08 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Tersandera Koalisi, Tertawan Century

Tersandera Koalisi, Tertawan Century

Tesis Sartori itu relevan dengan kejadian aktual yang baru saja terjadi pasca-Sidang Paripurna DPR yang menunjukkan kekalahan kubu SBY dalam voting kebijakan 'bailout' Century. Meski Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono terpilih dengan mengantongi dukungan 60,8%, dan Partai Demokrat juga tampil sebagai pemenang pemilu legislatif, pemerintahan SBY jilid kedua seperti 'tersandera' oleh parlemen. Sejak menit pertama pascapelantikannya sebagai presiden, SBY seperti 'tertawan' secara politis oleh kasus Century. Bola liar kasus Century ini bermula dari inisiatif beberapa anggota DPR, termasuk dari mitra koalisi, yang kemudian berkembang menjadi hak angket yang berujung pada kekalahan memalukan kubu SBY di sidang paripurna.

Koalisi obesitas

Mengapa pemerintahan SBY-Boediono yang didukung enam partai dengan total kekuatan di parlemen mencapai 75,54% atau 423 dari 560 kursi gagal mengamankan Century? Mengapa SBY yang menang secara meyakinkan di pilpres lalu dan di-'back-up' Demokrat, gagal total mendisiplinkan mitra koalisinya?



Ada beberapa jawaban. Pertama, desain presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai seperti kasus di Indonesia, untuk kesekian kalinya, terbukti belum menghasilkan pemerintahan yang efektif. Menurut Cross-National Survey Scott Mainwaring (1993), tidak ada satu pun dari 31 negara yang demokrasinya stabil menerapkan kombinasi sistem presidensial dan multipartai seperti terjadi dalam kasus Indonesia. Mainwaring menyebutnya sebagai 'difficult combination' (kombinasi sulit) karena tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen akan mengakibatkan 'deadlock'. Hal itu memberi peluang bagi DPR 'mengganggu' presiden yang mendorong munculnya konflik presiden-DPR. Selain itu, jika dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Sistem presidensial dengan kepartaian yang banyak juga mengakibatkan sulitnya membentuk koalisi permanen antarpartai.

Kedua, pada tataran lebih teknis, SBY gagal membentuk format koalisi yang kokoh yang dirajut dengan kontrak politik yang mengikat. Kontrak politik dan pakta integritas yang ditandatangani di Bravo Media Center yang lalu hanya memuat poin-poin yang normatif dan multitafsir. Meski disebutkan mitra koalisi harus mendukung pemerintahan baik di kabinet maupun di parlemen, PKS dan Golkar masih bisa berkilah bahwa kegarangan mereka dalam kasus Century justru dalam kerangka mengimplementasikan poin penting dalam kontrak, yakni 'koalisi harus didasarkan pada cita-cita reformasi untuk membangun 'good governance'.'

Ketiga, SBY juga lupa bahwa koalisi bukanlah entitas kolektif yang bersifat tunggal. Keenam partai mitra koalisi, yakni Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB, dan PPP memiliki kepentingan politik, ekonomi dan elektoral yang berbeda-beda. Koalisi obesitas yang digalang SBY dibangun di atas fondasi pragmatisme sehingga sikap mitra koalisi di parlemen sangat ditentukan arah mata angin. Jika ada kebijakan pemerintah yang populis, mereka akan ramai-ramai mengklaim bagian dari kontribusi koalisi. Sebaliknya, jika ada kebijakan yang tidak populer seperti 'bailout' Century, mereka akan segera menarik diri dari getah kebijakan yang tidak populis itu. Dengan demikian, mereka bisa investasi elektoral untuk kepentingan Pemilu 2014. Saat yang sama, kasus Century juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan 'bargaining position' untuk mendapatkan insentif koalisi yang lebih besar yang sebelumnya mereka peroleh.

Tersandera koalisi

Pasca-Sidang Paripurna DPR pada 3 Maret, konstelasi politik di parlemen berubah drastis. Kekuatan SBY sekarang hanya bertumpu pada Demokrat, PAN, dan PKB. Kekuatan ketiganya di DPR hanya 222 kursi atau 39,64%, masih jauh untuk mencapai 'single majority' di parlemen. Sementara itu, kekuatan Golkar, PKS, dan PPP di parlemen mencapai 36%. Jika Golkar, PKS, dan PPP yang 'membangkang' dalam sidang paripurna dikeluarkan dari barisan oposisi secara bersamaan, itu sama saja 'bunuh diri' politik. Ketiga partai itu bisa menambah amunisi bagi oposisi. Suhu politik di DPR bisa memanas yang diikuti inisiatif hak menyatakan pendapat yang bisa berujung pada pemakzulan Boediono yang bukan tidak mungkin akan mengarah pada SBY. Pada tataran jangka panjang, hubungan eksekutif dan legislatif akan terus-menerus 'panas-dingin'. Efektivitas pemerintah akan terganggu jika tidak ditopang dukungan politik yang memadai di legislatif.

