09 Mei 2010

» Home » Kompas » Permainan Macam Apa Ini?

Permainan Macam Apa Ini?

Bahkan mereka yang selalu mendesak penuntasan kasus Bank Century kaget seri- bu bahasa mendengar Sri Mulyani Indrawati akan pergi!
Lazimnya, sejalan dengan waktu, sepotong demi sepotong puzzle itu akan terbuka. Tentu interpretasi setiap orang bisa berbeda. Namun, beberapa pejabat top di Kementerian Keuangan mengatakan kepada The Jakarta Post (6/5/2010) bahwa Sri Mulyani Indrawati (SMI) dipaksa untuk mundur dan ditawari Bank Dunia tugas sebagai jalan keluar terhormat. SMI tak pernah punya rencana mundur dan belum pernah mengajukan lamaran ke Bank Dunia, tetapi ia diberi tahu Presiden hari Senin lalu untuk mengambil pekerjaan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Luar biasa aneh! Seseorang yang tak pernah mengajukan aplikasi tiba-tiba dimintakan izin oleh Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, langsung kepada Presiden, untuk menempati sebuah posisi di Bank Dunia. Bank Dunia pula yang membuka cerita tersebut melalui peluncuran berita lewat situs mereka, Yudhoyono tinggal mengonfirmasi.
Secara resmi, Presiden mengumumkan SMI direstui untuk mengambil pekerjaan di Bank Dunia pada hari Rabu, 5 Mei.


Golkar bekukan
Belum habis kebingungan menguak permainan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, anggota fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, mengusulkan proses politik penyelesaian kasus Bank Century dibekukan! Dia menambah dengan embel-embel (Kompas, 7/5/2010): ”Silakan bergerak di proses hukum, tetapi secara politik bisa saja itu ditunda.”
Sebaliknya, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani menegaskan, proses politik kasus Bank Century belum akan berhenti. Walau dia mengakui, keinginan sebagian anggota DPR agar Sri Mulyani mundur sudah terpenuhi.
Jika berbagai elemen di atas dianalisis (aktor, agensi, taktik, dan kepatuhan pada obyek atau skenario tertentu, antara lain analisis Smith dan Fink pada Human Communication Research, April, 2010), terdapat tiga kategori sikap pengusung isu Century. Pertama, mereka yang ingin sekadar melihat Sri Mulyani pergi, bahwa tiba-tiba ada tawaran di Bank Dunia, bisalah dianggap sebagai sesuatu yang membuat everybody happy (walau belum tentu sesungguhnya demikian dengan SMI). Bagi kelompok ini, kasus Century sejatinya adalah permainan tarik-ulur dan negosiasi belaka! Pernyataan tokoh sepenting Priyo di Golkar dengan cepat memperlihatkan kecenderungan ini.
Dengan mudah pula, publik akan tersambung kepada isu kebencian Aburizal Bakrie terhadap Sri Mulyani gara-gara urusan persahaman. Mau dibantah berpuluh kali pun, kecepatan Golkar ingin membekukan proses politik penyelesaian kasus Century telah menyatakan sesuatu! Orang senang biasanya suka tak sengaja melontarkan kata-kata!
Pihak kedua, mereka yang ingin melihat terkuaknya berbagai rekayasa besar, yang tampaknya mencuatkan kasus Century hanya sebagai puncak gunung es. Masih ada di bawah ”permukaan laut”, kasus Antasari Azhar yang juga penuh hal-hal yang sulit dijelaskan, dipertalikan dengan rencana pengusutan kasus Teknologi Informasi KPU. Begitu pula kasus Bibit-Chandra yang sampai saat ini tak pernah menguak siapa yang menjadi dalang penjeblosan mereka ke tahanan.
Padahal, kemungkinan rekayasa tersebut disinggung dalam naskah keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan yang mereka ajukan. Masih dalam gunung es yang sama, disebut-sebut dendam pribadi terhadap pimpinan KPK.
Bagi kelompok kedua, tentu SMI tidak boleh dikorbankan! Kasusnya harus terbongkar dulu semuanya, baik itu berhasil maupun terhenti di KPK atau di Mahkamah Konstitusi.
Namun, kenyataan media memang agak menyedihkan. Kalaupun Kasus Century benar ujung gunung es yang lebih dahsyat dari ”Watergate”, pada faktanya kita memang sedang belum punya jurnalis seberani dan sejeli Bob Woodward dan Carl Bernstein yang juga didukung oleh perusahaan persnya. Fakta kepemilikan media di Tanah Air malah bisa memperkuat kelompok pertama, bukan kelompok kedua dan SMI.
Korbankan anak buah
Kelompok ketiga adalah mereka yang dengan mudah mengorbankan anak buah asal kenyamanan tercapai. Kelak, sejarah akan mencatat cerita sejatinya karena apa yang ditutup sekarang dengan pencitraan akan terbongkar pada masanya dengan penistaan! Pojok Kompas (7/5/2010) sudah memulainya dengan mengutip SMI: ”Pemimpin jangan korbankan anak buah.” Mang Usil berkomentar: ”Kok, ibarat kata bersayap, Bu?”
Sebetulnya masih bisa ditambahkan kelompok keempat, yaitu mereka yang ingar-bingar menganalisis betapa hebatnya posisi yang diperoleh Ibu Sri Mulyani di Bank Dunia dan mencari siapa pengganti Sri Mulyani yang paling tepat. Bagi mereka, Sri Mulyani memang sedang dengan bahagia mundur dari jabatannya dan gembira menuju Washington DC.
Ah, perempuan perkasa dalam badai, hanya Anda yang bisa menceritakan kepada kita: jika ada, permainan macam apa ini yang sesungguhnya sedang terjadi?
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

Opini Kompas 10 Mei 2010