08 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Menguji Kebijakan Publik

Menguji Kebijakan Publik

Mulyo Priyanto
Pengamat kebijakan publik
Pascasidang paripurna DPR dengan hasil akhir yang menyalahkan kebijakan bailout Century, Sri Mulyani menantang untuk menunjukkan di mana kesalahannya. Selain itu dia juga berkilah bahwa kebenaran politis tidak sama dengan kebenaran esensial. Pernyataan ini sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah sejauh mana kebenaran esensial kebijakan tersebut.
Pemberian dana talangan (bailout) Bank Century didasari suatu sintesis bahwa Bank Century merupakan bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik yang menganggap bahwa jika Bank Century ditutup akan memicu panik massal dan akan terjadi rush pada bank-bank yang lain, sehingga sektor perbankan akan kolaps dan Indonesia akan mengalami krisis hebat sebagaimana tahun 1997--1998 dengan PHK besar-besaran dan kondisi "mengerikan" lainnya.


Mari kita uji secara objektif dan logis dengan berbagai antitesis. Uji statistik sangat dimungkinkan, tetapi itu perlu waktu yang cukup panjang
Antitesis Kebijakan
Menengarai Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sebagai dasar kebijakan bailout Bank Century perlu dikonfrontasi dengan berbagai antitesis berikut.
Antitesis pertama, fakta empiris di Indonesia bahwa sektor perbankan atau kebijakan penutupan suatu bank bukan merupakan pemicu krisis. Krisis 1997--1998 berawal dari jatuhnya nilai kurs rupiah terhadap dolar AS secara ekstrem yang terjadi akibat kesalahan manajemen utang luar negeri (ULN). Semua jenis devisa ULN harus dikembalikan dalam bentuk dolar AS, sementara nilai tukarnya tidak dilakukan hedging. Pada saat itu jumlah utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo mencapai puncaknya, sementara dalam lingkup regional Asia bahkan telah didahului dengan gejolak finansial di Korea dan Thailand.
Ketika itu kurs dolar AS mencapai kisaran hingga Rp16 ribu per dolar AS dari posisi sebelum krisis yang hanya Rp2.400 per dolar AS. Akibatnya, sektor industri babak belur karena besarnya komponen bahan baku yang diimpor. Sektor konstruksi (properti) gulung tikar karena banyak menggunakan sumber utang luar negeri dan kenaikan harga bahan-bahan konstruksi. Inflasi merajalela. Perbankan juga ikut kolaps, khususnya karena kebijakan uang super ketat yang diterapkan IMF, selain karena turun drastisnya angka perputaran aset. Jadi, dalam krisis 1997--1998, terjun bebasnya kurs rupiah terhadap dolar AS secara ekstrem itulah yang berdampak sistemik, bukan kegagalan sektor perbankan, atau kegagalan suatu bank.
Antitesis kedua, fakta bahwa intensitas, magnitude, dan karakterisik krisis 1997--1998 sangat berbeda dengan krisis 2008. Kejatuhan nilai rupiah terhadap dolar AS tahun 1997--1998 sangat ekstrem dibandingkan kejatuhan nilai rupiah pada krisis 2008. Kenaikan nilai tukar dolar AS saat krisis terdahulu pada kisaran 560%, sementara pada krisis 2008 hanya pada kisaran 30%. Krisis 1997--1998 selain krisis moneter dan krisis ekonomi juga disertai krisis politik dan krisis sosial. Kejatuhan nilai rupiah pada krisis 1997--1998 disebabkan memuncaknya kebutuhan pembayaran ULN yang jatuh tempo, sedangkan tahun 2008 disebabkan oleh ditariknya sebagian dana simpanan dalam bentuk dolar AS ke negara-negara Eropa dan AS sendiri untuk memperkuat posisi finansial negara masing-masing.
