Pada 8 Maret 2010 ini berlangsung peringatan hari perempuan internasional. Hajatan rutin ini adalah upaya mengenang perjuangan gigih perempuan di tingkat internasional yang saat itu menuntut agar perempuan dibolehkan mengikuti pemilihan umum, diberlakukannya jam kerja yang pendek, serta tuntutan agar diberhentikan adanya pekerja di bawah umur.
Tuntutan-tuntutan semacam itulah yang berlangsung di sepanjang jalan Kota New York dengan diiringi 15 ribu demonstran yang terdiri atas perempuan, menurut Nurdaningsih (2005), menjadi idealitas dari para kalangan perempuan sehingga dalam rangka mengenang kegigihan perempuan tersebut, PBB sebagai organisasi internasional menetapkan 8 Maret sejak tahun 1978 sebagai hari perempuan internasional.
Memperingati hari perempuan internasional dalam konteks keindonesiaan, cukup tepat untuk menengok ulang kilasan perjalanan perempuan yang hingga kini belum menemukan titik terang. Memang, gelombang feminisme yang bermula di Barat pada tahun 1880-an cukup banyak berpengaruh terhadap munculnya gerakan feminis di Indonesia, tapi menjamurnya gerakan feminisme yang berupaya untuk lepas dari supordinasi, ketimpangan gender, dan penindasan belum juga mengantarkan perempuan pada posisi yang merdeka.
Arus feminisme
Gadis Arivia Feminimisme Sebuah Kata Hati, 2006) memetakan gelombang feminisme yang berada di Indonesia menjadi empat fase. Mulai dari gerakan awal, sebelum kemerdekaan yang menuntut agar perempuan mendapatkan hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda, kemudian pada masa orde lama yang menyuarakan agar perempuan terlibat langsung dalam kebijakan elite politik, serta pada masa orde baru yang menuntut domestifikasi; perempuan diupayakan tidak hanya lekat dengan wilayah domestik, tetapi wilayah publik juga menjadi ruang gerak perempuan untuk terlibat secara langsung. Dan, yang terakhir pada era reformasi yang gerakannya lebih bertemakan liberal dengan tuntutan antikekerasan terhadap perempuan, baik di wilayah privat maupun wilayah publik.
Dari sekian fase menelisiknya gelombang feminisme yang bergulir di Indonesia, untuk menemukan titik terang perihal kemerdekaan perempuan belum tercapai secara konferehensif. Bahkan, secara kontraproduktif gerakan feminisme yang telah bergulir justru menjebak perempuan pada ranah yang dilematis. Gerakan perempuan yang mengupayakan kemerdekaan perempuan dengan tuntutan agar domestifikasi perempuan dihapus, ternyata ketika terjun dalam ranah publik, perempuan terjebak dalam sangkar kapitalis industrialis yang lebih memarginalkan hak-haknya sebagai manusia merdeka.
Gugatan para feminis perihal domestifikasi kaum perempuan secara konseptual menjadi cikal bakal menculnya diskriminasi baru di Indonesia. Gelombang feminisme pada fase ini menjadi titik terang terangkatnya perempuan dalam wilayah domestik, yang justru beringsut pada titik yang lebih hitam pada wilayah publik. Karena, sebagaimana dikatakan Warto (1997) bahwa interaksi desa kota yang kian intensif para migran (perempuan) telah membuka peluang masuknya nilai baru.
Transisi dari agraria ke industrialis atau dari privat ke publik membawa ekses moral yang tak terhindarkan. Kasus terjadinya pelecehan seksual terhadap wanita pabrik, perkosaan, kebebasan seks, minuman keras, dan berbagai fenomena sosial yang merenggut kehormatan perempuan merupakan contoh konkret bahwa perempuan yang lepas sari wilayah domestik dengan lari ke publik, ternyata bertemu dengan persoalan-persoalan yang sangat dilematis.
Di samping implikasi sosial tersebut, penghargaan perempuan dalam wilayah internal pabrik masih mengalami diskriminasi. Profesionalitas seorang perempuan seakan tidak menjadi pertimbangan dasar dalam sebuah industri-industri publik. Yang terjadi adalah standar ketelatenan, ketabahan, dan kesabaran seorang perempuan dalam melakukan pekerjaan. Tidak heran, apabila perempuan dalam kerja praksisnya kerapkali ditempatkan pada posisi yang marginal ketimbang laki-laki. Karena, memang stigma negatif perihal kemampuan perempuan masih menjangkit. Anita Van Velsen (1988) berkata, ihwal perempuan yang ada di sektor industri lebih banyak dipekerjakan pada bidang-bidang yang tidak membutuhkan keterampilan atau pekerjaan dengan produktivitas rendah.
Maka, pada momentum hari perempuan internasional ini, cukup tepat bagi kita bersama untuk memantapkan kembali gerakan feminisme. Gerakan feminis yang oleh Budi Wahyuni (2005) dikonotasikan sebagai gerakan yang mengedepankan ideologi perlawanan untuk anti dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, dan ketidakadilan dengan membongkar pengalaman ketertindasan, mempertanyakan relasi kekuasaan yang berlangsung pada perempuan dan berbuat sesuatu untuk mengubahnya harus lebih dimantapkan gerak praksisnya.
Selama ini, gerakan feminisme lebih terjebak pada keberingsutan dari wilayah privat ke publik, yang berujung pada titik diskriminasi yang lebih tajam karena jebakan para kapitalis-industrialis, harus direkonstruksi pada ranah pemahaman yang lebih relevan. Untuk menjadi seorang yang merdeka, bebas dari penindasan dan hegemoni para penguasa ataupun para kapitalis, perempuan tidak harus meniti karier dengan hanya terjun langsung pada wilayah publik, tetapi yang lebih penting adalah mengubah pola pemahaman tentang perempuan. Pemahaman yang bersifat diskriminatif serta stigma negatif yang memojokkan perempuan, seharusnya diseret pada pola pemahaman kesetaraan gender.
Di samping itu, gerakan feminisme juga selayaknya lebih menitikberatkan pada penegakan hak-hak bagi kaum perempuan. Dalam wilayah domestik, seperti mendapat pengakuan yang sama di wilayah publik, hak kesehatan reproduksi, dan hak mendapat keamanan serta perlindungan dari suami dan segala bentuk ancaman merupakan hak dasar seorang perempuan yang selama ini masih belum sepenuhnya terabaikan. Pola perjuangan semacam inilah yang seharusnya lebih mendapat perhatian dari para feminis yang ada di Indonesia.
Opini Republika 8 Maret 2010
08 Maret 2010
Hikayat Gerakan Feminisme
Thank You!