Sebab utama mengapa nilai mapel bahasa Indonesia jeblok adalah karena rendahnya kemampuan logika dan pemahaman para siswa terhadap teks bacaan
HASIL ujian nasional (UN) 2010 untuk SMA telah diumumkan. Ada banyak kegembiraan lantaran lulus. Tapi ada juga kabar sedih karena gagal. Nilai yang diperoleh di bawah standar minimal kelulusan. Akibatnya, tidak bisa ditawar lagi: harus mengulang.
Menariknya, persentase terbesar mata pelajaran (mapel) yang harus diulang adalah bahasa Indonesia (BI), yang selama ini oleh siswa dianggap paling mudah. Yang tak kalah menarik, buat mereka yang nilai bahasa Indonesianya lulus pun, rata-rata nilainya paling rendah dibandingkan dengan mapel lainnya.
Seperti di Jawa Tengah (SM, 05/05/10), tidak ada siswa dari seluruh SMA/ MA di 35 kabupaten/kota yang mendapatkan nilai mapel bahasa Indonesia 10 (sempurna), baik dari Jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa.
Pada Program IPA, rata-rata bahasa Indonesia 7,86 (Kabupaten Purbalingga), bahasa Inggris 8,40 (Kabupaten Demak), matematika 8,13 (Kabupaten Demak), fisika 8,67 (Kabupaten Demak), kimia 8,81 (Kota Tegal), dan biologi 8,42 (Kabupaten Kudus).
Untuk Program IPS, rata-rata bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Banjarnegara), bahasa Inggris 7,95 (Kabupaten Demak), matematika 8,49 (Kota Pekalongan dan Kabupaten Demak), ekonomi 7,74 (Kabupaten Demak), sosiologi 7,53 (Kabupaten Demak), geografi 6,90 (Kabupaten Kendal).
Sedangkan Program Bahasa, rata-rata bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Pekalongan), bahasa Inggris 8,84 (Kabupaten Rembang), matematika 9,46 (Kabupaten Pekalongan), Sastra 7,78 (Kabupaten Boyolali), antropologi 7,37 (Kota Magelang), bahasa asing 9,39 (Kabupaten Batang). Pertanyaan pentingnya: mengapa hal itu bisa terjadi?
Kesalahan negarakah (pemerintah)—politik bahasa Indonesia? Seperti ditulis ’’Tajuk Rencana’’ Suara Merdeka 1 Mei lalu. Atau akibat dari sikap siswa yang meremehkan (menggampangkan) mapel bahasa Indonesia? Tulisan ini tidak hendak melihat satu per satu kebenaran atau ketidakbenaran dari beragam kemungkinan sebab tersebut. Saya lebih tertarik untuk menambah satu analisis (sebab) lagi, dan menurut saya ini kunci.
Sebab utama mengapa nilai mapel bahasa Indonesia jeblok adalah karena rendahnya kemampuan logika dan pemahaman para siswa terhadap teks bacaan. Mereka tidak terbiasa membaca isi teks bacaan dengan kritis dan cermat. Deskripsi teknisnya seperti ini: bagaimana mungkin mereka bisa menjawab pertanyaan (baca: memilih jawaban) dengan benar, memahami maksud pertanyaannya saja tidak mampu.
Menu Pembelajaran Dari mana kemampuan logika, pemahaman kritis dan cermat tersebut dapat diperoleh? Satu-satunya cara adalah dengan (banyak) membaca. Membaca, oleh karena itu, sangat penting ditekankan dalam mapel bahasa Indonesia.
Itu sebab barangkali, di beberapa negara maju, aktivitas membaca (buku) menjadi bagian terpenting dalam menu pembelajaran di sekolah, tidak hanya saat berlangsungnya pelajaran bahasa. Di Jepang misalnya, siswa diwajibkan membaca 10 menit sebelum jam pelajaran dimulai.
Lain Jepang, lain pula Belanda. Di Negeri Kincir Angin ini, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan (sekolah) yang memenuhi kebutuhan mereka. Di Singapura minat baca siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku.
Tak kalah menarik, adalah yang dilakukan pemerintah Australia. Para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai.
Bagaimana di tempat kita? Aktivitas mendaras buku belum dijadikan menu wajib di setiap subjek pembelajaran di sekolah. Dalam pelajaran bahasa Indonesia sekalipun. Kalau toh ada kegiatan membaca buku, itu bersifat seketika, tidak sengaja, mendadak, reaktif, bukan bagian dari sistem yang dirancang secara tetap, dan terukur.
Maka tak heran, bila International Educational Achievement menempatkan minat baca siswa Indonesia paling rendah (urutan ke-38 dari 39 sampel) di kawasan ASEAN.
Agar dalam UN, bahasa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri dan tidak menjadi jebakan kelulusan, sudah saatnya kegiatan membaca teks (buku) menjadi pusat orbit setiap aktivitas belajar mengajar di sekolah. Tanpa itu, agak gelap saya membayangkan masa depan pembelajaran mapel yang oleh banyak orang disebut cermin bangsa ini? (10)
— Agus M Irkham, editor dan penulis buku
Wacana Suara Merdeka 10 Mei 2010