08 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Uji ”Keramat” NU di Muktamar

Uji ”Keramat” NU di Muktamar

Apalagi muktamar dilaksanakan di luar Jawa yang tentu saja kiai sepuh karena pertimbangan kesehatan dan jarak banyak yang tidak hadir. Dengan demikian pengaruh mereka makin berkurang

ADA fenomena yang menarik dan kurang lazim dalam menyongsong Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar pada 22-27 Maret nanti.  Fenomena tersebut terkait dengan pemilihan rais aam PBNU mengingat dalam sejarah ormas itu belum ada rais aam terpilih karena hasil kerja keras memobilisasi dukungan dan membentuk tim sukses. Rais aam yang terpilih adalah figur yang tidak mau kampanye. Bahkan disuruh maju saja tidak bersedia, kalau masih ada orang lain yang bersedia.


Ini berbeda dari pemilihan ketua umum tanfiziyah PBNU yang selalu melakukan sosialisasi dan penyampaian visi-misinya untuk mengembangkan NU ke depan. Bahkan kompetisi pun dianggap masih wajar asalkan dengan cara yang  sehat dan membangun.

Namun menyongsong muktamar Maret nanti ada indikasi kuat ada figur yang sudah sibuk ke sana kemari, memobilisasi dan bahkan ada tim suksesnya untuk posisi rais aam. Pertanyaannya apakah ini masih dianggap sesuatu yang gharib (aneh), tak lazim atau barangkali sebuah terobosan alternatif. Sebuah pembaruan di tubuh PBNU?

Terbersit pula rencana bagaimana nanti dalam struktur PBNU itu di bawah rais aam ada  semacam koordinator para rais syuriah mengingat rais aam itu rata-rata usianya sudah cukup sepuh.  Struktur ini menjadi hal yang akan ditawarkan di acara muktamar. Secara sepintas itu logis tetapi benarkan gagasan ini murni ingin memperkuat konsolidasi para rais syuriah atau ini karena kekhawatiran karena mau menduduki rais aam masih belum pantas lalu memosisikan di posisi aman tetapi bisa juga menyalip dalam tikungan?

Dalam konteks kepemimpinan rais aam, sebaiknya figur yang dipilih bukan sekadar berdarah biru (trah kiai besar/pendiri NU), paham masail diniyah  tetapi kalau bisa harus berdarah putih. Figur yang berdarah putih adalah sosok yang tidak lagi mengejar hal-hal duniawi atau nafsu duniawi tetapi sebaliknya figur yang selalu dikejar hal-hal duniawi tetapi selalu menolaknya. Rais aam seperti inilah yang akan bisa menciptakan kemaslahatan umum.
Berdarah Putih Dalam dunia pewayangan figur pemimpin darah putih diwakili oleh Puntadewa. Dia adalah figur yang tidak butuh duniawi karena itu berhak memiliki jimat kalimasada (dua kalimat syahadat). Manusia yang sudah membawa kunci dua kalimat syahadat haruslah berdarah putih seperti Puntadewa tidak berwatak seperti Dasamuka dan Batara Kala.

Rais aam PBNU adalah top figure yang tugasnya  menjaga jimat kalimasada (dua kalimat syahadat).Hal ini penting karena kalimat syahadat para pemimpin kini mulai disalahgunakan. Jika figur yang dipilih seperti Puntadewa, walaupun orang sekeras dan sekebal Werkudara dan sesakti Arjuna, kalau Puntadewa sudah bertitah, semua akan taat dan semua bersedia berkorban untuk kakang Prabu Puntadewa.

Puntadewa tidak pernah meminta dipilih apalagi merebut kekuasaan. Bahkan kekuasaannya diminta saja diberikan. Untuk apa jabatan tidak akan memuliakan seseorang kalau tidak bisa menjaga kemuliaan jabatan itu. Tidak bisa membawa kebesaran seseorang kecuali memiliki kemampun untuk menjaga kebesaran jabatan itu.

NU dalam sejarahnya dianggap memiliki sesuatu yang ormas dan orang lain tidak memiliki karena top pimpinanannya selalu dipegang orang yang berdarah putih. NU walaupun disinyalir organisasinya tak serapi ormas-ormas lain tetap saja disegani  dan ”ditakuti” orang lain karena memiliki kelebihan yang orang lain tidak punya. Kelebihan itu adalah adanya komitmen untuk tidak bergeser selangkah pun dari khitah NU.

Dalam beberapa tahun terakhir ini NU dianggap tidak keramat lagi. Aura spiritualnya  memudar dan langit NU mulai diselimuti mendung tebal. Orang sudah berani dengan terang-terangan mencibir kelompok nahdliyin. NU yang katanya organisasi terbesar dan banyak pengikutnya, ternyata sering dipermalukan dalam kancah politik. Pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota di basis-basis NU, tokoh-tokoh NU yang berlaga mengalami kekalahan. Partai-partai yang memiliki hubungan historis  dengan NU berguguran satu per satu. Hal ini terjadi karena kecerobohan para pemimpinnya. Kepemimpinan tanfidziyah mulai meninggalkan syuriah dan kiai-kiai sepuh. Puntadewa-Puntadewa di lingkungan NU mulai dipinggirkan dan sebaliknya  dominasi Dasamuka dan Batara Kala semakin mendapat tempat.

Beberapa hari yang lalu penulis berdiskusi dengan beberapa orang PBNU dalam merespons fenomena yang aneh ini. Mereka berpendapat, untuk konteks NU saat ini, figur rais aam yang mau berkampanye dan punya tim sukses akan menang bila dihadapkan dengan figur yang lega lila legawa, tidak mau kampanye, dan tidak punya tim sukses. Apalagi muktamar kali ini dilaksanakan di luar Jawa yang tentu saja para kiai sepuh karena pertimbangan kesehatan dan jarak akan banyak yang tidak hadir. Dengan demikian, pengaruh mereka akan semakin berkurang.

Dengan berbekal pengalaman pahit NU direndahkan harkat dan martabatnya, mestinya muktamar kali ini harus menjadi kacabenggala untuk bercermin dan melakukan instrospeksi diri. Bagaimana harkat dan martabat yang tercerabut akibat kecerobohan nafsu Dasamuka dan Batara Kala itu bisa diperbaiki?
Kesucian lembaga syuriah masih tetap terjaga dan semakin ditingkatkan sehingga kekeramatan NU bisa dipertahankan. Karena itu pada muktamar ke-32 ini dalam hal khusus pemilihan rais aam bisa untuk bahan eksperimen apakah NU masih keramat atau tidak? Kalau kekeramatan NU masih ada, berarti figur yang tidak kampanye, tidak melakukan mobilisasi, dan tidak punya tim sukseslah yang akan menang. Namun bila yang terjadi sebaliknya berarti tuntas habis sudah kekeramatan NU. (10)

— Jabir Alfaruqi, Ketua PW Ansor Jawa Tengah
 Wacana Suara Merdeka 09 maret 2010