Mulai 1 juni 2010, Sri Mulyani menduduki jabatan baru sebagai direktur pelaksana bank dunia. Namun, masih banyak pertanyaan yang berkembang di masyarakat, antara lain bahwa jabatan barunya tersebut diminta oleh Bank Dunia atau diajukan oleh Pemerintah Indonesia, karena salah satu syarat untuk menjadi direktur pelaksana Bank Dunia adalah diajukan oleh negara yang bersangkutan.
Selain itu, masyarakat berharap agar BPK melakukan investigasi audit terhadap proyek yang dibiayai oleh pinjaman Bank Dunia di Departemen Keuangan selama beliau menjabat sebagai menteri keuangan, yaitu program komputerisasi di Direktorat Perbendaharaan Negara sebesar 1,4 triliun, Direktorat Anggaran 1,5 triliun, Direktorat Jenderal Pajak 1,7 triliun, Bapepam-LK 1,2 triliun, dan Direktorat Kekayaaan Negara 1,3 triliun. Audit ini penting untuk menghindari konflik kepentingan di kemudian hari.
Mundurnya Sri Mulyani seharusnya menjadi momentum perbaikan kebijakan fiskal di Indonesia dengan melakukan reformasi fiskal, khususnya menjadikan instrumen fiskal yang antisiklis. Peluang reformasi fiskal masih sangat besar karena, misalnya, penurunan pajak pendapatan masih memiliki ruang yang sangat lebar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Krisis pasar modal kali ini bersifat sistemik.
Kasus Yunani telah menjadi gelora krisis pasar modal dunia. Dalam tiga bulan terakhir pasar modal di Amerika Serikat akhirnya kembali terjungkal. Dalam momen seperti ini, berita mundurnya Sri Mulyani menjadi berita yang bersifat overshooting bagi pelaku pasar. Buktinya pada Kamis lalu, IHSG terkoreksi secara relatif tidak terlalu dalam dibandingkan dengan indeks regional lainnya. Padahal, nama pengganti Sri Mulyani sebagai menkeu belum juga diterbitkan oleh presiden. IHSG terkoreksi hanya 1,25 persen, sedangkan Shanghai Composite terkoreksi hingga 4,11 persen. Nikkei 225 terkoreksi hingga 3,27 persen. Sementara Seoul Composite dan NZ 50 terkoreksi 1,98 persen dan 1,90 persen.
Fakta ini sebetulnya mampu mengeliminasi akan dampak negatif dari mundurnya Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan. Bahkan, dalam konteks optimisme, pasar modal Indonesia justru sangat optimistis dengan mundurnya Sri Mulyani. Perlu diingat bahwa harga saham merupakan refleksi keadaan di masa depan. Dengan kata lain, koreksi harga saham yang relatif rendah menandakan akan adanya optimisme tersebut pada masa depan perekonomian Indonesia yang lebih baik lagi. Presiden SBY memang tidak ingin menteri keuangannya tidak memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Dengan berpedoman pada fakta yang seperti ini, Presiden SBY pasti akan memilih pengganti Sri Mulyani dengan pendekatan optimisme dan nasionalisme.
Lantas variabel apa saja yang patut dijadikan rujukan dalam memilih menteri keuangan baru yang kosong tersebut. Variabel pertama adalah adanya netralitas calon menteri keuangan baru tersebut dari partai politik, perusahaan swasta, dan lembaga multilateral. Netralitas ini diperlukan karena kebijakan fiskal tidak boleh diagendakan untuk kepentingan partai politik tertentu, perusahaan swasta tertentu, dan lembaga multilateral tertentu. Kebijakan fiskal harus ditujukan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kedua, belajar dari kesalahan Sri Mulyani, maka calon menkeu harus memiliki jiwa risk taker dalam melakukan penyaluran dana APBN secara tepat dan cermat. Jiwa >risk taker ini selayaknya menjadi acuan karena lambannya penyaluran APBN menimbulkan opportunity cost yang sangat besar. Ketiga, tidak belajar dari efektifitas fiskal.
Keempat, kebijakan fiskal harus bersifat prosiklis. Konjungtur perekonomian harus disertai kebijakan antisiklis dari instrumen fiskal dan moneter. Selama ini APBN tidak pernah berani melakukan kebijakan antisiklis, termasuk temporary increase tersebut. Konsekuensinya, berdasarkan data Human Development Report, maka posisi Indonesia masih jauh tertinggal dibanding Singapura, Filipina, Thailand, dan Malaysia, dalam konteks kualitas sumber daya manusia yang diukur dengan Human Development Index. Hingga tahun 2007, posisi In donesia masih berada pada posisi 111.
Calon menkeu baru harus mampu mengeliminasi kebijakan fiskal dari infor masi buruk. Sepan jang menkeu di tangan Sri Mulyani, tampak sekali per ubahan asumsi APBN kerap terus terjadi. Hal ini perlu diperbaiki secara serius. Calon menkeu baru seharusnya mampu meya kinkan Presiden dalam menjelaskan konsep yang akan dite rapkan.
Reorganisasi departemen keuangan wajib dilakukan. Semakin besar birokrasi, se makin tidak efektif organi sasi tersebut. Persoalannya bukan lagi masalah insentif dan penalti. Namun, jauh lebih dari itu, membentuk organ sasi departemen keuangan yang lebih minimum lagi.
Efisiensi fiskal haruslah dilihat dari efisiensi belanja negara dan bukan saja dalam konteks anggaran pendapatan. Dengan demikian, optimisme pasar dan optimisme Presiden SBY dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang tumbuh tinggi dalam rangka menyerap lapangan kerja semaksimal mungkin. Menkeu baru memiliki konsep yang tak terjebak oleh paradox of thrift.
Kebijakan fiskal masih diperlukan untuk mengatasi masalah paradox of thrift seperti ini, sebaliknya kebijakan moneter menjadi tidak efektif. Tantangan menkeu baru memang tidak ringan!
Opini Republika 10 Mei 2010
09 Mei 2010
Tantangan Menkeu Baru
Thank You!