08 Maret 2010

» Home » Kompas » Masa Depan Teknokrat Kita

Masa Depan Teknokrat Kita

Kasus Bank Century hampir tidak mungkin terbayangkan dalam masa rezim Orde Baru. Kecuali menjelang keruntuhannya pada tahun 1998, seluruh tindakan kebijakan ekonomi yang diluncurkan pada masa rezim itu berkuasa hampir tidak memiliki gaung politik.
Kebijakan anggaran berimbang yang menggantikan kebijakan anggaran defisit, beberapa tindakan devaluasi mata uang rupiah, penanganan kasus Pertamina dan juga kebijakan pengetatan ikat pinggang pada pertengahan 1980-an adalah beberapa contoh peluncuran kebijakan ekonomi yang berjalan mulus tanpa guncangan politik berarti. Situasi seperti ini tampaknya telah menjadi suatu ”kemewahan” dalam satu dasawarsa terakhir.


Teknokrasi vs demokrasi
Dalam salah satu tulisannya, Indonesia Since The 1960s: Crises and Reforms (1994), Iwan J Azis telah mengidentifikasikan salah satu sebab mengapa Orde Baru memiliki kapasitas untuk meluncurkan kebijakan ekonomi tanpa gejolak politik itu. Ekonom Indonesia yang kini bermukim di Amerika Serikat itu secara gamblang menyebutkan tidak adanya faktor checks and balances sebagai sebab fundamental mengapa seluruh kebijakan ini dapat berjalan lancar.
Dengan tidak adanya pertarungan di antara kekuatan politik dan kompetisi di antara lembaga-lembaga negara, Soeharto pada masa itu telah menjadi the sole checker dan sekaligus the balancer. Di bawah format politik seperti ini pulalah seluruh teknokrat, yang umumnya dari kelompok Widjojo Nitisastro, yang diistilahkan dengan sinis sebagai ”Mafia Berkley” itu, bekerja dan mendapatkan suatu ”jalan bebas hambatan” untuk melakukan kebijakan pembaruan ekonomi.
Analisis yang mirip dengan itu juga dikemukakan oleh Boediono dalam tulisannya di Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES), Vol 41 No 3, 2005. Boediono, yang kini Wakil Presiden, menyebutkan dengan terus terang bahwa kredibilitas dan kekuatan strategi Orde Baru dalam meluncurkan kebijakan ekonominya tidak berasal dari petunjuk-petunjuk umum tentang apa yang akan dilakukan pemerintah seperti yang termuat dalam tumpukan tebal dokumen Repelita.
Menurut Boediono, kredibilitas dan kekuatan strategi Orba justru terletak dari tindakan nyata yang dilakukan rezim sesuai yang disarankan dan dimonitor teknokrat. Ringkasnya, teknokrat bekerja sepenuhnya di bawah payung protektif Presiden.
Yang lalu menarik dipertanyakan adalah apakah demokrasi yang tengah kita bangun satu dasawarsa terakhir ini telah menutup jalan bagi para teknokrat untuk berperan dalam pembaruan kebijakan ekonomi? Bukankah dengan berubahnya format politik negeri ini, teknokrat tidak lagi leluasa untuk melakukan pembaruan ekonomi? Bagi sekelompok orang, jawaban terhadap pertanyaan ini hampir dapat dipastikan.
Kelompok ini akan menyatakan bahwa ”kemewahan” untuk mendapatkan ”jalan bebas hambatan” telah tertutup. Argumennya adalah dengan mempertentangkan watak teknokrat dan politisi. Secara filosofis, watak teknokrat disebutkan bekerja atas dasar asas kemampuan spesialisasi teknis, sedangkan politisi bekerja atas dasar kemampuan memuaskan para pendukung politiknya. Jika teknokrat sangat nyaman bekerja dalam teknokrasi, politisi sangat bergembira bekerja dalam alam demokrasi.
Jika teknokrasi cenderung membatasi akses jumlah aktor yang terlibat dalam pembuatan keputusan, demokrasi cenderung memperluas sebanyak mungkin pelibatan aktor-aktor politik.
