Oleh Ryan Kiryanto
Pembahasan mengenai perlunya tax holiday (insentif pembebasan pajak) untuk mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia kembali mengemuka. Senjata pamungkas itu tampaknya masih disimpan rapat-rapat. Padahal, insentif merupakan salah satu bahasan yang sering ditanyakan investor jika ingin menanamkan modalnya ke Indonesia. Ironisnya, negara-negara tetangga berhasil menarik minat investor asing dengan tax holiday. Sebut saja negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam atau negara Asia yang perekonomiannya maju paling pesat seperti Cina.
Konon sudah sejak lama kebijakan tax holiday diperjuangkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sayangnya, dalam berbagai kesempatan pemerintah selalu memberikan klarifikasi bahwa tax holiday hanya kebijakan bumbu dan bukan kebutuhan inti investor. Masih banyak yang diminta investor seperti infrastruktur ataupun perbaikan-perbaikan lainnya.
Namun, menarik mencermati pandangan Doktor Li Zheng, yang juga mantan Chief Executive Officer (CEO) Bank of China, kebijakan pemberian tax holiday dari pemerintah Indonesia adalah mutlak. Investor selalu mempertimbangkannya dan ketika Indonesia tidak memiliki hal itu, mereka tidak akan memasukkannya sebagai negara yang patut dipertimbangkan untuk tujuan investasi.
Di mata tokoh ini, tax holiday merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan bagi investor. Memang tidak harus semua diberikan. Pemerintah Indonesia bisa memilih sektor tertentu dan jangka waktu tertentu. Pemerintah Indonesia bisa mengambil contoh kebijakan Cina yang memberikan tax holiday untuk sektor-sektor yang padat modal dan padat karya yang sangat penting mendorong pertumbuhan ekonomi. Mereka diberi jangka waktu tertentu, jadi hanya investor-investor awal yang memperolehnya.
**
Penyediaan fasilitas tax holiday diyakini tidak akan menurunkan target pajak karena tax holiday memberikan dampak berganda bagi dunia usaha. Dengan demikian, penerimaan pajak justru akan melonjak dalam jangka panjang. Harus diakui, sektor perpajakan memang menjadi salah satu faktor yang masih menghambat masuknya investasi ke Indonesia.
Masalah retribusi daerah dan tingginya tingkat perpajakan yang kini di level 30 persen dan akan dikaji penurunan menjadi 28 persen serta beberapa insentif hingga 25 persen menunjukkan iklim perpajakan belum mendukung investasi. Fakta jumlah wajib pajak hanya sekitar 13 juta orang dari total penduduk 230 juta merupakan bukti betapa pemerintah mengalami keterbatasan untuk bisa bergerak fleksibel.
Pemerintah sebenarnya melalui BKPM telah memberikan beberapa insentif pengurangan pajak (tax deduction) yang diberikan 5 persen selama 6 tahun. Artinya, ada pengurangan pajak 30 persen. Namun, hal itu sangat spesifik dan aplikasinya cukup sulit. Akibatnya, jangankan mendorong minat investor untuk masuk ke Indonesia, yang terjadi sebaliknya, investor justru melihat pengurangan pajak hanya merupakan akal-akalan pemerintah. Hal ini ditandai tidak adanya laporan jumlah perusahaan yang mendapatkan fasilitas tersebut.
Ketika pemulihan ekonomi dunia sudah di depan mata, jangan-jangan dunia usaha Indonesia tidak akan menikmati manfaatnya karena terkendala disinsentif dari pajak. Sementara itu, negara-negara tetangga yang memberikan keringanan pajak kepada pelaku usaha dengan nyamannya menikmati berkah pemulihan ekonomi dunia yang memberikan peluang ekonomi, bisnis, dan investasi lebih besar. Dalam konteks perdagangan bebas ASEAN-Cina (ASEAN China Free Trade Area), boleh jadi dunia usaha nasional hanya akan gigit jari karena kalah bersaing dengan dunia usaha negara-negara lain yang mampu menikmati manfaat pemulihan ekonomi global.
**
Sebenarnya masih ada waktu bagi pemerintah untuk menghitung ulang dampak positif penerapan tax holiday. Secara hitungan sederhana, dalam jangka pendek pemerintah memang akan kehilangan penerimaan pajak. Namun, dalam jangka panjang penerimaan negara malah akan melonjak secara berkesinambungan karena dunia usaha bergairah mengembangkan usahanya.
Dunia usaha yang bergairah akan menghasilkan kinerja yang lebih baik sehingga setoran pajak pun akan meningkat signifikan. Apabila dunia usaha sudah kompak menyerukan agar pemerintah memberikan kelonggaran pajak, ada baiknya pemerintah mendengarkan, merenungkan, dan pada akhirnya meluluskan permintaan mereka. Perlu diingat, pemerintah sejatinya juga tidak bisa apa-apa tanpa dukungan dunia usaha swasta yang tengah merindukan hadirnya paket tax amnesty atau tax holiday untuk mendukung pengembangan usaha mereka.
Manakala dunia usaha sudah merasa cukup menikmati fasilitas kelonggaran pajak dan mereka tidak keberatan apabila fasilitas itu ditinjau kembali oleh pemerintah, tentu dunia usaha tidak akan keberatan karena mereka sudah mapan dan matang. Jadi, pandai-pandailah pemerintah memainkan perannya untuk mendorong dunia usaha menjadi setara dengan dunia usaha di mancanegara. ***
Penulis, analis ekonomi dan keuangan.
Opini Pikiran Rakyat 09 Maret 2010