Krisis tahun 2008 adalah krisis yang meletup di Amerika Serikat akibat banyaknya kasus kredit properti (hipotek) yang macet dan membuat bank-bank di AS megap-megap. Krisis finansial di AS tersebut sedikit banyak telah berpengaruh terhadap wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk Indonesia.. Krisis 1997--1998 ibarat gempa berintensitas 10 MMI, sedangkan krisis 2008 (yang dirasakan di Indonesia) layaknya gempa berintensitas 3 atau 4 MMI. Jadi, krisis tahun 1997--1998 memang sangat berbeda dengan "krisis" 2008, baik karakter, magnitude, maupun intensitasnya. Dengan demikian, menjustifikasi kebijakan bailout Bank Century tahun 2008 dengan mengacu pada kondisi pre, within, dan post dari krisis tahun 1997--1998 sangatlah tidak tepat.
Antitesis ketiga, bahwa kondisi objektif Bank Century bukan merupakan systematically important bank. Nilai aset dan perputaran aset Bank Century jauh di bawah 0,5% dalam sistem perbankan nasional. Secara objektif bank ini bukan sebuah bank yang penting dalam sistem perbankan nasional. Keberadaan bank ini pun hanya pada beberapa kota besar saja dan tidak menjangkau kota-kota kabupaten.
Antithesis keempat, yaitu bahwa tidak ada kondisi objektif ekstrem yang mampu memicu panik massa atau rush jika Bank Centuty ditutup. Pada triwulan terakhir tahun 2008 kondisi sosial politik cukup stabil, harga-harga dan ketersediaan bahan pokok cukup stabil dan fluktuasi kurs dolar pun tidak cukup menggiurkan untuk berspekulasi. Kenaikan kurs dolar hanya sampai kisaran 30% (bandingkan dengan krisis 1997--1998 yang mencapai kisaran 560%). Selain itu adanya program penjaminan simpanan tentu menambah rasa aman masyarakat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun drastis justru semakin meyakinkan bahwa bank merupakan tempat paling aman untuk menyimpan uang, meskipun seandainya Bank Century ditutup. Paling banter masyarakat hanya akan mengalihkan simpanan dalam bentuk deposito ke tabungan atau giro pada bank-bank yang dipercaya masyarakat. Itu pun hanya reaksi jangka pendek.
Antitesis kelima, fakta bahwa Bank Century bukan gagal karena krisis, melainkan karena kejahatan perbankan, dan fakta bahwa tidak ada bank lain yang murni menjadi "korban krisis" yang diberi dana talangan. Penutupan Bank Century karena alasan kriminal tentu akan dimengerti oleh masyarakat dengan tidak melakukan respons berlebihan. Menarik semua uang dari bank untuk disimpan "di bawah bantal" atau berinvestasi secara tidak jelas tentu jauh lebih berisiko.
Kesimpulan
Berbagai antitesis di atas adalah kondisi objektif yang boleh dibilang tak terbantahkan. Kuatnya seluruh antitesis tersebut di atas membuat sintesis dan asumsi dasar tentang Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik menjadi terpatahkan, tak terkecuali penengaraian tentang psikologi massa juga sangat lemah. Artinya, jika Bank Century ditutup, tidak akan terjadi dampak sistemik seperti yang dikhawatirkan. Inilah kebenaran esensial yang dapat dibuktikan secara logika dan sangat mungkin dibuktikan secara sains melalui uji-uji statistik.
Dengan patahnya asumsi dasar ini, kondisi APBN yang dikatakan “tersehat di dunia” dan tingkat pertumbuhan ekonomi 2009 yang terbaik ketiga di dunia tidak dapat diklaim sebagai hasil dari kebijakan bailout Bank Century. Juga tidak dapat diklaim sebagai “menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis”. Pertumbuhan ekonomi yang positif tahun 2009 lebih karena faktor konsumsi domestik dan tidak ada hubungannya dengan kebijakan bailout Century.
Seharusnya, waktu itu pemerintah secara tegas menutup Bank Century karena terindikasi melakukan kejahatan perbankan, sebagai pembelajaran kepada masyarakat untuk berhati-hati memilih bank, dan kemudian berusaha mendapatkan kembali semua aset yang digelapkan oleh pemilik bank, serta siap-siap mem-bailout bank-bank lain yang murni terkena dampak krisis, apabila diperlukan. N
Opini Lampung Post 09 Maret 2010