DAERAH Operasi (Daop) IV PT Kereta Api (Persero) berupaya menghidupkan kembali jalur kereta api (KA) Ambarawa-Tuntang (Kabupaten Semarang). Jalur kereta yang dibangun melintasi kawasan Rawapening tersebut merupakan peninggalan Nederlands Indische Spoorweeg (NIS). Dibangun tahun 1873 dan ditutup tahun 1977. Jalur tersebut merupakan bagian dari jaringan rel cabang antara Stasiun Kedungjati dan Ambarawa (dulu Willem 1).
Kini jalur tersebut tengah menjadi jalur lori wisata yang melayani trayek kedua stasiun tersebut. Melihat animo masyarakat yang cukup tinggi terhadap KA wisata, maka jalur KA wisata diperpanjang dari Ambarawa-Tuntang. Jalur wisata sebelumnya Ambarawa-Jambu-Bedono menggunakan rel bergerigi terutama untuk lintas Jambu-Bedono. Sementara jalur KA Ambarawa-Tuntang merupakan jalur KA lintas datar, menggunakan rel biasa.
Semula telah dipersiapkan lokomotif uap khusus untuk lintas datar yang melayani jalur Ambarawa-Tuntang yaitu lokomotif E1060 dan C1218. Namun kedua lokomotif tersebut telah dipindahkan ke luar wilayah Daop IV. Lokomotif uap E1060 atau biasa disebut Mak Itam telah dipindahkan ke Divre II PT KA (Persero) Sumatra Barat untuk melayani KA wisata pada akhir 2008. Lokomotif E1060 sebenarnya merupakan lokomotif uap bergerigi sama dengan dua unit lokomotif uap B2502 dan B2503 di Ambarawa.
Namun menurut Pujiono, Kepala Depo Lokomotif Ambarawa, lokomotif tersebut posisi geriginya loko itu tidak pas dengan pada rel di lintas Jambu-Bedono sehingga hanya bisa melayani lintas datar.
Lokomotif uap C1218 tahun lalu dipindahkan ke Solo Balapan untuk keperluan KA Wisata Jaladara. Kini di Depo Ambarawa hanya tersisa dua lokomotif uap bergerigi yaitu B2502 dan B2503. Keterbatasan jumlah lokomotif uap apakah mampu memenuhi keinginan masyarakat penggemar KA wisata untuk melayani dua jurusan sekaligus?
Apalagi lokomotif B2502 dan B2503 telah berusia 108 tahun. Selain itu kondisi ketel loko tersebut kerap mengalami kebocoran. Padahal air yang tersimpan dalam ketel merupakan bahan untuk dimasak sebagai penghasil uap penggerak lokomotif uap tersebut.
Sebagai solusi, Daop IV lebih baik menambah satu unit lokomotif uap lagi. Contohnya menghidupkan loko uap B2501 yang terletak di Monumen Palagan Ambarawa. Atau meminta kembali loko C1218 yang berada di Solo Balapan lalu menukar dengan lokomotif uap C2902 di Depo Lokomotif Uap Perhutani Cepu. Hal itu agar lokomotif C1218 bisa dioperasionalkan lagi di lintas datar Ambarawa-Tuntang.
Tertarik Loko Uap
Persoalan tersebut menjadi makin rumit ketika ada wacana pemindahan dua unit lokomotif diesel ke Ambarawa yaitu loko BB20029 dan D301. Kedua loko diesel tersebut dalam kondisi aktif dan menurut rencana difungsikan sebagai daya tarik lain bagi pengunjung, bukan sebagai penarik KA wisata.
Pengunjung tentu akan lebih tertarik dengan lokomotif uap daripada lokomotif diesel yang kerap dilihat di beberapa kota besar di Jawa. Jadi untuk apa pemindahan kedua lokomotif diesel itu jika hanya sebagai objek tontonan tetapi masih kalah pamor dengan keindahan lokomotif uap yang bersejarah?
Keseriusan Daop IV akan optimalisasi jalur KA Ambarawa-Tuntang sebagai jalur KA wisata, dibuktikan dengan kegiatan perbaikan rel. Beberapa bantalan kayu yang lapuk dan hilang, diganti dengan bantalan plat baja. Namun kondisi besi rel masih tetap R25, kemudian dari hasil penelitian menunjukkan mayoritas penambat rel telah hilang dan hanya mengandalkan pada sistem las antara besi rel dan bantalan. Kondisi itu jelas membahayakan perjalanan KA termasuk lori wisata, karena getaran dari mesin lori atau lokomotif lambat laun akan membuat las yang merekat itu rapuh.
Demi keamanan perjalanan KA Wisata antara Ambarawa dan Tuntang, selain mengganti bantalan juga perlu memasang penambat rel yang cukup kuat, tipe klip. Kemudian dilakukan pembangunan talud sepanjang rel guna menghindari erosi sekitar rel. (10)
— Nugroho Wahyu Utomo ST, peneliti kereta api di Peduli KA Masinis Putra, mantan anggota Indonesian Railway Preservation Society
Wacana Suara Merdeka 10 Mei 2010