Telah terjadi quasi—”Bharatayuda” di jagat politik kita. Barangkali berlebihan kesan demikian, tetapi, bukankah yang cukup menonjol belakangan adalah pengertian politik sebagai sebuah adu kekuatan?
Pada tahun 1936 ilmuwan politik Amerika Serikat, Harold Dwight Laswell, menerbitkan buku Politics: Who Gets What, When, How. Judul buku tersebut merupakan definisi politik menurut pengertiannya. Sengaja atau tidak, Laswell telah menanamkan pengertian yang paling pragmatis atas politik, siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Apa yang dilontarkannya itu sangat mudah dipahami, bahwa memang demikianlah politik.
Akar konfrontasi, dari kacamata Laswell, terjadi ketika definisi tersebut diterapkan dan mengundang ketidakpuasan dari para pelaku kunci politik. Pengertian ”mendapatkan sesuatu”, bukan berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain, tetapi, tentu juga yang non-material, seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi. Di dalam ”mendapatkan sesuatu”, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik.
”All my games,”
Akan tetapi, jangan lupa bahwa politik tidak semata-mata identik dengan adu kekuatan. Politik juga banyak dibahas dari sudut pandang filsafatnya. Dari Aristoteles, misalnya, kita mengenal ungkapan zoon politicon, manusia pada dasarnya merupakan ”seekor binatang politik”. Namun, Aristoteles tidak berpandangan negatif pada politik, justru ia mendefinisikannya sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Dalam filsafat politik, kita juga mengenal istilah political virtue, di mana virtue itu sendiri bermakna moral excellence. Dalam berpolitik, karena itu, moral jangan dilupakan, mengingat urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral. Oleh sebab itulah, kita biasa mendengar ungkapan- ungkapan seperti kesetiaan (loyalitas) dan dedikasi, atau pengkhianatan dan penggerogotan dalam politik, serta banyak istilah ”moral” lain dalam konteks political game.
Wapres Boediono, dalam pidatonya sebagai respons pasca- rekomendasi DPR, menegaskan dirinya tidak akan mundur serta ”tidak akan mengkhianati kepercayaan Presiden dan meninggalkan Beliau”. Kalimat ”tidak akan mengkhianati” adalah ”kalimat moral”, yang biasa diungkapkan para samurai di Jepang pada masanya. Dari sudut pandang pendukung Boediono, kalimat itu bijak. Akan tetapi, tidak demikian bagi para lawan politik yang mengimbau agar dirinya mundur karena telah terdelegitimasi secara politik.
Partai-partai koalisi yang berseberangan pendapat dengan induk koalisi diprotes sebagai ”pengkhianat”. Namun, partai- partai itu berargumentasi bahwa pihaknya tidak mau ”mengkhianati kebenaran”. Dalam konteks mereka, ”kebenaran” yang dibelanya terletak di opsi C. Dalam logika praktis koalisi, konsekuensinya mereka harus dihukum, dengan mengeluarkannya dari barisan koalisi pemerintah. Akan tetapi, tentu saja segera menyusulkan konsekuensinya. Rekalkulasi dan pergeseran peta politik itu biasa di dalam dinamika politik yang demokratis.
Memahami konsekuensi
Demikianlah, kiranya, politik itu tetap merupakan hal yang subyektif. Kebenaran politik tentulah subyektif, di mana pemenuhannya dilakukan dengan cara ”adu kekuatan”. Kebenaran politik bisa merupakan ”kebenaran orang banyak” atau ”kebenaran entitas elite politik”. Dalam demokrasi, politik juga identik dengan dukungan, baik atas mereka yang dipilih langsung maupun tak langsung.
Politik juga identik dengan kebijakan publik. Para penentu kebijakan publik tentu saja adalah pejabat politik. Profesionalitas mereka harus dibarengi dengan kesadaran multiaktor. Pejabat politik akan selalu berhadapan dengan risiko politik. Peristiwa menteri kabinet yang di-reshuffle presiden, misalnya, tentu merupakan peristiwa politik. Karena itu, rancu bila ada pejabat politik yang mengatakan dirinya tak mau berurusan dengan politik.
Politik punya logikanya sendiri. Orang yang dikenal bersih dari kasus hukum, sederhana dan jujur, bisa terkena imbas politik di mana ia tidak bisa mengelak meski bersikukuh mengatakan dirinya tak bersalah. Politik hari ini sering tidak dapat dipahami sekarang, tetapi bisa jadi puluhan tahun lagi. Sejarah akan menilai, mengapa MPRS menolak Pidato Nawaksara Bung Karno. Sejarah juga akan menilai apa-apa yang terjadi di belantara politik kita hari ini.