08 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Puncak Sinetron ”Bailout”

Puncak Sinetron ”Bailout”

Oleh Dachlan Abdul Hamied

Dari puncak sinetron kasus Century yang  melelahkan, ada beberapa hal yang bisa dicatat dan diamati antara lain pertama, tampilan hari pertama pada sidang paripurna Pansus Century terjadi saling hujat antarwakil-wakil rakyat terhormat. Tingkah laku mereka disaksikan berjuta-juta rakyat. Ketua DPR RI dihakimi oleh beberapa anggota dewan karena ketidakpuasan terhadap gaya dan cara yang bersangkutan memimpin. Unsur pimpinan lain pun merasa kaget atas cara kelola yang dilakukan Ketua DPR. 

Kedua, pada hari yang sama ada yang tidak terceritakan kemana Wakil Ketua DPR dari unsur PAN saat itu. Mungkin dia gelisah, bingung, takut dan serbasalah. Kita tahu nakhoda PAN berada di penguasa yang kini lagi mendapat sorotan. Demikian juga janji-janji Amien Rais yang pernah meyakinkan rakyat agar masalah Century semuanya transparan dan dinyatakan sejelas-jelasnya, termasuk penyebutan nama-nama yang terlibat, ternyata tidak mendapat respons anak buahnya. Tidak heran jika Amien Rais gerah.



Ketiga, rekayasa dari masing-masing yang berseberangan satu sama lain tidak ingin mengalah dan dikalahkan. Apa yang terjadi bisa dinyatakan sebagai tontonan yang bisa mengalahkan kelucuan dari Opera Van Java, apalagi dengan munculnya opsi A dan C.   Opsi A dan C diharapkan mampu mendinginkan sebagaimana fungsi  AC di ruangan, paling tidak memungkinkan muka tidak panas. Ada yang menarik ketika saudaraku se-Pasundan, Kurdi Mukri  (PPP) dan Lily Wahid (PKB) berani melawan arus partainya. Demikian juga PPP yang berani berseberangan dengan arus pemimpin koalisi.

Keempat, berkaitan dengan posisi Partai Demokrat, secara sistematis Anas Urbaningrum menyampaikan kata-kata akhir yang sebetulnya bahasa seperti ini harus muncul dari Ketua DPR sebagai kata penutup sidang. Memang Anas dari awal keberadaan di Demokrat menjadi bahan pembicaraan umum, ia sebagai salah seorang pemimpin masa depan yang bisa diterima  oleh segala penjuru. Dia jadi andalan yang memungkinkan untuk perekat di internal ataupun eksternal

Pembelajaran

Pertama, keputusan politik sudah selesai, tetapi apa arti senjata keputusan jika tidak mampu menembak arah yang dituju secara tepat dan adil. Para pejabat dan petugas hukum harus cerdik memilah-milah strata hukuman bagi penanggung jawab dan pelaksana teknis yang ingkar dari tugas-tugas yang sebenarnya, termasuk pemimpin yang sesungguhnya hanya terjebak oleh perangkap sarang laba-laba yang dimainkan oleh para kapitalis di ruangan yang serbaliberal.

Kedua, Partai Demokrat dan juga Ketua Dewan Pembina yang kini menjadi Presiden RI, sepatutnya menghitung untung rugi koalisi, termasuk mengevaluasi eksistensi para menteri dari teman koalisi yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan presiden. (1)  Koalisi seperti apa yang akan dibangun? Koalisi saat ini tampaknya insidental atau koalisi basa-basi untuk jabatan sementara yakni untuk pemilihan presiden dan jatah menteri, selanjutnya tidak tahu lagi. (2) Sesungguhnya koalisi yang dibentuk harus utuh, yaitu muncul dari kesamaan visi, ideologi, serta kesamaan arah, setidak-tidaknya satu periode kepemimpinan. (3) Perjanjian koalisi tidak sekadar selembar perjanjian umum tetapi harus terperinci dan ada perhitungan-perhitungan yang akan terjadi di masa datang dan jangan ada celah multitafsir dalam perjanjian. (4) Sangat jelas kepemimpinan eksekutif tidak akan selancar sebelumnya. Lebih baik ambilah anggota kabinet ahli dan berorientasi pada program.

Ketiga, kepemimpinan Boediono dan Sri Mulyani diakui semua pihak di dalam dan luar negeri. Namun, kepercayaan politis sulit untuk dikembalikan. Kemegahan kemampuan dan moralitas beliau perlu terjaga dan tercatat dalam sejarah bangsa. Rakyat dan bangsa akan sangat hormat jika bakti mereka berdua kembali mencerdaskan bangsa di dunia pendidikan. Memang sungguh berat bagi Presiden SBY melepaskan dua anak bangsa yang cerdas, energik, dan mumpuni ini, tetapi insya Allah kedua anak bangsa ini akan jauh lebih berkah jika diposisikan sebagai pencerdas bangsa. Oleh karena itu, disarankan keduanya  mengundurkan diri secara terhormat dari jabatannya. Bagi yang terindikasi lainnya tentunya merupakan pekerjaan kepolisian, KPK, dan kejaksaan.

Keempat, ada hal yang harus dipertimbangkan atas gonjang-ganjingnya politik dewasa ini, yakni rakyat yang semakin bengong setelah disuguhi konsumsi yang kadang-kadang menyebalkan atas tingkah laku orang per orang di parlemen. Parlemen adalah alam nyata yang menyalurkan aspirasi rakyat untuk kesejahteraan dan kemakmuran bukan sinetron yang penuh dengan kebohongan yang berkepanjangan. Hal yang harus dipertimbangkan adalah cara menangani rakyat miskin, pengangguran, sakit, musibah bertubi-tubi, rakyat tidak mampu menyekolahkan anaknya, dan lain-lain kemelaratan. Masalahnya, banyak omong kosong seolah-olah rakyat sudah terbina dengan baik melalui demokrasi yang hebat dan dipuji dunia. Negeri ini sangat jago mempertontonkan seolah-olah telah berhasil menyuguhkan kemajuan ekonomi makro padahal secara mikro banyak pengusaha tumbang yang pada gilirannya menambah kemelaratan.

Kita perlu reinventarisasi kekuatan dan kekayaan negeri yang dikuras oleh kaum kapitalis, borjuis dan yang tidak mengenal halal dan haram. Kita harus mampu bahwa yang mempunyai negeri ini adalah rakyat dan bangsa Indonesia sendiri. Pertanyakan kepada diri mengapa di sana-sini terjadi gejolak separatis, hakikatnya mereka merasa terjajah oleh yang bukan haknya. Semoga bermanfaat.***

Penulis, Duta Besar/Pengajar di Universitas Islam As-syafi’iyah.
Opini Pikiran Rakyat 09 Maret 2010