Bertumpu pada argumen teknokrasi versus demokrasi seperti ini suatu hipotesis kemudian dibangun untuk menjelaskan kesulitan politik yang kini dihadapi Boediono dan Sri Mulyani. Hipotesis itu intinya adalah bahwa kedua tokoh ini, yang merepresentasikan peran teknokrat, merupakan ”korban” dari demokrasi. Atas dasar hipotesis ini pula dibuat suatu proyeksi bahwa teknokrat, jika berada dalam kabinet, akan tetap menjadi titik lemah (soft belly) dari pertarungan politik yang ada sekarang dan pada masa depan. Alasannya adalah teknokrat tidak memiliki basis politik yang kuat di partai dan lembaga legislatif sehingga jika berada dalam kabinet akan tetap menjadi sasaran empuk atau merupakan tindakan ”bunuh diri” dari kompetisi politik yang ada.
Kepemimpinan politik
Apakah demikian halnya? Penulis tidak sepakat sepenuhnya menganut pandangan seperti ini. Ada dua keberatan utama yang penulis ajukan. Alasan pertama adalah alasan normatif. Hipotesis seperti ini dapat membujuk sekaligus menjebak kita untuk menyimpulkan bahwa pembaruan ekonomi hanya dapat dijalankan oleh teknokrat jika demokrasi ”dimatikan” dan kita kembali pada format politik Orba. Alasan kedua terkait dengan alasan empiris. Hipotesis teknokrasi versus demokrasi ini memiliki keterbatasan untuk menjelaskan pembaruan ekonomi India (yang juga bekerja di bawah format politik demokrasi) dalam dua dasawarsa terakhir melalui kehadiran tokoh, seperti Manmohan Singh.
Dengan latar belakang seperti ekonom lainnya di Indonesia, Manmohan Singh, alumnus Oxford dan Cambridge itu, ditunjuk sebagai menteri keuangan di bawah kepemimpinan Narasimha Rao pada awal 1990-an. Kini, tokoh itu bahkan sudah sekitar satu dasawarsa jadi Perdana Menteri India. Tanpa perlu mematikan demokrasi, India telah melanjutkan reformasi ekonomi yang telah diluncurkan sejak 1990-an dan yang jadi salah satu faktor untuk menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi India cukup mengesankan.
Kasus Manmohan ini menyampaikan pesan bahwa para teknokrat dapat bekerja secara efektif dalam format politik demokrasi. Karena itu, masalahnya barangkali bukan di demokrasi, tetapi mungkin terletak pada dua faktor. Pertama, kepemimpinan politik. Ketika sebagai menkeu, Manmohan Singh meluncurkan reformasi ekonominya, kritikan luar biasa juga terjadi. Namun, Narasimha Rao sebagai PM ketika itu secara tegas memberikan proteksi bagi Manmohan Singh.
Dukungan tak sekadar melalui wacana dan pernyataan pidato, tetapi juga tindakan nyata para pemimpin partai Kongres lain. Dengan kata lain, Manmohan tak ditinggalkan sendiri saat menghadapi tekanan dari kelompok oposisi, apalagi dijadikan ”korban” pertarungan politik.
Faktor kedua, terkait cara pandang teknokrat itu sendiri terhadap politik. Manmohan tidak antipolitik. Ia menyadari benar, setiap kebijakan pembaruan ekonomi dalam format politik demokrasi harus mendapatkan dukungan politik. Karena itu, walaupun memiliki latar belakang sebagai teknokrat, ia punya dukungan politik kuat dari partai Kongres. Di samping sebagai teknokrat, Manmohan sesungguhnya juga adalah seorang politisi.
Dua faktor ini barangkali perlu disorot untuk melihat kesulitan politik yang kini dihadapi Boediono dan Sri Mulyani. Tentang faktor kepemimpinan, misalnya, Boediono dalam tulisan di jurnal BIES itu menyatakan betapa pentingnya sikap ketegasan seorang Presiden dalam melindungi tim pembuat kebijakan ekonomi di pemerintahan. Namun, sayang sekali ia tidak menyebutkan tentang perlunya juga seorang ekonom untuk tidak hanya menjadi teknokrat, tetapi juga sebagai seorang politisi seperti yang telah dan sedang dilakukan oleh Manmohan Singh di India.
MAKMUR KELIAT Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Opini Kompas 09 Maret 2010