09 Mei 2010

» Home » Kompas » Tiba Saat Tiba Akal

Tiba Saat Tiba Akal

Sejatinya ada dua pendekatan pembangunan infrastruktur: memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan pertama sejalan dengan hak-hak positif yang wajib dilakukan negara. Memiliki tempat tinggal, mengakses air bersih dan sanitasi, bepergian dengan aman, mendapat aliran listrik, berkomunikasi dan mendapat informasi adalah hak dasar manusia modern. Dengan infrastruktur, rakyat selanjutnya dapat berwirausaha secara berdaya saing melalui usaha kecil dan menengah hingga industri besar dan BUMN, untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan kedua lebih menonjol di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 menyebutkan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 7 persen di tahun 2014 diperlukan investasi infrastruktur 5 persen GDP atau setara dengan Rp 2.000 triliun dalam 5 tahun. Hal ini berarti infrastruktur hanya ditempatkan sebagai turunan kedua dari ekonomi.
Akibatnya, infrastruktur selalu dalam posisi untuk mengatasi kemacetan pertumbuhan ekonomi (debottlenecking). Pendekatan ini membuat infrastruktur selalu tertinggal dan menjadi constraint pertumbuhan. Posisi sebagai fire fighter membuat pembangunan infrastruktur menjadi parsial, tidak terkoordinasi, dan tanpa strategi jangka panjang.


Fasilitas infrastruktur baru dibangun karena jalan macet, pelabuhan atau bandara melampaui kapasitas, listrik mati, krisis air bersih, dan seterusnya. Sebuah praktik pembangunan infrastruktur yang kuratif, semata mengejar ketertinggalan.
Untuk menumbuhkan perekonomian seharusnya infrastruktur dibangun sebagai bagian integral dari ekonomi. Perencanaan infrastruktur harus menjadi bagian integral perencanaan ekonomi. Infrastruktur berfungsi sebagai generator ekonomi baru ataupun mengarahkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan strategi pembangunan nasional.
China adalah contoh terkini, infrastruktur dibangun hingga pelosok yang menurut ukuran kita ”belum” perlu infrastruktur. Perencanaan infrastruktur yang berpadu dengan strategi industri membuat produk China begitu murah. Beberapa kluster industri ditempatkan berjejer tepat di sisi pelabuhan sehingga biaya transportasi yang sudah murah masih di-share lagi oleh beberapa kluster industri tadi.
Di Sumatera dan Kalimantan, pembangunan jalan mestinya dilakukan dalam kesatuan dengan strategi industri perkebunan dan pertambangan. Nyatanya, jaringan yang ada tidak sinkron dan kapasitasnya tidak memadai. Sejumlah jalan setempat bahkan dilarang dilalui truk pengangkut hasil kebun dan tambang, tanpa disediakan jalan alternatif.
Swasta terpaksa berkreasi sendiri membangun jalan dan pelabuhan kecil. Tak heran bila industri pengolahan SDA tidak tumbuh. Pemerintah harusnya sudah membangun jalan dan pelabuhan sebagai bagian dari grand scenario pembangunan industri pertambangan dan perkebunan jangka panjang.
Kelistrikan nasional memperlihatkan gejala yang sama. Kapasitas daya terpasang saat ini sekitar 30.000 megawatt, diperkirakan kebutuhan kapasitas terpasang tahun 2014 sekitar 56.000 MW. Bila semua berjalan lancar, proyek pembangkit 10.000 MW tahap 1 dan tahap 2 hanya nyaris mampu mengejar ketertinggalan hingga 2014. Faktanya, kemampuan pemerintah hanya 18 persen dari total kebutuhan dana, sementara tingkat kesuksesan proyek IPP swasta generasi II (2005-2009) hanya 14 persen.
Kita selayaknya harus sudah mempunyai proyek pembangkit hingga tahun 2025 sehingga terdapat jaminan pasokan listrik jangka panjang. Hanya dengan ini, industri dan investasi yang memiliki life time 15-20 tahun dapat tumbuh karena direncana- kan bersama infrastrukturnya.
Kini, jaringan infrastruktur domestik merupakan bagian dari jaringan infrastruktur global, karenanya kompatibilitas jaringan domestik dengan standar jaringan global menjadi syarat mutlak. Ketiadaan atau tidak kompatibelnya infrastruktur berakibat teralienasinya kita dari persaingan dunia, bahkan nantinya dari peradaban dan pergaulan dunia.
Nihilnya tujuan bernegara
Kasus paling mutakhir adalah implementasi ACFTA Januari tahun ini. Lima tahun sejak ditandatangani, kita baru ribut soal pembangunan infrastruktur untuk mengatasi rendahnya daya saing sektor manufaktur. Apa yang kita harapkan dengan pembangunan infrastruktur industri manufaktur lima tahun ke depan? Apakah kita tiba-tiba akan mampu bersaing dengan China?
Bayangkan apa yang mampu dihasilkan China (raksasa pengekspor nomor satu dunia senilai 1,2 triliun dollar AS, pemilik cadangan devisa terbesar dunia 2,4 triliun dollar AS, sekaligus pelaku unfair trading sedunia) dalam lima tahun ke depan untuk memenangi industri manufakturnya. Sejauh apa penetrasi produk China di Indonesia bila saat ini saja sudah mencapai 50 persen.
Semua ini hanya menunjukkan kita telah kehilangan satu hal, yaitu tujuan bernegara. Thailand ingin jadi dapur dunia, Singapura ingin jadi negara kota dunia. Sejak era Zhou Enlai tahun 1975, China merencanakan empat modernisasi jangka panjang yang dilaksanakan secara persisten, terukur, dan di-estafet-kan antarkepemimpinan dengan satu tujuan: menjadikan China sebuah kekuatan besar ekonomi dunia abad ke-21. Tujuan negara kita telah direduksi jadi angka semata. Apa sesungguhnya yang mau kita capai dengan pembangunan infrastruktur beranggaran Rp 2.000 triliun? Siapa sih yang peduli dengan angka pertumbuhan 7 persen.
Pembangunan infrastruktur gaya ”tiba saat tiba akal ala Indonesia” ini tidak memungkinkan kita dapat bertahan dalam liberalisasi kompetisi global. Dalam kompetisi global siapa yang menjadi trend setter dialah yang memimpin persaingan, siapa yang menjadi pengikut dia ada di belakang. Pengikut tanpa peralatan bertanding yang memadai, dia tentu terseok-seok di urutan belakang. Tidak ada pilihan, terobosan dan loncatan pembangunan infrastruktur harus dirancang dan direalisasikan dengan sangat serius untuk tujuan yang jauh lebih bermakna. Pendekatan mengejar-ngejar ketertinggalan tidak saja melelahkan, melainkan juga meng-kalah-kan.
Heru Dewanto Sekretaris Jenderal Persatuan Insinyur Indonesia (PII); Founding Fellow ASEAN Academy of Engineering and Technology (AAET)

Opini Kompas 10 Mei 2010