NU yang mengusung nilai-nilai Aswaja dikenal sebagai ormas Islam berwatak kebangsaan. Kelahiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa, yakni sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban.
Para pendiri NU dengan keunggulan komparatifnya secara gigih dan penuh perjuangan mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Di sini, kita temukan titik koordinatnya ketika kita sama-sama memperbincangkan idealisasi NU, yaitu NU yang reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi oleh spirit moral yang bercahaya.
Kepatriotan NU
Jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Paham tersebut dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam itu, lokalitas mendapat tempat terhormat.
Kepatriotan yang bersifat kultural tersebut perlu ditegaskan karena kelahiran NU tidak pernah menyingkirkan nilai-nilai lokal. Sebaliknya, ia berakulturasi dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Proses akulturasi tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan, warisan budaya Nusantara. Otomatis, NU memiliki wawasan multikultural.
Kemampuan NU melakukan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistis, lebih-lebih lewat cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur.
Setelah Indonesia merdeka, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Jasa para kiai dan warga NU dalam perang kemerdekaan -sungguh pun tak dicatat dalam sejarah- sangat memberikan andil bagi kelangsungan negara RI. Era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam Muktamar Ke-27 NU pada 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.
Absennya NU dalam panggung politik di bawah kekuasaan rezim Orba justru mampu menyelamatkan bangsa dari chaos. Ketidakhadiran NU dalam kancah politik praktis tersebut, selain merasa bahwa eksistensi jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah-lah yang lebih cocok, mampu menekan warga NU untuk tidak terbuai dengan kekuasaan yang korup, kolutif, dan manipulatif.
Jihad NU
Pada era reformasi ini, NU harus benar-benar menjadi hati nurani bangsa. Saat warga bangsa terlarut dalam perburuan kekuasaan, NU harus tampil dengan pesan-pesan moralitas politik. Tidak terjunnya NU ke kancah politik praktis juga memainkan peran strategis bagi kontinuitas bangsa dan negara. Secara politis, warga NU semakin leluasa menyalurkan aspirasi politik. Sementara itu, para ulama tetap konsisten pada pencerahan gerakan moralitas tanpa terkooptasi oleh kekuatan politik mana pun. Di sinilah, jati diri NU akan lebih berharga dan bermanfaat bagi bangsa.
Karena itu, saat ini, jihad yang perlu dilakukan NU adalah, pertama, mengembalikan spirit agama sebagai "roh" politik kebangsaan. Aspek-aspek agama tetap harus pada posisinya sebagai spirit absolut yang mewarnai sejarah perjalanan NU. Bukan sebaliknya, agama dijadikan sebagai kulit kebudayaan untuk membungkus hipokrisme-hipokrisme kekuasaan.
Kedua, praktik politik kebangsaan NU sebagai kekuatan moral dan kultural membutuhkan instrumen yang bersifat struktural. Tetapi, hal itu bukan berarti bahwa penempatan struktural tersebut identik dengan klaim-klaim kekuasaan. Sebab, yang patut dijauhi adalah politisasi NU yang hanya akan mereduksi tujuan utama NU.
Ketiga, NU harus memberikan wahana yang seluas-luasnya bagi internalisasi Khitah NU agar politik kebangsaan NU memiliki akar yang kukuh. Dengan demikian, kekuatan struktural-politik tidak akan melakukan tindakan hegemonik terhadap NU.
Keempat, upaya pengukuhan nilai NU yang berdaya tawar tinggi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai dan tradisi NU diharapkan muncul sebagai kekuatan alternatif manakala praktik-praktik politik konvensional telah dipandang merugikan bangsa. Di sinilah, perlunya peran ulama untuk selalu mengaktualisasikan nilai-nilai NU sebagai karakteristik kebangsaan agar kita tidak menjadi korban dalam transformasi global.
Khidmat Kerakyatan
Dalam banyak kasus, godaan politik sekarang sungguh besar akibat desentralisasi sistem pemerintahan yang memberikan peluang kepada ormas-ormas keagaman untuk ikut bermain pada arena pilkada. Ormas keagamaan masih menjadi lumbung suara yang seksi. Tapi, NU harus berani menepis rayuan-rayuan politik. Bukankah kegelisahan-kegelisahan mulai muncul di kalangan elite NU tentang beralihnya aset-aset NU ke kelompok lain, tidak terawatnya kader andal, dan terlalu berlebihan dalam melakukan manuver politik?
NU sejak awal didirikan adalah gerakan sosial-keagamaan yang memberikan perhatian terhadap masyarakat kecil dan kemandirian pesantren. Khitah NU sesungguhnya hendak menguatkan kembali moral. Dengan demikian, peran NU berarti di level akar rumput masyarakat NU dan di tengah kebangsaan Indonesia.
Selama ini, memang terjadi sinisme terhadap NU yang disebabkan elite-elite NU tidak mengurusi masalah-masalah riil masyarakat dan cenderung berfungsi untuk meraih jabatan politik kekuasaan sesaat. NU adalah kebangkitan para ulama. Karena itu, kebangkitan yang dipelopori ulama perlu menampakkan watak keulamaan yang konsen kepada rakyat bawah, konsen terhadap masalah-masalah kebangsaan, dan bukan menggeret NU ke kancah politik praktis.
Inilah saatnya NU kembali berorientasi pada kerja-kerja sosial, seperti dakwah, pendidikan, dan ekonomi. Persoalan politik biarlah diserahkan kepada para pelaku politik. Jika NU ingin tetap eksis, orientasinya harus ditata untuk mengurusi persoalan umat. (*)
*) Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, ketua umum PB NU
Opini Jawa Pos 10 Mei 2010
09 Mei 2010
Menata Orientasi Jihad NU
Thank You!