08 Maret 2010

» Home » Kompas » Terobosan Mengubah Reserse

Terobosan Mengubah Reserse

Reserse adalah fungsi polisi yang kini relatif paling banyak digedor untuk berubah. Setelah kepada fungsi ini diperkenalkan kode etik penyidik, Kapolri Soetanto pernah mengintrodusir keberadaan pengawas penyidik.
Penerusnya, Kapolri Bambang Hendarso juga meminta jajaran ini disiplin dalam menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) guna memelihara kepercayaan masyarakat.
Belakangan ini, Kabareskrim Ito Sumardi menerapkan terobosan penggunaan CCTV. Gunanya, untuk mengawasi gerak-gerik staf yang menjadi makelar kasus (”markus”), atau yang menemui anggota masyarakat yang menjadi ”markus” di lorong-lorong Bareskrim Mabes Polri. Selain itu, ada berbagai peraturan Kapolri atau telegram Kapolri atau pejabat di bawahnya kepada jajaran reserse. Umumnya, peraturan dimaksud menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat menyidik.


Hasilnya? Tuduhan gemar melakukan kekerasan saat pemeriksaan tersangka, tidak sensitif pada kasus yang seyogianya tidak perlu ”diproses secara hukum”, atau tuduhan reserse gemar merekayasa kasus, kini harus dipikul organisasi. Walau sebagian besar penyimpangan dilakukan dalam kapasitas selaku ”oknum”, Polri nyatanya memang terkunci dalam situasi ini. Ujung- ujungnya, citra Polri merosot drastis di masyarakat.
Sudah bisa diduga
Kegagalan mengubah reserse itu sebenarnya sudah bisa diduga sejak lama. Dari berbagai fungsi di kepolisian, reserse adalah yang memiliki ”budaya kerja” yang khas. Hal itu umumnya dikenali melalui tumbuhnya motif kelelakian (alias macho) di antara personel polisi, juga terdapat kecenderungan bersikap curiga dan tidak percaya kepada publik (low trust) serta memandang rendah (looking down) kepada masyarakat. Bukankah hal-hal itu kemudian mendorong dilakukannya abuse of power terhadap (calon) tersangka?
Apabila budaya kerja itu menyangkut reserse di mana saja, khusus Indonesia terdapat persoalan menyangkut administrasi pekerjaan. Apabila dulu terdapat tekanan terkait anggaran penyidikan, kini sudah mulai berkurang menyusul anggaran penyidikan yang relatif lancar dan membaik. Namun, habit atau kebiasaan untuk mengeksploitasi sistem sudah telanjur terbentuk.
Reformasi dalam kepolisian dengan demikian belum menyentuh fungsi reserse dari sisi hal-hal berikut. Dari sisi persepsi, kasus yang ditangani umumnya segera dikategorikan ”basah” dan ”kering”, atau kelompok kasus ”atensi pimpinan” dan yang tidak. Penyidik kemudian mengerahkan sumber daya berupa perhatian, tenaga, dan anggaran sesuai persepsi tersebut. Alhasil, menjadi bisa dimengerti apabila tidak semua kasus memperoleh perhatian serta penanganan yang relatif sama dan standar.
Dari sisi indikator keberhasilan, orientasi mendorong kasus ke jaksa penuntut umum dalam rangka crime clearance (kasus yang selesai) jadi yang utama. Tata hubungan dengan jaksa yang kerap merepotkan kepolisian terkait permintaan yang sulit dipenuhi bisa menciptakan dorongan untuk, misalnya, merekayasa pengakuan. Concern pada derita korban kejahatan tak ada di benak penyidik.
Terakhir, terkait etik, tata kerja dewasa ini menjadikan hubungan penyidik dan tersangka mirip hubungan personal yang mudah tergelincir ke situasi eksploitatif dan koruptif. Sejalan dengan itu, antara pimpinan dan staf di fungsi reserse pun berkembang konteks hubungan patronistik ketimbang kolegial-manajerial.
Tidak atau belum adanya mekanisme yang transparan, katakanlah melalui sistem on-line, di mana semua orang tahu apa yang dilakukan orang lain dan semua tahu perkembangan semua kasus, amat mendorong suburnya situasi personal tersebut.
Tidak sebanyak dulu
Hal-hal di atas menjadikan berbagai terobosan yang ada jadi tumpul dan tak optimal. Bila dipakai analogi bubur panas, yang sudah dilakukan baru menyentuh pinggir atau tepinya. Jika belum lama ini muncul ide dari Kapolri Bambang Hendarso untuk mendidik ulang 50 ribuan penyidik, menurut penulis, tetap bukan solusi terbaik dikaitkan dengan persoalan di atas.
Meski demikian, agar seimbang, perlu pula dikatakan bahwa melihat terobosan yang telah disebutkan, serta banyaknya jumlah anggota reserse yang diperiksa dan ditindak oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, mengindikasikan niat yang tulus dan genuine untuk berubah.
Kalau mau jujur, dengan mudah bisa teramati bahwa aneka penyimpangan polisi kini tidak lagi sebanyak dan seekstrem zaman dulu. Polisi-polisi nakal itu, katakanlah begitu, kini harus memutar otak dulu untuk merekayasa kasus jika tidak ingin ketahuan. Hal mana, dulu, tampaknya menjadi sesuatu yang umum dan lumrah dilakukan.
Adrianus Meliala Kriminolog UI

Opini Kompas 09 Maret 2010