11 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Memberantas Teroris

Memberantas Teroris

Oleh Suharizal

Setelah ”drama” skandal Bank Century, publik dikejutkan dengan episode lanjutan pemberantasan terorisme. Setelah operasi di Aceh Besar pada 20 Februari, Detasemen Khusus (Densus) 88 menangkap beberapa orang dan menembak mati tiga tersangka di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (9/3), yang diduga terkait gerombolan bersenjata Aceh Besar. Mengapa terorisme (amat) sulit diberantas?


Sebagaimana umumnya kejahatan kemanusiaan lainnya, terorisme tidaklah mungkin dicegah dan diberantas tanpa melibatkan peran aparat keamanan lainnya. Kedudukan intelijen sebagaimana diatur dalam Pasal 26, UU UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme sangat penting artinya bagi upaya mencari dan memperoleh bukti permulaan. Namun, yang mengherankan, intelijen benar-benar tidak terdengar suaranya. Padahal, informasi tentang keamanan dan pertahanan dalam dan luar negeri mestinya dapat diolah Badan Intelijen Negara (BIN).

Di samping itu, perang melawan terorisme harus dilakukan dengan lembut, hati-hati, dan bijaksana agar tidak menimbulkan ketegangan baru antarbangsa, penganut agama, dan peradaban. Perang melawan terorisme harus juga memberantas akar dan penyebab terorisme. Negara-negara harus bahu-membahu memberantas terorisme dengan tidak memberikan porsi berlebihan kepada kebebasan yang menyebabkan meningkatnya terorisme.

Bagi kita, terorisme bukan sekadar wacana, tetapi  ancaman nyata bagi republik ini. Banyaknya kasus pengeboman harusnya menyadarkan seluruh komponen bangsa, terorisme adalah musuh bersama. Oleh karena itu, perang melawan terorisme harus didukung sepenuh hati oleh semua orang di bumi pertiwi ini.

Melihat keteguhan teroris dalam meyakini "perjuangannya" tersebut, tidak dimungkiri upaya menghentikan terorisme di negeri ini harus melalui jalan yang panjang dan berliku. Sudah tentu tugas ini bukan tanggung jawab aparat kepolisian semata, melainkan tanggung jawab semua masyarakat yang mempunyai nurani dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Upaya masif ini mutlak digalakkan karena bibit-bibit teroris baru di Indonesia bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Menurut survei 2007 yang dilakukan The Wahid Institute dan Indo Barometer tentang persepsi Muslim Indonesia terhadap agama Islam dan terorisme, terdapat kalangan yang mendukung aksi terorisme, bahkan bersedia terlibat di dalamnya. Ketika 1.047 responden diberi pertanyaan apakah terorisme diperbolehkan dalam ajaran Islam, 97,3 persen percaya terorisme tidak dibolehkan dalam ajaran Islam, dan "hanya" 2,7 persen yang percaya sebaliknya.

Angka 2,7 persen ini sepintas sangat kecil dan tak seberapa, tetapi angka ini sesungguhnya sangat mencengangkan jika merujuk pada jumlah penduduk di Indonesia secara keseluruhan. Bisa dibayangkan jika "hanya" 10 persen dari jumlah itu benar-benar menjadi teroris baru, Indonesia mungkin "kiamat". Aparat keamanan saja kesulitan untuk memberantas aksi teror yang hanya dilakukan segelintir orang, apalagi jika terorisnya berjumlah hingga ratusan ribu, bahkan jutaan?

Berdasarkan asumsi ini, perlawanan terhadap terorisme memang tidak bisa ditempuh kecuali dengan jalan dan pengetahuan  komprehensif tentang terorisme itu sendiri. M. Asfar dalam bukunya Agama, Terorisme, dan Radikalisme (2004) menjelaskan latar belakang munculnya terorisme pada tiga kategori, yaitu struktural, psikologis, dan pilihan rasional. Teori struktural menjelaskan sebab terjadinya terorisme dalam konteks lingkungan, politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. Teori psikologis mempertanyakan mengapa individu tertarik bergabung dengan organisasi teroris, bahkan rela berkorban jiwa dengan cara bunuh diri. Sementara, teori pilihan rasional (rational choice) menjelaskan partisipasi teroris dalam aksinya dengan kalkulasi untung rugi.

Berdasarkan pada pengakuan teroris yang tertangkap, terlihat, tindakan teror yang dilakukan secara tidak langsung dipicu oleh akumulasi kekecewaan terhadap ekses negatif dari modernisasi, serta kegagalan elite pemerintah dalam mewujudkan pembangunan negara, pengembangan sosial ekonomi, dan kekuatan militer. Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai faktor yang terjadi di dalam negeri, seperti tersumbatnya partisipasi politik (powerlessness), ketidakadilan ekonomi, ketimpangan sosial, lemahnya penegakan hukum, maraknya korupsi, kegagalan elite-elite, dan lain-lainnya.

Berdasarkan latar belakang munculnya terorisme ini, solusi untuk memberantas terorisme dalam jangka panjang adalah mengajak dialog dan tukar pikiran kepada agen-agen yang berpotensi menanamkan radikalisme. Berbagai pusat kawah candradimuka (polycentrism) fundamentalis yang sebenarnya bisa dilihat secara kasatmata di negeri ini harus diajak berbicara tentang teks keagamaan dalam konteks realitas yang profan. Lahirnya teroris yang mencomot ayat-ayat Tuhan dalam melakukan kekerasan juga tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang melingkupinya. Bila tidak, barangkali pemberantasan terorisme masih menjadi jalan berliku.***

Penulis, kandidat Doktor Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 11 Maret 2009