Pagi itu suasana Kota Saijo sedikit dingin. Setelah sekitar 1 jam perjalanan dari Hiroshima, Edu sampai di sebuah sekolah menengah atas di Saijo, namanya Saijo Agricultural School (SAS). Di sekolah itu suasana tidak hening, tapi sangat gaduh, tetapi tertib. Setiap siswa yang datang selalu memberi hormat seketika melihat guru mereka. Cara mereka memberi hormat sangat tidak biasa untuk ukuran anak sekolah menengah, yaitu dengan cara berteriak sekencang-kencangnya seperti paramiliter. Jika sekelompok siswa, katakanlah terdiri dari 6-8 orang, memberi hormat dengan cara berteriak-teriak, bisa dibayangkan jika pada waktu bersamaan datang sekitar 10-15 kelompok siswa yang memberi hormat; teriakan menjadi bersahutan seperti pasukan yang hendak berperang.
Pengalaman melihat Saijo Agricultural School adalah pengalaman yang sangat menarik bagi Edu. Dengan disiplin seperti tentara Jepang yang terkenal disiplin dan tak kenal lelah, ternyata ketika di dalam kelas mereka sangat tenang, mendengar dengan seksama apa yang sedang diajarkan guru. Yang mereka pelajari? Seperti namanya, anak-anak Saijo Agricultural School adalah para calon petani, petani kebun, dan pengusaha makanan berbahan hasil olahan dari praktik mereka bercocok tanam. Singkat kata, tak pernah terbayangkan jika sebagai negara industri, Jepang begitu menghargai dan mencintai tanaman dan dipelajari dan dipraktikkan para siswa Saijo.
Sebagai sebuah sekolah kejuruan, Saijo Agricultural School memiliki tradisi yang sangat panjang. Sekolah ini berdiri sejak 1900, alias telah berusia seabad lebih setahun. Oleh karena itu, tak salah jika Kota Saijo, bagian dari prefektur Shihoku, sejak 1980 diproyeksikan bukan hanya sebagai kota industri, melainkan sekaligus menjadi pusat distribusi dari hasil-hasil pertanian. Salah satu alasannya adalah karena di kota tersebut telah hidup sebuah tradisi bercocok tanam yang disemai dalam bingkai kebijakan manajemen kurikulum modern.
Dengan fasilitas sempurna dan serbamodern, bahkan mungkin jauh lebih lengkap daripada IPB, Saijo Agricultural School terus berkembang sebagai tempat bagi seluruh anak-anak siswa sekolah menengah atas di Jepang yang tertarik dengan dunia pertanian. Implikasi dari kebijakan ini tampak nyata, setiap sudut kota yang dijejali bangunan mewah, bahkan di tepi dan belakang pabrik sekalipun, padi, dan tanaman lainnya tetap tumbuh dan ditanam masyarakat Jepang.
Sungguh sangat miris dan iri hati, bahkan malu sejadi-jadinya karena petani kita hanya diingat ketika masa kampanye, tetapi dilupakan dalam kurikulum kehidupan sesungguhnya. Sebagai bangsa yang memiliki klaim negara agraris, sepertinya kita memang harus mengelus dada karena otoritas pendidikan selama ini tak memiliki visi untuk membangun tradisi agricultural di sekolah menengah secara dini. Itulah makanya jika kita tanya kepada anak-anak kita di sekolah, apa cita-cita mereka kelak, hampir dapat dipastikan tak ada yang bercita-cita untuk menjadi petani. Dalam bayangan anak-anak kita petani adalah penderitaan; mencangkul, kepanasan, kehujanan, dan ketika panen tiba hasilnya tak dihargai secara semestinya. Imajinasi tentang petani di Indonesia yang miskin dan menderita bahkan lebih diperparah kebijakan para kapitalis yang seenaknya menjual dan mendistribusi pupuk dengan harga setinggi langit untuk merusak tanah para petani sehingga petani tetapi tetap terjepit dalam penderitaan dan kemiskinan.
Sistem pendidikan kita memang harus mengubah 180 derajat visi dan misinya, terutama menyangkut keberpihakan kepada potensi hutan dan ladang kita yang seenaknya dijarah para tengkulak kapitalisme industri. Sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang pertanian harus lebih banyak dibuat, agar kecintaan anak-anak terhadap lingkungan menguat. Parnell (1966) mengingatkan, jika sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa learning to know is most important; application can come later, orientasi pendidikan kejuruan kita harus dapat mengembangkan sekolah yang berorientasi kepada kebutuhan kerja yang sesuai dengan kondisi geografis masyarakatnya. Artinya, para penggagas sekolah kejuruan harus meyakinkan otoritas pendidikan bahwa learning to do is most important; knowledge will somehow seep into the process.
Belajar dari Saijo Agricultural School, harus ada komitmen otoritas pendidikan untuk meletakkan kerangka dasar disiplin siswa dengan keselarasan alam sebagai tempat anak-anak kita berpijak. Dari Saijo juga kita berkaca bahwa seperti pernah dikatakan Publilius Syrus, practice is the best of all instructors. Kapan kita bisa melihat anak-anak sekolah atau mahasiswa melakukan praktik kerja nyata di sawah dan ladang tempat ayah dan ibu pertiwi mereka?
Ahmad Baedowi
opini media indonesia 10 mei 2010