08 Maret 2010

» Home » Solo Pos » Utang pusat kepada Provinsi DIS

Utang pusat kepada Provinsi DIS

Kusno S Utomo Staf peneliti Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta (BPPS-DIS). Tinggal di Yogyakarta.

Perdebatan nama Solo, Sala, Surakarta atau Salakarta hingga gagasan memindahkan ibukota Provinsi Jateng ke Kota Bengawan menjadi diskusi hangat masyarakat Surakarta.


Seolah tak ingin Surakarta sekadar menjadi ibukota pengganti Semarang, sebagian pihak punya pendapat lain yang rupanya lebih progresif. Saatnya Surakarta berdiri sendiri menjadi provinsi lepas dari Jateng. Dari sisi potensi ekonomi dan kemampuan daerah, Surakarta dengan enam kabupaten plus satu kota dinilai sudah sangat siap menjadi provinsi sendiri. Bila isu pertama telah dikupas oleh beberapa kalangan, bagaimana dengan isu ketiga, siapkah Surakarta naik statusnya menjadi provinsi?

Dilihat dari historis dan yuridis sebetulnya cukup beralasan Surakarta menjadi provinsi sendiri. Di awal kemerdekaan RI, Surakarta pernah menyandang status provinsi meski hanya kurang lebih selama setahun. Tepatnya, pada Agustus 1945 hingga Juli 1946.

Penetapan Surakarta menjadi daerah setingkat provinsi itu dilakukan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Penetapan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) itu bersamaan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta serta delapan provinsi lain yakni Jabar, Jateng, Jatim, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil dan Sumatra. Kedudukan Surakarta sebagai daerah istimewa dikuatkan dalam UU No 1/1945 yang tegas menyebut dua daerah istimewa yakni Surakarta dan Yogyakarta. Kedudukan Surakarta dengan Jateng pada awalnya adalah sejajar, sama-sama daerah setingkat provinsi.

Tentang istilah istimewa yang disandang Surakarta dan Yogyakarta itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari pemberian Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang menamakan empat praja kejawen yakni Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman dengan sebutan Koochi atau daerah istimewa.

Wapres M Hatta dalam memoarnya mengatakan saat pembahasan Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah, diputuskan status Koochi tidak berubah alias tetap sambil menunggu pengaturannya dengan undang-undang.

Surakarta termasuk daerah yang bersifat istimewa karena sebelum Indonesia diproklamasikan telah memiliki susunan pemerintahan asli maupun hak-hak asal usul. Sebelum Jepang, Pemerintahan Hindia Belanda juga mengakui keistimewaan Surakarta itu dengan ditandatangani perjanjian kontrak panjang antara Susuhunan dengan Gubernur Jenderal Belanda.

Di awal kemerdekaan sikap pemerintah RI terhadap pengakuan status DIS juga diwujudkan dengan pemberian piagam kedudukan dari Presiden Soekarno kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII masing-masing pada kedudukannya sebagai Kepala DIS dan Wakil Kepala DIS. Piagam kedudukan itu diberi tanggal 19 Agustus 1945 namun baru diserahkan ke PB XII dan MN VIII pada 6 September 1945.

Hubungan Surakarta dengan pemerintah pusat bersifat langsung. Atas perannya mendukung kemerdekaan, PB XII mendapatkan pangkat Letjen titular dari TNI pada 1 November 1945. Anugerah pangkat itu sekaligus menepis tudingan miring yang selama ini kerap terdengar di masyarakat bahwa PB XII disebut-sebut pro Belanda. Entah kenapa, fakta sejarah ini tak banyak diungkap oleh sejarawan termasuk para sejarawan di Surakarta.Maklumat mendukung RI juga disampaikan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII dari Yogyakarta. Bedanya statement Jogja baru disampaikan pada 5 September 1945 atau empat hari setelah Surakarta bersikap. Piagam kedudukan seperti diterima PB XII dan MN VIII juga diberikan kepada HB IX dan PA VIII.

Kini, dalam perjuangan mendapatkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK), maklumat HB IX dan PA VIII maupun piagam kedudukan dari Presiden Soekarno itu menjadi modal terpenting bagi Yogyakarta untuk bargaining politik dengan pusat.

Sultan Hamengku Buwono X menyebut maklumat dan piagam kedudukan itu sebagai ijab kabul sekaligus pengakuan pusat terhadap keistimewaan DIY. Analognya, hal serupa tentu juga berlaku bagi Surakarta yang lebih awal mendukung kemerdekaan RI dibandingkan Yogyakarta.

Lantas kenapa status daerah istimewa setingkat provinsi tak lagi disandang Surakarta? Kondisi itu tak lepas dari perkembangan politik pascakemerdekaan. Mulai 1946, Surakarta berubah menjadi kota oposisi dengan tujuan utama menggoyang Pemerintah RI yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Status sementara

Kedudukan Surakarta sebagai basis oposisi itu dimotori tokoh kiri Tan Malaka. Sejarawan UGM Julianto Ibrahim dalam bukunya Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Surakarta di Awal Revolusi mencatat muncul pertentangan Tan Malaka dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir di satu pihak dan dengan Pemerintah DIS di pihak lain. Pemerintah DIS dianggap merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.

Pertentangan itu melahirkan serangkaian aksi kriminalitas di Surakarta. Korbannya pejabat Pemerintah Daerah Istimewa mulai dari Pepatih Dalem maupun bupati seperti Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri dan lain-lain diculik dan dibunuh. Saat berkunjung ke Solo, PM Sutan Syahrir juga pernah diculik dan ditawan di Paras, Boyolali, 1946.

Situasi gawat itu memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat dan menyatakan Surakarta dalam keadaan darurat. Menghadapi pergolakan itu, Mendagri Soedarsono bertemu dengan PB XII di Keraton Surakarta yang disusul pertemuan di Gedung Javasche Bank Surakarta (sekarang gedung Bank Indonesia) pada tanggal 22 dan 23 Mei 1946.

Hadir dalam pertemuan itu antara lain PM Sutan Sjahrir, Mendagri Soedarsono, Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin, PB XII, Wakil Pepatih Dalem KRMTH Woerjaningrat dan MN VIII. Dalam rapat itu, Woerjaningrat yang merupakan Pahlawan Perintis Kemerdekaan, mengusulkan untuk meredakan kekacauan di daerah Surakarta untuk sementara Pemerintah DIS diserahkan kepada pemerintah pusat. Bila situasi sudah normal dikembalikan. Dengan demikian, penyerahan itu bersifat sementara.

Sebagai respons atas kesepakatan itu, pusat menerbitkan Penetapan Pemerintah (PP) No 16 SD/1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.

Dalam diktum kedua PP itu dinyatakan sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan UU maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan.

Penetapan Surakarta sebagai Karesidenan hanya bersifat sementara sebelum kelak diatur dengan UU. Fakta mencatat hingga sekarang janji pemerintah membuat undang-undang bagi DIS belum direalisasikan. Janji itu ibarat utang yang belum dibayar hingga 64 tahun ini.

Setelah reformasi, konstitusi masih mengakui daerah istimewa yang ditegaskan dalam Pasal 18 huruf B UUD 1945 hasil amendemen.

Amanat konstitusi inilah yang harusnya segera dipenuhi karena Surakarta secara de facto sebetulnya menyandang status daerah istimewa. Penggabungan Surakarta menjadi bagian dari Provinsi Jateng tidak memiliki landasan yuridis yang kuat karena keduanya sejajar. - Oleh : Kusno S Utom


Opini Solo Pos 09 Maret 2010