukum tata negara Mohammad Fajrul Falaakh (Kompas, [24-9]), pengajar hukum pidana FH-UGM Eddy O.S. Hiariej (Kompas, [25-9]), dan juga pengajar hukum tata negara FH-UGM merangkap Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi Denny Indrayana (Seputar Indonesia, [25-9]) berpandangan bahwa masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji baru akan berakhir sesuai dengan masa jabatan kabinet, yakni pada Oktober 2014.
Kubu kedua yang diwakili antara lain oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. (Seputar Indonesia, [25-9]), guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Prof. Dr. Saldi Isra, pengamat dan praktisi hukum tata negara Refly Harun (Kompas, [25-9]), memandang bahwa masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji berakhir setelah amar putusan MK dibacakan. Alasannya, Jaksa Agung Hendarman Supandji diangkat oleh Presiden Yudhoyono pada 7 Mei 2007 menggantikan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (Oktober 2004—Oktober 2009).
Presiden Yudhoyono benar-benar lolos dari lubang jarum prahara politik karena di kalangan politisi di Senayan sudah ada suara-suara yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) akan mengajukan hak interpelasi yang akan berlanjut dengan hak menyatakan pendapat jika Presiden Yudhoyono mengabaikan keputusan MK tersebut. Kita semua mafhum, jika itu benar-benar terjadi, meskipun kecil kemungkinannya, dapat saja itu berlanjut dengan pemakzulan (impeachment) karena Presiden dianggap melanggar undang-undang dan konstitusi negara.
Drama keputusan MK tersebut sebenarnya belum berakhir. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi tidak dapat bercuci tangan seolah-olah Keppres pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji dan penunjukan Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung merupakan wujud dari penghormatan Presiden Yudhoyono atas amar putusan MK.
Jika kita menengok ke belakang sejak putusan MK dibacakan, betapa dua orang dekat Presiden ini ngotot bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji masih legal dan ada atau tidak adanya putusan MK, Presiden Yudhoyono pasti akan mengganti Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kalimat-kalimat yang mereka gunakan seolah-olah mengabaikan keputusan MK tersebut dan baru pada Jumat (24-9) nada pernyataan Sudi Silalahi dan Denny Indrayana baik intonasi maupun substansinya berubah dengan menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menghormati putusan MK, karena itu keluarlah Keppres No. 104/P/2010 pada 24 September itu.
Di sini tampak jelas betapa "keangkuhan kekuasaan" yang ditunjukkan Sudi Silalahi dan Denny Indrayana akhirnya luluh karena mereka melihat kenyataan betapa tidak sedikit pakar hukum tata negara yang sepandangan dengan Ketua MK Mahfud M.D. bahwa masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji berakhir setelah Ketua MK selesai membacakan amar putusan MK. Persoalan hukumnya telah selesai dan berganti dengan ranah politik yang membuka peluang akan dilakukannya hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Jika itu terjadi, bukan mustahil prahara politik akan datang menghadang Presiden Yudhoyono.
Lamban
Kita juga bertanya-tanya mengapa begitu lamban Presiden Yudhoyono menyikapi putusan MK. Apakah benar untuk membuat Keppres tersebut dibutuhkan satu setengah hari untuk mempelajari putusan MK terlebih dahulu? Apakah masih kurang orang di lingkungan Sekretariat Negara yang paham atau ahli mengenai hukum tata negara. Sadarkah orang-orang di lingkungan istana bahwa putusan MK bukan sekadar putusan hukum semata, melainkan juga mengandung urusan ketatanegaraan dan sistem politik yang kita anut?
Penulis sepakat dengan pandangan Ketua MK Mahfud M.D. yang menyatakan mengapa setelah putusan MK dibuat terjadi kegaduhan, padahal untuk menyikapinya amatlah mudah dan sederhana, yakni Presiden tinggal membuat Keppres pemberhentian Jaksa Agung lama dan pengangkatan Jaksa Agung baru yang orangnya bisa saja sama, Hendarman Supandji, atau orang lain baik dari internal ataukah eksternal Kejaksaan Agung.
Jika benar komentar Denny Indrayana bahwa ada atau tidak ada putusan MK, Presiden Yudhoyono akan mengganti Jaksa Agung, itu berarti persoalan ini sudah lama berkembang di kalangan istana. Pertanyaannya, lalu mengapa untuk menggantinya harus dibutuhkan waktu yang begitu lama, sampai-sampai kita tidak memiliki Jaksa Agung mulai Rabu siang 22 September 2010 sampai Jumat 24 September 2010? Di usia republik yang sudah 65 tahun ini mengapa urusan pergantian pejabat tinggi negara semakin rumit dan amburadul, ibarat Indonesia seperti negeri "Acakadut"! Begitu rumitkah mencari seorang Jaksa Agung dari 10 ribu jaksa yang ada di Indonesia dan tidak sedikit ahli hukum yang kapabel dan respektabel yang berasal dari luar Kejaksaan Agung?
Di sini tampak jelas betapa posisi Jaksa Agung bukan lagi soal penunjukan atau pengangkatan orang yang akan menjadi nakhoda yang baik di Kejaksaan Agung, melainkan sudah berbaur dengan kepentingan politik penguasa, baik yang terkait dengan citra politik maupun yang terkait dengan masa depan nasib politik penguasa.
Jika Presiden Yudhoyono semakin memperlambat pengangkatan Jaksa Agung definitif yang baru, kita juga semakin bertanya, politik penegakan hukum apa lagi yang akan dijalankan pemerintah saat ini. Benarkah Presiden Yudhoyono begitu peduli pada penegakan hukum di negeri ini? Presiden Yudhoyono untuk sementara waktu memang lolos dari lubang jarum prahara politik, tetapi lambannya ia dalam mengambil keputusan akan menimbulkan prahara hukum dan politik di negeri ini.
Opini Lampung Post 28 September 2010