09 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Sri Mulyani Indrawati dan "Brain Drain"

Sri Mulyani Indrawati dan "Brain Drain"

Oleh YOGI SUPRAYOGI SUGANDI
Sri Mulyani Indrawati adalah sosok menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II yang di atas polemik tentang dirinya terhadap kebijakan Bank Century, merupakan sosok dari negara berkembang yang dipercaya menjadi Managing Director Bank Dunia. Posisi ini sangat strategis karena menempati posisi kedua setelah Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick. Kebijakan-kebijakan Bank Dunia sangat dipengaruhi keputusan-keputusan dari negara barat, sebagai pemegang saham terbanyak. Namun posisi tawar Indonesia akan diperhitungkan jika memiliki wakil tetap di sana.
Di satu sisi kita cukup bangga dengan kehadiran Sri Mulyani di World Bank. Namun, hal ini merupakan malapetaka yang tidak disadari sebagian masyarakat Indonesia karena sebenarnya inilah gejala brain drain di Indonesia. Secara definisi, kata ini bermaksud penipisan atau hilangnya personel intelektual dan teknis (wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn). Hilangnya personel ini jika terjadi secara beramai-ramai akan menyebabkan ketandusan intelektual di tanah air.
Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya banyak mempertahankan orang-orang semacam ini yang justru menjadi cikal bakal negara ini berjalan secara konsisten dan profesional. Negara ini akan kehilangan sumber daya manusia yang andal jika tidak segera melengkapi kembali sumber-sumber pendidikan dengan kaum intelektual dan teknis. Berapa banyak lulusan luar negeri yang sempat bekerja di PT DI yang kemudian harus hengkang ke luar negeri karena BUMN yang satu ini hampir mengalami bangkrut.
Gejala
Gejala brain drain pernah dialami Cina sejak kejadian di Lapangan Tiananmen ketika seorang demonstran tergilas tank baja yang akan merangsek masuk ke demonstran di universitas. Sejak kejadian itu, semakin besar masyarakat intelektual Cina yang lari ke luar negeri karena ketakutan akan pemerintahan komunis Cina. Cina semakin kekurangan pasokan tenaga intelektual dan teknis. Namun pada era 1990-an, tenaga-tenaga intelektual ini kembali dengan segudang prestasi yang didapat dari negara lain. Inilah yang disebut kemudian brain gain, kembalinya tenaga-tenaga terampil ke bangsanya.
Ketika krisis ekonomi Indonesia terjadi pada 1998, banyak sumber daya manusia yang andal berlarian ke luar negeri dengan iming-iming tawaran berupa gaji dan sistem kerja yang profesional. Pemerintah Indonesia seharusnya memberikan suatu kebijakan khusus pada para intelektual ini untuk kembali ke tanah air dengan jaminan kesejahteraan yang cukup. Sebagai contoh SDM Indonesia ke Malaysia semakin meningkat, seiring kompetisi universitas-universitas di negeri jiran ini.
Penulis pernah berpengalaman tinggal di negeri jiran ini selama dua tahun sebagai dosen tamu di jurusan sosiologi. Memang jaminan dari universitas untuk melakukan penelitian yang berskala internasional sangat dimudahkan oleh universitas-universitas di Malaysia. Hal ini karena pemerintah Malaysia sadar bahwa sumber utama atau generator utama yang menghidupkan mesin negaranya adalah dari dunia pendidikan, karena dari pendidikan dapat terlahir manusia-manusia unggulan yang dapat membangun negara.
Dosen-dosen kita dimanjakan di luar negeri, sedangkan di dalam negeri perlindungan terhadap dosen-dosen berkualitas sangat kurang, bahkan cenderung terbiarkan. Setelah bekerja di Malaysia, dosen-dosen ini sangatlah berprestasi, bahkan banyak yang mendapatkan penghargaan dari dunia internasional sebagai "the best researcher in Asia Pasific" atau menulis di karya ilmiah internasional dengan nama universitas tempatnya bekerja. Ini adalah sindrom brain drain yang biasanya diawali dengan intelektual andal kemudian diikuti elitis dan terakhir yang paling berbahaya seperti yang terjadi di Cina, kalangan mahasiswa yang kuliah di luar negeri enggan kembali karena ketidaknyamanan suasana bekerja di tanah air.
Mobilitas sosial
Secara harfiah, manusia selalu ingin maju menjadi lebih baik. Pendidikan sesungguhnya bukan menciptakan profesor ataupun doktor yang banyak, tetapi bagaimana jabatan-jabatan ini menghasilkan karya yang bisa dibanggakan kepada mahasiswanya. Di Indonesia, titel dianggap sebagai akhir dari pendidikan. Padahal jika di luar negeri, profesor dan doktor adalah intelektual yang memiliki segudang prestasi dengan karya-karya ilmiah yang dapat dibanggakan.
Di Indonesia, jabatan akademik ini dianggap sebagai jabatan kekuasaan, bukan dianggap sebagai hasil pencapaian dari karya-karya dan inovasi yang pada akhirnya dapat dibanggakan. Salah satu syarat universitas menjadi universitas research adalah jika pernah ada salah satu lulusan dari universitas tersebut yang pernah memenangkan Nobel. Seperti yang dilakukan Moh. Yunus, pemenang Nobel dari Bangladesh dengan microfinance-nya untuk perempuan. Beliau adalah profesor ekonomi di Universitas Dhaka.
Mengapa Indonesia bisa kalah dengan Bangladesh? Mereka dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit dan lebih miskin dari Indonesia dapat menghasilkan intelektual sejati seperti Moh. Yunus. Mungkin inilah bahan introspeksi kita apakah kita akan tetap membiarkan para intelektual kita berlarian ke negara lain, sedangkan di negara sendiri dalam keadaan yang sangat santai.
Penulis selalu menyampaikan kepada mahasiswa, kita terlalu terlena dengan kekayaan alam kita. Dengan demikina, kita menjadi lengah dengan kemalasan dan iri dengki kepada yang berhasil. Kita tidak pernah mau bertanya, apa yang bisa kita berikan kepada bangsa dan negara ini. Kita selalu mengharapkan sesuatu pamrih dari negara. Sudah saatnya kita bangun dari anak manja yang kaya menjadi anak kaya berprestasi. Jangan sampai kita terlena dengan kekayaan alam, tetapi melupakan bahwa kekayaan alam tersebut harus digali dan dieksplorasi. Menggali dan mengeksplorasinya hanya dengan satu cara yaitu belajar, dan didapatkan dari pengalaman secara formal ataupun informal.***
Penulis, dosen Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjajaran. Pernah menjadi Visiting Lecturer di Dept. of Anthropology dan Sociology, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Anggota Asosiasi Sosiologi Internasional (ISA) dan Asosiasi Sosiologi Asia Pacific, Barcelona, Spain.
opini pikiran rakyat 10 mei 2010