Oleh Suwandi Sumartias
Lagi, korban Ujian Nasional 2010 berjatuhan pascapengumuman hasil UN 26 April. Banyak siswa yang stres, menangis, malu, bunuh diri, serta jeritan histeris yang sungguh menyayat hati. Bahkan Komisi Perlindungan Anak merekomendasikan agar pada tahun 2011, UN ditiadakan. Buruk rupa cermin dibelah, kata pepatah lama yang begitu arif, mengingatkan kita betapa banyak elite negara yang tak sungguh-sungguh menaruh perhatian terhadap praksis ketidakadilan dalam proses penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Ujian Nasional dihujat dan lagi-lagi para guru yang disalahkan. Begitu juga halnya, maraknya makelar kasus, pajak, hukum, dan peradilan, maka pendidikanlah yang dipersalahkan karena tak memiliki karakter moralis dan idealis. Padahal tak ada pendidikan apa pun, kecuali manusia yang mengelola dan menjalaninya. Celakanya, sistem yang dibangun dalam praktiknya, selain menampilkan ketidakadilan dalam berbagai dimensi birokrasi, juga tak menjadikan representasi mayoritas sebagai satu negara yang multietnis, agama, serta geografis dengan kapasitas dan raw material yang amat beragam dan berbeda secara empiris dan substantif. Dalam konteks ini, UN bukan hanya sebagai alat ukur kuantitatif untuk menguji kualitas proses pendidikan, tetapi sekaligus menjadikan sistem ciptaannya sebagai musuh yang siap menerkam rakyat yang dimarginalkannya. Kebijakan pendidikan yang tidak populis, merata, dan menyentuh seluruh potensi negeri inilah yang menjadi cikal bakal prahara UN 2010, yang setiap tahunnya selalu memakan korban.
Kehadiran negara
Dari 16.467 SMA/MA/SMK peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah yang siswanya tidak lulus semua. Pengumuman UN SMP/MTs./SMP terbuka nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen.
Prahara UN yang dialami beberapa sekolah tadi, tentunya disebabkan berbagai faktor baik SDM (tenaga pendidik dan kependidikan), kesempatan, serta fasilitas belajar-mengajar yang sangat terbatas, juga karena kondisi geografis dan faktor-faktor lainnya yang memang sengaja diabaikan dan atau dipinggirkan. Demikian juga, di balik kesuksesan beberapa sekolah yang siswanya lulus UN, bukan tanpa persoalan yang serius. Masih juga ditemukan perilaku para tenaga pendidik (guru) yang "main mata" dan "tahu sama tahu" untuk membiarkan peserta didik yang menyontek, merevisi lembar jawaban, dan perilaku tak terpuji lainnya, hanya karena kekhawatiran serta demi gengsi.
Kegagalan dan kesuksesan UN pada kenyataannya mengandung cacat luar biasa. Bukan pada sistem UN-nya, melainkan karena berbagai kelemahan dan praksis ketidakadilan yang terus-menerus dilanggengkan oleh para elite birokrasi dan pemilik modal. Pendidikan tercerabut dari hakikat dan substansinya, sebagai sarana pencerahan dan perubahan warga negara melalui investasi sosial pendidikan, dalam dinamikanya kini tergerus oleh kebutaan dan kehampaan hati nurani. Memanusiakan manusia melalui pendidikan untuk menjadi komunitas atau bangsa yang beradab dan bermoral, semakin hari semakin jauh dari harapan dan kenyataan.
Dehumanisasi dan kehampaan makna sebagai manusia sedang berlangsung marak di berbagai ranah sosial, termasuk di ranah pendidikan. Guru dan sekolah-sekolah yang jauh dari pusat bisnis dan kekuasaanlah yang semakin jauh tertinggal. Pendidikan hanya milik sekelompok orang dan menjadi menara gading, yang tak lagi mampu memberi alternatif solusi dari krisis multidimensi bangsa ini, sungguh pemandangan dan kenyataan yang pahit dan menyakitkan. Pendidikan menjadi komoditas bisnis di tengah-tengah penderitaan yang teramat kronis.
Para pendidik (guru), baik yang statusnya honorer atau tetap (PNS), hidupnya masih jauh dari kehidupan yang layak sebagai manusia yang memiliki tugas yang teramat mulia. Program perbaikan nasib melalui kenaikan pangkat dan atau sertifikasi guru yang seharusnya mudah, menjadi sesuatu yang sangat krusial, sulit, dan mahal. Bahkan, hal tersebut menjadi sarana bagi praktik-praktik yang tak terpuji dan menjadi rahasia umum bahwa jika naik pangkat atau menjadi kepala sekolah harus ada "tips" yang variatif jumlahnya. Bahkan dalam kasus sertifikasi pun, selain mendorong guru terpaksa menempuh berbagai cara untuk bisa lolos, yang sudah lolos pun, tunjangannya tak pernah jelas kapan keluarnya. Jadi bukan hanya orang miskin yang tak berhak sekolah, guru pun tak berhak sejahtera. Kondisi ini memunculkan satu anekdot, hidup dan kehidupan guru menjadi salah satu keajaiban dunia, selain Menara Eiffel, Tembok Cina, dan sebagainya.
Dari kondisi itu, munculnya prahara UN hanyalah sebagai puncak dari gunung es di dalam sistem pendidikan. Jadi, bukan hanya penyelenggaraan UN yang harus direevaluasi, tetapi mencari akar masalah dari prahara UN ini secara menyeluruh dan serius dari pusat sampai daerah. Kehadiran pemerintah (negara), elite politik, dan tokoh masyarakat lainnya, yang seyogianya bertanggung jawab pada kelangsungan dan kelancaran pendidikan bagi rakyatnya, tampil antiklimaks menjadi sosok yang menakutkan dan memakan korban warganya sendiri. Dengan demikian, pendidikan tak lagi menjadi hak warga negara, tetapi menjadi barang langka dan mahal.
Solusi yang sederhana adalah sadar atau maukah kita mengubah atau meninggalkan sesegera mungkin cara-cara yang selama ini menjadi penyebab terjadinya prahara di dunia pendidikan (termasuk UN)? Ataukah kita masih senang dan nyaman dengan sistem birokrasi pendidikan ciptaan sendiri, dengan membiarkan dan menyalahkan pihak lain yang tak mau menjadi bagian dari sistem ini? Hanya di hati nurani kita yang mampu menjawabnya dengan penuh kejujuran, jika masih diperlukan. Atau kita biarkan negeri ini hancur bersama? Semoga di ranah pendidikanlah kita masih menaruh harapan tumbuhnya jiwa-jiwa pembaharu yang penuh optimisme dalam menyongsong dunia yang lebih baik, damai, bermakna, dan sejahtera. Semoga!***
Penulis, staf pengajar komunikasi politik di Fikom Unpad.
opini pikiran rakyat 10 mei 2010