27 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Reformasi Agraria untuk Petani Gurem

Reformasi Agraria untuk Petani Gurem

PETANI gurem identik dengan petani berlahan sempit dengan kepemilikan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektare. Mereka, termasuk sebagian dari mereka di Jawa Tengah, sulit memperoleh pendapatan usaha tani tinggi mengingat identik dengan kemiskinan. Jumlah mereka sepertinya terus bertambah dari waktu ke waktu. Pertanda apakah ini?  

Mari kita lihat beberapa kecenderungan ini. Hasil Sensus Pertanian 2003, memperlihatkan kenyataan tentang petani gurem di negeri ini. Petani gurem pada 1993 berjumlah 10,8 juta keluarga KK. Mereka merupakan 52,7 % dari total rumah tangga petani. Tahun 2003 jumlah ini menjadi 13,7 juta keluarga 56,5 %. Dari seluruh rumah tangga petani, sekitar 70% merupakan petani padi dan palawija.


Data BPS (2010) memperlihatkan pula bahwa penduduk miskin di Indonesia 31,02 juta orang, dan 64,23% dari jumlah tersebut atau 19,93 juta orang merupakan penduduk miskin yang tinggal di desa. Sekarang kita bisa menyimpulkan bahwa penduduk desa yang miskin kebanyakan petani gurem, terutama petani padi dan palawija, yang ikut berjasa menghasilkan pangan bagi seluruh penduduk negeri ini. 

Rata-rata luasan usaha tani gurem juga terus mengecil dari 0,26 hektare pada 1983 menjadi 0,17 hektare pada 1993. Luas lahan usaha tani ini bisa terus mengecil karena fragmentasi kepemilikan atau penguasaan lahan pertanian melalui pewarisan, hibah, jual beli dan lain-lain. Pada saat yang bersamaan, fragementasi fisik lahan pertanian karena alih fungsi untuk kegiatan nonpertanian juga meningkat sangat deras. Alih fungsi lahan pertanian terutama pada lahan-lahan subur membuat investasi besar pada pembangunan irigasi menjadi sia-sia. 

Data BPN (1996) memperlihatkan bahwa  indeks fragementasi kepemilikan/penguasaan lahan rata-rata 2,14 dan indeks fragementasi tanah rata-rata 3,93. Artinya pada setiap 1 hektare lahan pertanian terdapat 4 persil tanah dan setiap hektare lahan rata-rata dimiliki oleh 2-3 orang berbeda. Kondisi seperti ini membuat usaha tani menjadi tidak efisien. Fenomena economic of scale baru terjadi manakala usaha tani beroperasi pada skala kepemilikan atau penguasaan lahan lebih dari 1 hektare (Siswono Yudo Husodo: Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pertanian dalam buku Menuju Keadilan Agraria, 2002).

Dengan kata lain makin kecil luas lahan semakin tidak ekonomis kegiatan usaha tani yang dikerjakan petani. Korelasi yang bisa kita lihat adalah bahwa petani padi berlahan sempit akan sulit memperoleh manfaat ekonomi yang optimal dari kebijakan subsidi pupuk. Petani berlahan sempit tidak akan mengadopsi input teknologi usaha tani yang makin tinggi biayanya karena tidak sebanding dengan output produksi padi.

Keterpurukan Hidup

Para petani gurem, termasuk di Jateng, hanya bertahan di desa pada masa tanam dan panen dan selama masa menunggu yang disebut gestation period,  petani pria pergi ke kota untuk menjadi tukang ojek, tukang sayur, tukang becak, kuli bangunan, dan lain-lain. Pada masa ini desa sepi dengan kaum pria dan hanya meninggalkan kaum wanita yang menyiangi tanaman padi.

Kegiatan off farm ini yang menyelamatkan kehidupan petani gurem meski ini hanya merupakan sebuah tindakan darurat untuk bertahan hidup. 
Persoalannya  adalah apakah 13,7 juta rumah tangga petani gurem ini akan dibiarkan begitu saja? Sebab berbagai program pembangunan pertanian yang diintroduksi pemerintah sepertinya tak mampu membebaskan mereka dari keterpurukan hidup yang berkelanjutan. Sungguh sebuah ironi yang berkepanjangan. 

Karena itu, diperlukan komitmen dan kebijakan yang memihak dan dilakukan secara total untuk mengangkat derajat hidup kaum tani kecil ini. Suatu reformasi agraria dibutuhkan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan serta mencegah fragmentasi kepemilikan dan fragementasi fisik lahan.

Investasi, teknologi, dan pendidikan bagi petani sangat dibutuhkan guna mendukung peningkatan produktivitas pertanian. Industrialisasi pedesaan melalui agroindustri sangat dibutuhkan untuk mengolah hasil pertanian dan membuka lapangan kerja bagi kaum tani terutama mereka yang berkategori gurem. (10)

— Ir Norbertus Kaleka, alumnus Fakultas Pertanian UGM, wiraswasta, tinggal di Solo
Opini Suara Merdeka 27 September 2010