09 Mei 2010

» Home » Kompas » Ketika Koalisi Dikontrol Golkar

Ketika Koalisi Dikontrol Golkar

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua harian sekretariat bersama partai-partai politik koalisi pemerintahan mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua serta Syarif Hasan (Partai Demokrat) sebagai sekretaris. Apa dampaknya bagi koalisi, hubungan Presiden-DPR, dan efektivitas pemerintahan?
Sulit dimungkiri, perkembangan politik pasca-hiruk-pikuk politik skandal Bank Century dan pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini sebagai ”kemenangan besar” Partai Golkar. Betapa tidak, Partai Golkar adalah lawan politik Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Melalui Panitia Angket Century yang dibentuk DPR, Golkar bahkan merupakan parpol koalisi yang paling sengit mempersoalkan dana talangan Rp 6,7 triliun atas bank bermasalah tersebut.
Selain itu, masih segar dalam memori publik, korporasi milik Aburizal Bakrie ditengarai melakukan pengemplangan pajak yang merugikan negara dengan nilai triliunan rupiah. Hal itu bahkan beberapa kali dinyatakan secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono. Juga sudah menjadi rahasia publik, Golkar, selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah parpol koalisi yang paling getol meminta Sri Mulyani dan Wapres Boediono mundur dari jabatannya.


Solusi terbaik
Kemenangan politik Golkar ini jelas tak bisa dipisahkan dari pengalaman, kelihaian, dan kelicikan para politisi parpol warisan Orde Baru tersebut. Golkar, harus diakui, membaca secara cerdas watak personal Presiden Yudhoyono yang tak hanya secara obyektif membutuhkan dukungan koalisi, melainkan juga hampir selalu menghindari konflik dan konfrontasi dengan DPR. Pembentukan koalisi politik pasca-Pemilu 2004 yang turut melibatkan Golkar selaku lawan politik sudah mengindikasikan hal itu.
Oleh karena itu, meski berkali-kali para elite Partai Demokrat di luar Yudhoyono meminta Presiden agar melakukan kocok ulang koalisi atau merombak Kabinet Indonesia Bersatu II dengan ”menendang” para menteri dari Golkar dan PKS, jenderal kelahiran Pacitan ini tidak melakukannya. Elite Partai Golkar bukan hanya tahu benar bahwa Presiden Yudhoyono tidak akan melakukan tindakan gegabah demikian, tetapi juga mencari peluang agar bisa mengontrol koalisi.
Tampaknya peluang itu benar-benar datang ketika Sri Mulyani akhirnya mundur dari kabinet dan memperoleh tawaran menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Bagi Presiden Yudhoyono, kemunduran Sri Mulyani adalah solusi terbaik dalam rangka mempererat kembali kerja sama antarparpol koalisi di satu pihak dan harmoni relasi dengan DPR di lain pihak. Karena itu pula, sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa mundurnya Menkeu tampaknya memang ”didesain” untuk menyelamatkan Sri Mulyani dan pemerintahan Yudhoyono.
Relasi Presiden-DPR
Pertanyaannya kemudian, apakah pilihan politik yang diambil Presiden Yudhoyono juga terbaik bagi bangsa kita. Dalam konteks relasi Presiden-DPR, keputusan Yudhoyono memang menjanjikan kerja sama eksekutif-legislatif yang lebih baik selama empat tahun ke depan karena Golkar selaku ketua harian sekretariat bersama koalisi merupakan partai terbesar kedua di DPR.
Meski demikian, pengalaman pemerintahan periode 2004-2009 menunjukkan koalisi dan kerja sama Presiden-DPR yang erat tak selalu berimplikasi langsung pada efektivitas pemerintahan. Persoalannya, parpol-parpol koalisi acapkali memanfaatkan ketergantungan politik Yudhoyono terhadap koalisi sebagai alat tukar dalam rangka tawar-menawar posisi-posisi strategis di pemerintahan. Apalagi jika kontrol koalisi berada di tangan Golkar yang dikenal memiliki kemahiran sekaligus ”kelicikan” politik lebih dibandingkan dengan parpol lainnya.
Itu artinya format koalisi yang ditata ulang Presiden Yudhoyono tidak mustahil akhirnya lebih berujung pada kolusi politik ketimbang efektivitas pemerintahan sebagaimana tujuan awal pembentukan koalisi. Kecenderungan demikian potensial muncul jika Yudhoyono lebih berorientasi pada relasi ”harmoni” di antara parpol-parpol koalisi pendukungnya seperti tecermin dari pilihannya terhadap Aburizal selaku ketua harian sekretariat bersama partai koalisi.
Mahal bagi Demokrat
Apa boleh buat, keputusan Presiden Yudhoyono ini tampaknya akan dibayar mahal oleh Partai Demokrat. Karena kesibukan-kesibukan Yudhoyono sebagai Presiden, kendali koalisi jelas akan berada ditangan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie. Dengan posisi sebagai ketua harian sekretariat bersama partai koalisi, Aburizal tidak hanya mempertinggi posisi tawar politik (bargaining position) partai beringin, melainkan juga lobi-lobi personal pemilik kelompok usaha Bakrie tersebut dalam pemerintahan Yudhoyono.
Sebagai parpol pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden, ketua harian sekretariat bersama partai-partai koalisi semestinya dipegang sendiri oleh Partai Demokrat. Namun, keputusan telah diambil dan tak seorang pun elite Demokrat yang bisa menggugatnya. Soalnya sangat jelas Partai Demokrat sepenuhnya identik dengan sosok Presiden Yudhoyono sendiri.
Barangkali inilah pekerjaan rumah sekaligus tantangan terbesar Partai Demokrat menjelang Kongres II di Bandung akhir bulan ini, yakni mengaktualisasikan diri sebagai parpol yang tidak hanya besar di balik bayang-bayang Yudhoyono, tetapi juga mampu berpolitik dan mengelola politik secara cerdas. Itu artinya para elite Demokrat di luar Yudhoyono perlu becermin dan introspeksi diri atas keputusan pahit yang harus diambil oleh sang Ketua Dewan Pembina.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Opini Kompas 10 Mei 2010