27 September 2010

» Home » Kompas » Mengelola Perubahan Ekonomi

Mengelola Perubahan Ekonomi

Entah disadari atau tidak, dalam tiga dekade terakhir telah terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, baik pada level global maupun domestik. Indonesia juga bukan merupakan perkecualian, di mana perubahan ekonomi pada level makro, mezzo (menengah), dan mikro terjadi secara dramatis, baik karena menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia maupun kesadaran internal untuk mendesain perubahan.
Liberalisasi ekonomi, perkembangan teknologi dan informasi, modernisasi moda transportasi, kompleksitas institusi keuangan, dan tuntutan konsumen merupakan bagian dari pemicu perubahan ekonomi tersebut.
Sampai di sini terdapat fakta yang mencemaskan di negara ini, ketika modernisasi dan perubahan ekonomi telah berjalan begitu masif, mengapa persoalan-persoalan ”tradisional” masih saja terus berlangsung?
Harga pangan yang ruwet, penanganan tabung gas yang lamban, dan pembebasan lahan yang rumit merupakan contoh masalah-masalah ”primitif” yang tidak kunjung teratasi.


Tiga lapis perubahan
Lompatan perubahan ekonomi pada lapis makro dimulai pada dekade 1980-an, tepatnya pada 1983 dan 1988, ketika sektor keuangan dideregulasi cukup dalam. Perkembangan sektor perbankan dan pasar modal menjadi penanda penting dari hasil deregulasi tersebut sehingga hidup mati kegiatan ekonomi dan perilaku rumah tangga tidak lepas dari perkembangan sektor keuangan tersebut.
Deregulasi dan liberalisasi itu disusul sektor riil dan perdagangan saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka PMA yang memberikan keleluasaan kepada pelaku ekonomi asing untuk menerobos sudut-sudut perekonomian nasional.
Peraturan itu dirancang untuk menjawab kebutuhan investasi yang sangat besar (demi menafkahi tujuan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja), sementara modal dan pelaku ekonomi domestik dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai.
Lapis kedua terjadi pada level mezzo, yakni mendesain manajemen pembangunan ekonomi (politik) yang mulai didesentralisasi, yang kemudian dikenal dengan istilah otonomi daerah. Manajemen sentralisasi di masa lalu dipandang sebagai sumber macetnya optimalisasi pembangunan ekonomi, padahal potensi yang seharusnya dicapai jauh lebih besar daripada yang telah digenggam. Desentralisasi ekonomi dianggap jawaban cerdas atas dua pertanyaan penting: (1) mungkinkah sentralisasi mengurus sekian ribu keragaman ekonomi (politik) yang dimiliki Indonesia?; (2) adakah model manajemen ekonomi yang dapat mengurangi distorsi antara aspirasi (daerah) dan perumusan kebijakan? Meskipun model ini diproyeksi memiliki risiko politik yang cukup besar (di antaranya isu separatisme), tetap dipilih karena dipandang jalan paling rasional untuk mengurus ekonomi (politik) Indonesia.
Lapis terakhir adalah membuat level mikro perekonomian berjalan secara sehat, yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sebelum periode 1997/1998, perekonomian nasional dikenal sangat distortif karena penguasaan ekonomi dikepal oleh segelintir pelaku ekonomi. Struktur ekonomi yang sangat monopolis dan oligopolis merupakan pemandangan jamak pada hampir semua sektor perekonomian.
Implikasi dari praktik ekonomi tersebut membuat daya saing ekonomi rendah, akses sebagian besar pelaku ekonomi tertutup, dan konsumen dirugikan. Oleh karena itu, perubahan sistem persaingan ekonomi merupakan terapi mujarab untuk merancang ekonomi ke arah persaingan yang sehat sehingga semua pelaku ekonomi memiliki akses yang sama, konsumen diuntungkan, dan daya saing diharapkan meningkat.
Problem kelembagaan
Pertanyaannya kemudian, mengapa liberalisasi keuangan dan perdagangan tidak membawa berkah kepada bangsa ini (seperti yang dijanjikan para negosiator)? Kenapa desentralisasi ekonomi justru meningkatkan ketimpangan pembangunan ekonomi? Mengapa regulasi persaingan usaha tetap menempatkan sebagian besar pelaku ekonomi dalam ketertutupan akses ekonomi?
Jawabannya, pertama, birokrasi justru merupakan entitas yang tidak tersentuh dalam proyek perubahan ekonomi. Prinsip yang tidak dipahami, setiap reformasi kebijakan tidak lantas menihilkan peran pemerintah dan birokrasi. Sebaliknya, dalam proses perubahan (ekonomi) itu birokrasi memegang kendali terpenting untuk memuluskannya, baik pada saat sebagai prinsipal maupun agen.
Inilah yang menjadi penyebab mengapa desentralisasi ekonomi dan persaingan usaha tidak banyak mengubah watak ekonomi nasional karena spirit birokrasi masih tetap sama: peminta rente, pemilik kekuasaan, atau penjual regulasi.
Kedua, setiap kebijakan mesti diteruskan dengan pembuatan ”aturan main”/kelembagaan yang berperan sebagai tata kelola. Selama ini, sebagian besar kebijakan ekonomi bukan hanya tidak kreatif, melainkan juga absen dalam penyusunan aturan mainnya (jadi, persoalannya bukan semata koordinasi).
Kebijakan pengendalian harga pangan, penanganan kasus penentuan alokasi sumber daya ekonomi (misalnya gas), dan masalah pembebasan lahan nyaris tidak ada kemajuan dibandingkan dengan di masa lampau.
Jika ada kebijakan baru, regulasi itu terpenggal di tengah jalan karena kedodoran dalam kelembagaannya. Unit analisis yang dipakai pemerintah dalam menangani masalah masih sebatas ”institusi” (kementerian), bukan ”kebijakan” itu sendiri.
Pendeknya, di lapangan tidak tampak adanya strategi pengelolaan perubahan ekonomi yang solid dan kreatif sehingga soal- soal primitif di atas akan terus mengemuka di tengah adanya perubahan/modernisasi ekonomi. Sungguh, ada perasaan pilu untuk menyampaikan fakta tersebut, tetapi inilah realitas yang harus dikabarkan.
Ahmad Erani Yustika Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef 
Opini Kompas 27 September 2010