Itulah yang saya sebut sebagai tersandera oleh koalisi. SBY tidak bisa berbuat banyak atas 'pembangkangan' mitra koalisinya dalam kasus Century. Dengan menyadari realitas yang tidak menguntungkan itu, SBY menurunkan tensi 'permusuhan' dengan mitra koalisinya seperti disampaikan dalam 'pledoi' politiknya saat menanggapi Sidang Paripurna DPR. SBY memang menyinggung soal etika koalisi dalam pidatonya, tapi dia tidak secara eksplisit menyebut 'reshuffle' kabinet. Namun, SBY sudah benar dengan tidak mengungkapkan urusan koalisi di pidato itu karena karut marut koalisi adalah masalah internal. Bukan berarti SBY melupakan 'pengkhianatan' sebagian mitra koalisi di sidang paripurna itu.

SBY dan Demokrat tentu sedang memikirkan bagaimana mekanisme mendisiplinkan mitra koalisinya. Salah satu yang mengemuka adalah menimbang alternatif kocok ulang koalisi dengan mempertimbangkan format koalisi yang ramping dengan membuang salah satu dari Golkar, PKS atau PPP. Di antara Golkar, PKS, dan PPP akan dicari mana yang paling berpotensi menjadi 'duri dalam daging' lalu dikeluarkan dari koalisi. Yang bisa diajak 'rujuk' kembali akan diikat dengan kontrak koalisi yang lebih 'binding'.

Rumus utamanya, koalisi ramping tapi sehat itu harus mencapai 50% lebih di parlemen. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan PPP dan PKS, Golkar punya daya tawar paling tinggi. Golkar adalah peraih kursi terbesar kedua di DPR sehingga jika ditambahkan dengan Demokrat, PAN, dan PKB, SBY sudah mengamankan 58%. Golkar juga sarat dengan politisi yang lihai dan sudah lama makan asam garam sehingga bisa diharapkan membantu saudara mudanya di Demokrat yang terlihat masih hijau dalam berpolitik. Pidato Aburizal Bakrie yang 'bersahabat' kemarin juga menunjukkan karakter Golkar yang tidak bisa jauh dari kekuasaan karena banyaknya kepentingan bisnis dan politik elite-elite Golkar yang akan terganggu jika partai ini menjadi oposisi.

Pertarungan pascasidang paripurna akan makin sering diwarnai pertarungan antarmitra koalisi Demokrat untuk memperbesar 'power sharing'. PAN dan PKB tentu mengharapkan 'reward' atas 'pengorbanan' mereka yang solid mendukung Demokrat. Insentif itu baru bisa didapat jika menteri dari Golkar, PPP, dan PKS dikocok ulang. Bagi sebagian elite Demokrat, perilaku zig-zag PPP tak termaafkan. Namun, PKS mungkin paling terancam jika terjadi kocok ulang. PKS dianggap tidak tahu diri meski sudah mengantongi empat menteri, padahal suaranya tak berbeda jauh dengan PAN, PPP, dan PKB.

Pada saat yang sama, SBY akan menjajaki kemungkinan mencari 'investor politik' baru, entah PDIP atau Gerindra. Harapannya tentu ada perubahan sikap PDIP dalam kongres mendatang. Hubungan baik dengan Gerindra belakangan ini mungkin bisa dilanjutkan. SBY dengan Prabowo memiliki 'political chemistry' yang lebih baik dibandingkan dengan Wiranto yang dituding sebagai pembunuh karier militer Prabowo. SBY dan Prabowo sama-sama dari satu angkatan di Akabri. Prabowo juga bisa berharap dapat tiket di 2014 dari Demokrat karena SBY secara konstitusional tak bisa dicalonkan lagi. Di atas segalanya, tawaran 'power sharing' tentu menggiurkan karena basis koalisi di Indonesia lebih diikat pragmatisme ketimbang ideologi. Jika PDIP dan Gerindra berhasil digaet, bukan tidak mungkin Golkar, PKS, dan PPP diceraikan dari koalisi.
Opini Media Indonesia 09 Maret 2010